Sabtu, 30 Agustus 2008

Delapan Sketsa tentang Pluralisme (1)

“PRAGMATISME,” SEBAGAI PERMULAAN

Bertolak dari pengalaman, saya dapat mengatakan bahwa setiap sensasi dalam mencerap karya seni, dalam hal ini seni rupa, adalah unik, mengandung nilai dalam dirinya sendiri, dan tak terbandingkan. Di depan sebuah Jackson Pollock: saya tak merasa perlu menolokkannya dengan sebuah Hendra Gunawan. Di depan sebuah Made Budi: saya bisa merasakan subversi, seperti halnya di depan sebuah Fernando de Szyslo, tanpa menyimpulkan bahwa yang satu lebih “maju” ketimbang yang lain.

Saya seorang pragmatis, setidaknya pada masa lampau saya. Seni rupa, selalu merupakan anasir—rupa di antara rupa-rupa lain—dalam lingkungan. Lukisan di ruang tamu adalah penyedap atau pelengkap, ia mengimbangi perabotan, jambangan, taplak meja, cat dinding, dan benda-benda lain: pada masa kanak dan remaja, seperti kebanyakan orang, selera-rupa saya terbentuk oleh lukisan pemandangan alam gaya Mooi Indie, atau lebih tepat repro atau tiruannya. Ketika saya jatuh kasmaran pada sastra—dan menganggap sastra sebagai seni tinggi—lukisan tetaplah “barang biasa,” meskipun ia lama-kelamaan berubah fungsi. Demikianlah, seni rupa, khususnya lukisan, adalah pendidik mata. Alam dan kota-kota, saya lihat sebagai pantulan lukisan pemandangan alam, bukan sebaliknya. Jika puisi lirik menyarikan dunia—membuat dunia ini “sekadar” suasana hati—lukisan membuat diri ini keluar membesar ke dunia.

Sisa kasmaran pada gaya Mooi Indie tak bisa hilang, bahkan ketika makin besar rasa penasaran saya pada blok-blok warna Barnett Newman, sejak saya melihatnya di Berlin pada pertengahan 1993.

Tapi bagaimana mungkin “mempunyai nilai dalam dirinya sendiri” selaras dengan pragmatisme? Mungkinkah saya puas dengan seni yang kecil dan terbatas—berbeda dengan Arahmaiani yang (ingin) “memperluas kanvas saya seluas-luasnya menjadi kehidupan itu sendiri, dan mengganti kuas dan cat dengan unsur-unsur yang ada dalam kehidupan”?

Pragmatisme: saya pada dasarnya “menuntut” seni rupa tak lain sebagai bagian dari rupa-rupa lain, yang ada “guna”-nya. Namun, ternyata, seni rupa memisahkan diri dari rupa. Bukan karena kritikus dan sejarawan seni rupa kita menjauhkan seni dari desain dan kriya. Tapi karena ruang publik menghilang. Taman umum, plaza kota, kaki lima, menyusut, sebelum akhirnya punah: semua menjadi ruang sisa dalam kapitalisme-primitif perkotaan. Mata publik tak terdidik oleh susunan rupa yang bisa memuaskan gairah bermain, rekreasi. (Bermain adalah mencipta kembali, bukan?) Sementara seni rupa publik dan museum—saya bicara tentang institusi(-onalisasi), bukan sekadar gedung dan barang—yang menjadikan seni rupa sebagai milik umum, tak kunjung tiba, mungkin tak akan tiba juga. (bersambung)

Minggu, 17 Agustus 2008

Hadiah Tujuh Belasan

Ia terbangun oleh suara nyaring tuit-tuit pada ponselnya. Sebuah pesan pendek (“sandek,” ini akronim yang digunakan oleh sejumlah kawan-wartawannya) masuk, dari seorang tetangganya: “Met pagi. Mo upacara?” Tentu maksudnya, “Selamat pagi. Mau ke upacara bendera?” Met dan mo. Kalau benar bahasa menunjukkan bangsa...

