tag:blogger.com,1999:blog-23008032340164694942024-03-13T01:02:50.741-07:00kualakualiDINDING TULISAN NIRWAN DEWANTONIRWAN DEWANTOhttp://www.blogger.com/profile/04417648315459708379noreply@blogger.comBlogger43125tag:blogger.com,1999:blog-2300803234016469494.post-6591087158927003852010-11-13T07:13:00.000-08:002010-11-13T07:18:33.906-08:00Kobra<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiV8bpWs5iJkYpFoArLEsNNPelz5hpjjBvmfEv3bo3lKATYN2f2QYKorr-HMtdIDPwgNkAm1XdatJw_RWF0ArO3YLnIqVaiM4qxgIvP_gejWcnzwX4JVAgdk1W8md_KwhvC3GYNC2UBCG7b/s1600/cover+final+Nirwan+Dewanto.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 187px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiV8bpWs5iJkYpFoArLEsNNPelz5hpjjBvmfEv3bo3lKATYN2f2QYKorr-HMtdIDPwgNkAm1XdatJw_RWF0ArO3YLnIqVaiM4qxgIvP_gejWcnzwX4JVAgdk1W8md_KwhvC3GYNC2UBCG7b/s200/cover+final+Nirwan+Dewanto.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5539053762886936738" /></a><br />Tokomu menjual aneka taring yang tampaknya lebih manjur daripada taringku, namun kau tak mampu menjawab ketika seorang pelangganmu bertanya, “Mana yang paling baik untuk mematikan seekor kuda hitam?”<br /><br />Ketahuilah, sangat jarang aku mematuk, sebab aku tak mau taringku ternoda oleh darah, dan aku lebih senang memuntahkan bisa ke siapa saja yang memaksaku berdiri tegak dan mengagumi leherku mengembang serupa perisai.<br /><br />Kecuali cerpelai, yang sangat suka membaca, sesiapa akan buta jika matanya terkena oleh semburan bisaku, tapi ia selalu berhujah bahwa bekas lawan yang kutaklukkan tak pernah buta, mereka sekadar lupa betapa aku suka memangsa sesamaku.<br /><br />Sungguh mati, aku tak sengaja memangsa mereka, sebenarnya aku hanya mengasihani mereka, sebab mereka hanya suka melata, dan sesiapa yang melata hanya menjadi bayang-bayangku, kembaranku, yang hanya akan menghalangi jalanku ke kota.<br /><br />Percayalah, aku melenyapkan bayang-bayangku dengan bersembunyi dalam liang jika hari terlalu terang, bergelung seperti bulan gerhana sempurna, atau, jika terpaksa, dengan menelan sesiapa yang bersikeras menjadi kembaranku, betapapun tampan-jelita ia.<br /><br />Dari si cerpelai diam-diam aku belajar menari tanpa henti, untuk memikat bakal kekasih, yang tak mampu lagi melihat lukisan gaya baru pada kulitku, sampai suatu hari, di sebuah padang terbuka, ketika aku berusaha menirukan lompat-liuknya yang tinggi dan piawai, si rajawali menyambarku dan membawaku terbang ke angkasa.<br /><br />Tak sanggup membunuhku, raja kaum penerbang itu menjatuhkan aku ke bumi yang tak kukenal, rusukku remuk-redam (namun telah kupatahkan sebilah sayapnya), dan sejak itu aku tak mampu lagi berdiri tegak atau menaklukkan sesamaku, dan aku hanya sanggup memburu tikus dan kadal dan terwelu, sampai seorang penyair menangkapku.<br /><br />Ia memaksaku menari dengan bunyi serulingnya, meski aku sebenarnya hanya berupaya berdiri dengan susah payah, meliuk-liuk di dekat wajahnya, untuk sekadar menggirangkannya belaka, sementara aku memandangi bibirnya yang seperti bayangan bulan sabit muda di hutan dahulu.<br /><br />Sesekali ia memeras bisaku dan membawanya ke tokomu, dan aku sedikit terbebas dari birahi (sungguh, kami sering berpentas di depan tokomu, terkadang juga bersama sesamaku yang asing, yang dibawa penyair lain, dan kami suka bertukar isyarat kenapa kami bisa menjadi bintang di kota yang sedih ini).