Ia tidak datang ke upacara itu. Ia tidak ingin. Ia memang tidak pernah lagi datang lagi ke upacara semacam itu. Terakhir kali ia ikut upacara bendera adalah 17 Agustus 1991, di lapangan parkir Gedung Pertamina di Gambir, ketika ia masih geolog (semua karyawan perusahaan minyak, juga perusahaan asing, harus ikut upacara supaya mereka ber-Pancasila). Sudah lama sekali. Waktu itu wajahnya masih sangat licin dan kampungan, seperti dilukis Rudolf Bonnet. Sekarang wajahnya kasar dan terpiuh, seperti potret diri Oskar Kokoschka.

Malam sebelumnya ia ber-“jogging” di sekitar kompleks rumahnya (sudah berbulan-bulan ini ia berolahraga pada malam hari). Melewati lapangan basket RT, ia melihat sejumlah anak muda petugas keamanan sedang berlatih untuk upacara esok harinya. Ia mendengar lagi: “Lencang kiri!”—“Lencang kanan!”—“Majut jalan!”—“Hormat grak!” Lucu sekali terdengar, dan ia tersandung “polisi tidur.” (Ia ingat, semasa SD ia beberapa kali jadi komandan upacara.)

Ia duduk-duduk di teras, di lantai dua, memandang sekeliling. Bendera-bendera merah-putih berkibar di antara pepohon hijau. Ia merasa bangga dengan kehijauan itu, dengan kebajikan warga dalam menghijaukan permukiman mereka. Pohon-pohon itu sangat layak dipandang. Trembesi, bungur, temurui, belimbing buluh, kamboja. Juga berus-botol, yang ditanamnya sendiri di tubir taman umum di depan rumahnya (pohon itu dibelinya di Jember 11 tahun lalu), meski kembang merahnya belum lagi meledak-mengorak.

Bendera merah putih yang terpasang di rumahnya mungkin sudah berumur 20 tahunan. Warnanya sudah mulai kusam. Ia sendiri yang mengeluarkannya dari dalam laci di lemari kuning di ruang tamu tiga hari sebelumnya. Ia hampir lupa, bahwa 17 Agustus segera tiba. Si penjaga rumahlah yang mengingatkannya, “Jangan lupa pasang bendera, Pak.”

Ini hari Minggu. Hari Kemerdekaan. Maka bangsa yang merdeka, yang sudah bekerja keras dan khusyuk untuk berupacara bendera, harus berlibur pada hari Senin besok. Berbahagialah bangsa yang merayakan Hari Kemerdekaan di hari Minggu! Berbahagialah bangsa besar yang mendapat liburan di hari Senin! Terberkahilah bangsa yang memiliki jumlah hari libur terbanyak di antara bangsa-bangsa lain di planet ini!

Sabtu, 16 Agustus 2008

Wajah


Pelukis Sudjojono pernah mengatakan bahwa lukisan adalah "jiwa nampak" si pelukis. Demikianlah, apapun yang tersaji di atas kanvas--alam benda, pemandangan, manusia, bahkan kekosongan--tak lain daripada jiwa pelukis yang menyajikan diri. Garis dan barik, bentuk dan warna di situ bukan hanya cap jari, namun juga rekaman emosi, atau lebih dalam (atau lebih tinggi) lagi, rekaman aspirasi. Pelukis tidak meniru realitas, melainkan menciptakannya lagi berdasarkan getar jiwanya.