<br /><br />Siang tadi kulihat sang cerpelai berbelanja ke tokomu, ia bersepatu dan berpakaian rapi, dan ia memborong banyak sekali taring, bisa dan kulit berwarna hijau lumut, dan di ujung jalan ia mengambil seekor kuda hitam dari tambatan, yang di pelananya sudah duduklah istrimu, sungguh, aku tak berdusta.<br /><br />Ketika kuceritakan semua ini, taringku sudah berkarat, lidahku mungkin tak bercabang lagi, dan gelungku bukan lagi lingkaran sempurna, namun jelaslah bahwa semua peribahasa sudah kedaluarsa, pun sia-sia belaka jika kau menuduhku penggoda atau pendusta, dan ternyatalah tokomu lebih layak disebut menara gading atau perpustakaan.<br /><br />Malam ini pada lidahku akan kaudapati sebutir manikam biru berkilauan, ambillah, jangan takut, kau bukanlah musuhku, sungguh, ketika sang cerpelai gugur di sebuah hotel di tengah kota terbelit atau terpatuk oleh istrimu, tapi janganlah kauburu sang penyair yang sedang membeli nasi gurih dan <span style="font-style:italic;">Kitab Lebah Ratu</span> santapanku, sungguh, ia hanya hendak menggirangkanku sekali ini saja.<br /><br />(<span style="font-style:italic;">Buli-Buli Lima Kaki</span>, hal. 18-21)NIRWAN DEWANTOhttp://www.blogger.com/profile/04417648315459708379noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2300803234016469494.post-86573531376482513212010-11-10T06:05:00.000-08:002010-11-10T06:17:31.847-08:00Si Buli-Buli<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEha9I6VloW7jJENFsgNKZmsQfVyCmOqHljGntWHzwGBeg3bIC1bKoeosqIwm-WhbOYDkB295zzucnD8og3K7z2giwhrvHUWdeUUWm6jR_FbFYo_irnKMjjT3MDrUrSgHVy-dfbtctP_Rgoc/s1600/ND+Buli-Buli+Kover+Kecil+Gram.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 134px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEha9I6VloW7jJENFsgNKZmsQfVyCmOqHljGntWHzwGBeg3bIC1bKoeosqIwm-WhbOYDkB295zzucnD8og3K7z2giwhrvHUWdeUUWm6jR_FbFYo_irnKMjjT3MDrUrSgHVy-dfbtctP_Rgoc/s200/ND+Buli-Buli+Kover+Kecil+Gram.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5537922872136714818" /></a><br />Sejumlah pembaca blog ini (termasuk yang sudah berada di Twitterland) bertanya kepada saya, kenapa tak ada tempelan baru di majalah dinding saya ini. Saya memohon maaf kepada anda sekalian. Dua-tiga bulan ini saya, bersama sejumlah teman, memang sibuk mempersiapkan dan menyelenggarakan sebuah <span style="font-style:italic;">biennale</span> seni pertunjukan internasional. Dan sekarang ini harus pula saya katakan bahwa di sela-sela kesibukan yang begitu menyita waktu dan tenaga saya itu, saya menyempatkan diri merampungkan buku puisi saya, <span style="font-style:italic;">Buli-Buli Lima Kaki</span>. Memang sejak akhir tahun lalu saya merasa bahwa buku puisi ini harus terbit sebelum Desember 2010.<br /><br />Merampungkan adalah menyunting, menulis-ulang sejumlah puisi (mungkin juga masih menulis puisi baru pada saat-saat terakhir, sebelum mengetuk palu, “Nah kau harus rampung di titik ini!”), menentukan urutan, mengelompokkan ke dalam bagian. <span style="font-style:italic;">Buli-Buli Lima Kaki</span>, yang terdiri dari 55 puisi, saya rampungkan pada akhir Juli 2010: 53 puisi adalah yang saya tulis sepanjang 2008-2010; dua puisi muncul dari tumpukan map saya, dari tahun 1994 dan 1995—yang satu rupanya pendahulu dari puisi-puisi saya yang “berperihal” binatang, yang kedua masuk ke dalam kuartet-puisi tentang—atau “parodi” dari kisah—Yeshua, si lelaki dari Nasara. <span style="font-style:italic;">Buli-Buli Lima Kaki</span>—judul ini saya pastikan pada pertengahan Agustus, setelah menanggalkan sejumlah calon-judul lain—terdiri dari lima bagian—lima kaki—yang masing-masing berisi 11 puisi. Setiap bagian muncul dengan jalinan-motif tersendiri, jalinan-suara tersendiri.