Salah satu kekuatan dari para pelukis "jiwa nampak" (Sudjojono, Affandi, Hendra Gunawan, misalnya) adalah kemahiran mereka melukis potret diri. Mahir: piawai, lancar, cekatan, "di luar kepala." Mereka melukis wajah mereka sendiri tanpa bantuan apapun. Mereka mengutip wajah sendiri dari ingatan, atau memetiknya dari udara. Kalaupun mereka memerlukan bantuan peralatan, itu pun mereka dapat dari cermin belaka. Wajah itu, yang sudah mengalir dalam jiwa, seakan lahir kembali di ujung jemari sendiri, dan mendarat ke kanvas. Dengan demikian, "jiwa nampak" bukan hanya kredo kesenian, tapi juga teknik dan aspirasi.

Setengah abad setelah generasi Sudjojono, para pelukis tidak merasa perlu--atau tidak mampu?--lagi melukis potret diri dengan kredo (dan teknik) "jiwa nampak". Tentulah masih banyak yang melukis potret diri, tapi semua hanya dengan "mengeblad" foto sendiri--dengan cara grid, dengan tembakan proyektor, atau dengan cetakan digital. Bagi para seniman ini, tentulah "jiwa nampak" hanya laku lirik-romantik yang sudah usang belaka. Kesenian mereka mungkin akan disebut seni konseptual, karena, konon, konsep lebih penting ketimbang kemahiran; atau seni "post-auratic", karena subyektivitas, jiwa, pribadi, hanya ilusi belaka.

Antara Sudjojono dan Agus Suwage, antara Affandi dan Dede Eri Supria sesungguhnya terbentang jalan ketiga. Karena kemahiran memang tidak harus dihubungkan dengan "jiwa nampak" atau aura seniman jenius. Jika zaman pascamodern memang sedang berlangsung, maka seorang pelukis bisa menciptakan banyak karakter, banyak jiwa, banyak wajah bagi dirinya sendiri. Dan saya masih berharap, ia bisa memetik wajahnya yang beraneka itu dari udara, dengan ketrampilan sekaligus wawasan yang memadai. Seniman tidak bisa menjadi pemikir, kecuali di dalam-dan-dengan karyanya sendiri.

Tidak banyak peluang untuk menempuh jalan ketiga. Juga bagi kaum penulis. Lebih sedikit lagi waktu tersedia untuk menyatakan "gejolak jiwa" yang layak dilihat atau didengar oleh khalayak, betapapun kecilnya khalayak itu. Namun penulis halaman blog ini percaya, bahwa ia punya wajah yang berubah-ubah--sepuluh, atau seribu wajah (seperti Dasamuka yang malang itu)--yang sebagian bisa tampil di sini. Wajah yang hendak ditampiknya, tapi yang selalu dilukisnya dengan berbagai gaya yang pernah ada dalam sejarah seni rupa.

Ketika melukis--menulis--ia selalu mendengar bisikan, "Caveat emptor. Caveat emptor." Ia sungguh ragu apakah ia penjual atau pembeli.

Jumat, 15 Agustus 2008

Wajah yang Kita Warisi

Wajah-wajah itu kita kenal. Seakan mereka teman kita, tetangga kita, saudara kita, bahkan mungkin orang tua kita. Orang-orang yang terbiasa berkumpul dengan kita. Kita adalah kerumun orang yang sesekali saja berpisahan. Rasa akrab dalam rumah menyambung ke jalanan, ke lapangan, ke tempat mana pun juga. Kita berbagi senyum dan kesedihan dengan mereka. Dunia bagi kita adalah sebuah rumah besar. Seseorang tak pernah jadi seseorang: ia adalah orang ramai. Kita, yang memandang, perlahan-lahan menjadi mereka, yang dipandang. Tak terlalu sengaja kita menyimak mereka, sebab mereka tak menatap ke kamera, ke arah mata kita.

Tidakkah Rasdian A. Vadin, dengan rekaman hitam-putihnya, sedang memainkan rasa akrab itu? Memainkan: membuat kita merasa memilikinya lagi ketika seharusnya kita kehilangan, memaksa kita memikirkannya kembali sementara kita mesti melupakannya? Apa lagi yang tersisa kecuali rasa akrab—terkadang hampir semu juga—ketika kita pada hari-hari ini terpaksa menerima “rakyat” hanya sebagai barang yang hilang makna, kecuali sebagai alat bagi muslihat politik? Rekaman Vadin tak memberi kita “rakyat”, melainkan wajah-wajah yang mengalir lancar dalam keseharian, dalam kerja—meski kerja juga berarti permainan, atau pertunjukan.