<br /><br />Selepas akhir Juli, saya bekerja dengan Ari Prameswari untuk mencapai bentuk dan desain buku yang terbaik bagi <span style="font-style:italic;">Buli-Buli Lima Kaki</span>. Sejak kurang-lebih 20 September, setiap hari saya melihat sebuah instalasi anggitan Joko Dwi Avianto di dekat pintu masuk Teater Salihara, “seekor gajah”, yang terbuat dari bambu apus. Pelan-pelan saya menyadari bahwa si gajah ini memang ditakdirkan untuk menghuni juga kulit buku saya; ya, memang sudah lama saya menginginkan adanya citra binatang yang tidak biasa untuk buku puisi saya. Ketika rancangan kulit buku menjelang selesai, saya hampir bersorak menemukan bahwa si gajah itu adalah juga buli-buli berkaki lima—belalainya adalah salah satu kakinya. Anda bisa melihatnya sendiri di gambar kulit depan yang terpampang di sini.<br /><br /><span style="font-style:italic;">Buli-Buli Lima Kaki</span> diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, yang pernah menerbitkan buku puisi saya terdahulu, <span style="font-style:italic;">Jantung Lebah Ratu</span> (2008). Anda bisa mendapatkannya di toko-toko buku di sekujur Nusantara paling cepat akhir November ini. Empat puluh empat puisi dari <span style="font-style:italic;">Buli-Buli Lima Kaki </span>adalah puisi yang belum pernah terbit sama sekali. Sambil menunggu si buku keluar dari percetakan, saya ingin mengumumkan sejumlah puisi yang belum terbit itu di majalah dinding ini.NIRWAN DEWANTOhttp://www.blogger.com/profile/04417648315459708379noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2300803234016469494.post-1964610977132102882010-02-22T07:52:00.000-08:002010-02-22T07:59:11.282-08:00Budi (2)<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgCROmTCoGUZdEEUiVSYKfiVPtQROuPbipIqONGFylnOJxHEivYTU1bMZKKDGsd4hSgq42DAQEffpQFqwE-fVJ0wdFsmbWdYhQi9U3t4I2nSzCBwOnB9gFVmB5KqEVFWNt5_pTMlj9jSqVk/s1600-h/IMG_3002.JPG"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 150px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgCROmTCoGUZdEEUiVSYKfiVPtQROuPbipIqONGFylnOJxHEivYTU1bMZKKDGsd4hSgq42DAQEffpQFqwE-fVJ0wdFsmbWdYhQi9U3t4I2nSzCBwOnB9gFVmB5KqEVFWNt5_pTMlj9jSqVk/s200/IMG_3002.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5441097291857149778" /></a><br />Kurator pameran ini, Rizki A. Zaelani, menulis bahwa karya patung dan lukisan Budi Kustarto “tak dihasratkan memenuhi artinya secara penuh”, atau “hadir dalam ‘ketidak-menyeluruhannya’”, dan inilah cara untuk “merayakan penundaan makna” untuk “proses penghayatan”. Bagi saya, penundaan itu adalah untuk mempertanyakan kembali hubungan antara seni lukis dan forografi, antara tubuh dan representasinya, antara gagasan dan bentuk seni. Untuk kesekian kali, kita harus bisa menghayati setelah dan hanya setelah berpikir; di sini penghayatan tiada lain ketimbang <span style="font-style:italic;">second thought, third thought,</span> dan seterusnya. Menghayati setelah berpikir tampaknya adalah frase yang bertentangan dalam dirinya sendiri, <span style="font-style:italic;">contradicitio in terminis,</span> sebab dalam proses yang wajar, yakni proses yang dialami orang ramai, yang terjadi adalah menghayati dahulu dan berpikir kemudian.<br /><br />Jauh setelah Chuck Close dan Gerhard Richter, kita memerlukan keberanian baru dalam mencerna realisme fotografis. Apa yang tampak biasa-biasa saja, ternyata menyembunyikan apa yang luar biasa, entah itu teknik, pelapisan makna, atau sesindiran akan sejarah seni rupa itu sendiri. Apapun yang terjadi, tampaknya nyali demikian cukup banyak tersedia kini, di ruang ini. Apalagi karya-karya lukisan dan patung yang kita hadapi sekarang seperti membuat kita berjalan di daerah perbatasan, <span style="font-style:italic;">twilight zone</span>—antara gagasan dan bentuk, antara keserentakan dan pengendapan, antara keseharian dan penjarakan. Pada masa kemarin, mungkin seni kontemporer berusaha menyatukan dua kontras itu; pada hari-hari ini, seni (masihkah kontemporer?) mungkin justru memelihara polaritas tersebut, sebagaimana terlihat dalam karya-karya Budi Kustarto. Kita masih jauh dari kesimpulan, juga nanti kiranya, ketika kita beranjak keluar dari ruangan ini. Saya ucapkan selamat kepada sang seniman, yang telah menantang kita dan seluruh perbendaharaan kita; juga kepada galeri Nadi, yang sepanjang riwayatnya sampai hari ini, telah mempertemukan pasar dan wacana. Terima kasih.<br /><br /><i>(Tulisan di atas adalah sambutan pembuka saya untuk pameran Budi Kustarto di Galeri Nadi, Jakarta, Maret 2005. Berbentuk ketikan dengan coretan tangan, tulisan itu saya temukan kembali belum lama ini di antara tumpukan berkas yang sudah lama tak tersentuh.)</i>NIRWAN DEWANTOhttp://www.blogger.com/profile/04417648315459708379noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2300803234016469494.post-45278347055916946002010-02-15T07:54:00.000-08:002010-02-15T08:28:54.910-08:00Budi (1)<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhWmc3Rw4riEB-75d3DqrPbL30WuztET4iS1yTnGdp-nVD0dfIK_ojNi4PtwJ9O5SNRS2CrgP2UF7QdN2h-wdtzOm5QgeeMhc8AlLM0GlVvDWBta4WtRptO18wYwUvu0BYvlc48wR07dImr/s1600-h/IMG_3001.JPG"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 150px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhWmc3Rw4riEB-75d3DqrPbL30WuztET4iS1yTnGdp-nVD0dfIK_ojNi4PtwJ9O5SNRS2CrgP2UF7QdN2h-wdtzOm5QgeeMhc8AlLM0GlVvDWBta4WtRptO18wYwUvu0BYvlc48wR07dImr/s200/IMG_3001.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5438499780060261010" /></a><br />Sering saya bertanya-tanya, di manakah kini ketrampilan menggambar wujud, khususnya tubuh dan wajah manusia, lebih khusus lagi wajah sendiri. Memudarnya ketrampilan ini, dari satu sisi, pernah dipercayai sebagai pudarnya aura seniman-pencipta; dan, dari sisi lain, adalah makin kerasnya ejekan terhadap seni lukis (beserta “seni murni” yang lain). Memang kita masih melihat potret diri, misalnya yang dibuat Agus Suwage dan, pada masa sebelumnya, tubuh manusia pada kanvas Dede Eri Supria. Tetapi kedua pelukis ini menyalin—atau “mengeblat”—foto, sungguh lain dari Sudjojono, Trubus, atau Affandi, misalnya, yang mencuri langsung dari dunia nyata.