Saya garis-bawahi kata “permainan” sebab “rakyat” yang tampil dalam pembicaraan umum, terutama dalam media massa, adalah wujud yang serius: wajah marah atau penuh belas, tangan terkepal atau terkulai, tubuh terlindas atau meradang-melawan. “Rakyat” yang tak kurang seriusnya ketimbang “elite”, sehingga kita bertanya tidakkah keseriusan ini juga tanda dari ketakmampuan melakukan rekreasi—masa penghiburan sekaligus penciptaan kembali? Sedangkan wajah dan tubuh yang terambil oleh Vadin adalah wujud yang cukup dalam dirinya sendiri. Wujud yang mestinya tak meminta dan menagih apa-apa dari luar: cukuplah kami berdiam di lingkung kampung, tak mengapa kausebut kami kampungan.

Seorang bidan menyimak perut seorang ibu yang mengandung. Kerumun penonton memandang acuh tak acuh dua penari. Dua orang anak bermain dengan si ibu dan si nenek. Seorang mempelai duduk ngungun di depan si penghulu. Dua badut sedang beristirahat. Potret-potret ini mengisah seakan tanpa kehadiran si fotografer. Semua menyisakan rasa akrab itu, justru karena mereka tak menatap ke arah kita. Kamera seperti sembunyi atau malu-malu untuk sekedar menegaskan bahwa apa yang kita miliki bukan puisi dan bukan pula demagogi, melainkan sekadar prosa kehidupan sehari-hari. Kita tak berjarak dengan kehidupan kampung: bahkan kampung itu berada dalam diri kita. Si fotografer hanya membangkitkan kembali wajah-wajah yang sudah lama tersimpan di laci kenangan kita.

Tapi tunggu sejenak. Menyimak lebih lanjut karya Vadin adalah menyiapkan diri untuk sekian kejutan halus. Si fotografer bukan pencuri gambar tanpa pretensi: ia ternyata tak membiarkan yang kampung(-an) itu hadir apa adanya. Komposisi—atau penyusunan imaji—adalah ciri yang hampir gampang kita kenali dalam karyanya. Ia seperti menunggu momen terbaik di mana sosok dan bayangan yang diburunya mencapai kombinasi terbaik. Atau momen itu tak ditunggunya, melainkan diciptakannya. Komposisi itu berpusat, bersandar, atau bertekanan pada barang (seni) rupa: misalnya, pintu bergambar panakawan, poster film murahan setengah porno, lukisan kapal layar, dinding yang digambari bendera dan wajah berpeci, iklan rokok, patung replika dewi Hindu. Sesekali terasa barang rupa ini dihadirkan atau dicomot dari luar, dari dunia entah. Sebagai penyelaras—atau pengganggu?

Paradoks itu bisa kita rasakan: benda rupa itu adalah penyelaras, bahkan penyangga komposisi, namun sekaligus pengganggu dunia yang dihadirkan Vadin. Ia seperti mengerjakan desain grafis: potretnya seperti kulit buku atau kulit majalah, yang harus rapi, setimbang, tapi seronok, “manyala” dalam kesederhanaan hitam-putihnya, agar khalayak tertarik untuk membaca isi kehidupan itu sendiri. Namun, benda rupa itu juga menisbikan, (atau mungkin membatalkan), lingkungan potret Vadin sebagai dunia yang cukup diri. Gambar Bagong di pintu itu, misalnya, agaknya tumpuan perhatian kita: ia seperti mengawasi si keluarga, atau melebih-lebihan keriangan yang muncul di rumah berdinding bambu itu. Juga, kenapa si penari itu harus menggendong boneka, seakan rias dan kostumnya tak cukup menandakan ia orang panggung? Bagi Vadin, yang sehari-hari mesti menjelma yang teatrikal.