<br /><br />Tapi konon kini tak ada lagi dunia nyata: semua hanya jalinan tanda, jalinan simulakra. Konon kini seniman hanya mengutip, bukan mencipta. Di mana-mana modernisme telah dikutuk, juga di tanah air kita: tak sedikit yang berkata bahwa pengarang (pencipta) telah mati (saya tambahkan: kecuali hak ciptanya, seluruh laba yang tumbuh dari karyanya). Kaum senirupawan kini, seraya menyebut dirinya perupa, mencibir jiwa tampak, cap jari, dan orisinalitas, tapi sayang sekali mereka tetaplah individu yang tak tergoyahkan di tengah medan sosial seni. Tidakkah semua itu lebih menyatakan hilangnya ketrampilan, <i>craftsmanship</i>, ketimbangan penentangan terhadap modernisme yang pernah berkuasa itu?<br /><br />Atau mungkin seni selalu harus diletakkan dalam tanda kutip: suatu ranah yang batas-batasnya harus selalu dicairkan, bukan dibekukan. Sang perupa selalu dihantui materialitas: dan materi itu, medium seni itu, selalu tak cukup sebagai representasi realitas: ia harus menjadi realitas itu sendiri. Berbeda dengan sastra, misalnya: kaum sastrawan tak bisa keluar dari mediumnya; apa yang disebut realitas hanya—dan melulu—hadir dalam rumah penjara bahasa, <i>the prison house of language</i>. Tetapi seni rupa menolak untuk tinggal di dalam batasnya sendiri: ia ingin melebur ke dunia; meski tetaplah ia kecil, dan paling banter ia hanya akan bersifat setengah-publik saja.<br /><br />Karya-karya Budi Kustarto seakan menggemakan kembali pelbagai pertanyaan di atas. Tubuh dirinya yang berwarna tunggal, hijau, melayang di ruang kosong—sepintas-lalu seperti hasil foto yang dimanipulasikan secara digital. Di sini ukuran dan tempat pajang menjadi sangat penting. Setara dengan itu barangkali adalah sejumlah bilbor iklan yang menampilkan tubuh dan wajah (yang juga telah dimanipulasikan), tetapi yang tak lagi mengejutkan kita. Berbagai patung dan lukisan Budi Kustarto tampaknya masih berusaha mengejutkan kita dengan repetisi bentuknya—berbagai variasi dari potret dirinya. Namun kualitas kehadiran dirinya yang terlalu biasa, meski ia telanjang, malah menipiskan upaya kejut-mengejutkan itu. Maka repetisi pun dalam kekaryaan Budi Kustarto mungkin menjadi meta-ironi, yaitu ironi tentang ironi, ya, sebab sudah terlalu banyak yang membuat ironi dengan mencibir diri sendiri, misalnya saja yang kita lihat pada sejumlah potret diri Agus Suwage dan Chatchai Puipia dan para epigon mereka. (<i>bersambung</i>)NIRWAN DEWANTOhttp://www.blogger.com/profile/04417648315459708379noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2300803234016469494.post-32554532329415569872010-02-01T06:06:00.000-08:002010-02-02T19:38:35.156-08:00Gema Para Penari<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgsNwoTY98D1rxB2FMYOZtwA5ItZEV-T7dtUOdizL5zZ6QWPXWTjc9AeSYFudWydFrYpCwNmDyWXjnnL2nROAwBvpcgC0WTgpIMbSZclyshBVqfMR0Oz9qBtoDvU2pI-CxfDaBFNvYB1vyz/s1600-h/ODC+Unintended+Consequences+photo+Steve+DiBartolomeo.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 143px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgsNwoTY98D1rxB2FMYOZtwA5ItZEV-T7dtUOdizL5zZ6QWPXWTjc9AeSYFudWydFrYpCwNmDyWXjnnL2nROAwBvpcgC0WTgpIMbSZclyshBVqfMR0Oz9qBtoDvU2pI-CxfDaBFNvYB1vyz/s200/ODC+Unintended+Consequences+photo+Steve+DiBartolomeo.