Katakanlah Vadin tahu bahwa tak mungkin ia mendapat kepolosan dan kesederhanaan sebab setiap kampung mesti menerima banjir tanda dari luar—aneka benda rupa yang ditangkap sang kamera. Tapi sosok-sosok itu bukan korban dari sang tanda. Mereka menikmatinya, bahkan memperalatnya. Tanda gambar partai, poster film, gambar dinding, iklan mobil mewah—semua itu lebih baik dianggap sebagai kiriman dari dunia entah, mungkin dunia fantasi, ketimbang wakil dari negara, partai politik, atau kapitalisme. Kontradiksi antara yang kecil (kampung) dan yang besar (bangsa, dunia), yang rakyat dan yang berkuasa, dilunakkan atau dipiuhkan dalam main-main dan keakraban. Dunia dalam rekaman Vadin adalah dunia yang kehilangan telos—cita-cita sosial—maka itulah dunia yang tanpa risiko kalah atau menang. Tapi, lihat, tak selamanya ia bertahan pada dunia yang demikian.

Menyajikan yang teatrikal itu juga cara untuk berkomentar. “Reformasi”—alangkah klise kata ini sekarang—terlalu mahal untuk diladeni dengan kepolosan. Tapi Vadin tak pergi ke tengah peristiwa: ia mengelak dari apa yang selama ini sudah dimamah-biak media massa. Ia tak merekam baris-berbaris, pidato, teriakan, dan histeria lainnya. Ia memberi kita residu dari gerak dan suara serba besar itu. Residu: apa-apa yang menyingkir atau terbuang dari arti, tujuan dan manfaat. Bila sebuah potret demonstrasi atau rapat akbar tak membuat kita bertanya apa dan untuk apa peristiwa yang terekam itu, karya Vadin memaksa kita berlaku sebaliknya. Dengan kata lain, ia menisbikan arti sebuah peristiwa politik. Ia menonjolkan segi permainan, dan juga kesunyian, setiap tindakan yang, katakanlah, heroik.

Seseorang bertelanjang dada duduk membelakangi kamera, di belakangnya tergeletak sejumlah bom molotov. Pelempar bomkah ia? Atau cuma eksibisionis, lantaran yang menonjol adalah gambar di punggungnya? Seseorang berkeliling lapangan menjunjung lukisan Durrahman-Megawati: mengapa ia berkeliling sendirian, seperti pedagang lukisan atau wali gila? Sehimpun orang berdesak-desakan di bak truk: massa partai apakah mereka? Mengapa mereka termangu, kontras dengan tetanda gambar partai politik yang “berteriak” itu? Seseorang membungkam patung kepala Suharto: atau justru ia membuka bungkamannya? Mengapa ia tak menghancurkan saja patung itu? Mengapa ia berpentas tanpa penonton?

Komentar politik Vadin adalah anti-komentar. Poster, patung, orang-orangan, baliho, spanduk, emblem, seragam, yang dalam ruang publik sarat dengan arti politik menjadi hanya sekadar benda, benda rupa, dalam rekaman Vadin. Adalah benda, dan bukan manusia, yang menjadi pusat peristiwa dalam tangkapan kita. Benda-benda itu seperti minta bicara sendiri, sebab segala khotbah dan gagasan besar percuma saja. Tidakkah kita menyadari, bahwa manusia yang berniat mengubah dunia itu—demonstran, politikus, fanatikus, pemimpin, pengikut—pada dasarnya hanyalah orang kampung, seperti kita juga, yang di antara benda-benda itu begitu lelah, seraya pura-pura tabah, (seraya bermain-main), sebagai kerumunan, rakyat, bangsa?