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5433277075109144178" /></a><br />Menonton sebuah pentas yang baik, kita seperti mengosongkan diri. Ketika pertunjukan selesai, kita merasa lega luar biasa. Tapi sekaligus juga merasa kurang: kenapa ia, pentas itu, harus berakhir sekarang, kenapa tidak bertambah lagi. Kita merasa lapar, lapar akan sosok-sosok penampil itu lagi, juga semuanya—tata gerak, tata cahaya, tata musik. Mengalami sebuah pentas tari yang baik ibarat mengalami persetubuhan yang tulus. Setelah orgasme, kita merasa kosong. Dan diri yang kosong bukanlah diri yang percuma. Kekosongan itu akan terisi lagi oleh gema, bayangan, rasa—tilas dari dia yang kita pergauli. Kita merasa lega, tapi tiba-tiba merasa sedikit was-was, benarkah dia masih akan bersama kita lagi. Kekasih kita. Pentas yang baru saja kita saksikan.<br /><br />Pengalaman itulah yang saya dapat akhir Januari lalu ketika menatap pentas kelompok ODC/Dance yang datang dari San Francisco, di sebuah teater <i>blackbox</i> di Jakarta Selatan. Ketika saya menuliskan kalimat-kalimat ini, lelaku para penari masih bergema, dan masih akan bergema pada hari-hari mendatang. Seperti halnya ketika saya usai menonton pentas Henrietta Horn dan Min Tanaka beberapa tahun lalu di Jakarta. Engkau dapat mengatakan bahwa kesan saya bersifat sangat pribadi. Mungkin engkau benar. Sebab, bagi saya, kita selalu menilai dalam perbandingan. Bertahun-tahun ini, setelah menonton sejumlah karya tari kita, saya berkesan bahwa para koreografer kita (juga para penari kita) tertarik-tarik oleh semacam avantgardisme di satu sisi, dan sejenis klasikisme di sisi lain; yang pertama, cenderung “mengotori” (barangkali padanan untuk “mendekonstruksi”) tarian; yang kedua, menarik tarian ke dalam pakem dan kebekuan. Atau, dengan kata lain: yang pertama berambisi meleburkan tarian ke dunia sehari-hari; yang kedua, menjadikan tarian cuma alibi bagi masa lampau.<br /><br />Mode dan tren datang dan pergi, tapi Brenda Way, sang koreografer, memberi kita tiga nomor tari yang bertolak dari balet. Balet, khazanah lama itu, di tangan Puan Way, menjadi bukanlah sekadar balet, tapi sajian yang hidup. Saya katakan sajian, karena nomor-nomor itu tidak berpretensi untuk menyodorkan gagasan mentah, katakanlah gagasan “filosofis” (yang, mohon maaf, sering menghantui para koreografer kita). Koreografi Puan Way pada dasarnya adalah desain yang mengolah daya penari sebaik-baiknya, sementara itu para penari dapat memaksimalkan tubuh mereka dengan desain itu. Tarian dapat bergerak ke mana saja, termasuk merengkuh gerak sehari-hari, namun selalu kembali kepada disiplin dan tertib bentuk. Tertib: bukan sekadar aturan, tapi juga alas bagi penari untuk mengudar berbagai gerak musykil dan berbahaya. Desain tentu saja mengandung kepekaan akan unsur-unsur penunjang seperti cahaya dan musik. Tentang penggunaan musik, misalnya, saya catat: musik bukan hanya pakaian, tetapi juga bagian, dari raga tari. Terhadap musik, Puan Way juga dapat bersifat ironis, terhadap musik Laurie Anderson, misalnya. Ini terjadi pada nomor kedua, <i>Unintended Consequences</i>, yang buat saya adalah nomor terbaik pada malam itu: rancangan gerak khaotik yang secara perlahan, dengan percepatan yang terjaga, menuju rampak, rampak asimetris, dengan seorang penari yang seakan meloncat ke langit gelap pada penghujung.<br /><br />Gema pertunjukan yang baik sering membuat kita gundah: kita merasa bukan hanya kehilangan para pementas, tapi juga was-was kapan kita mendapat pentas setingkat itu lagi. Itulah sebabnya kita merasa kosong—mengosongkan diri, seakan sehabis menempuh persetubuhan yang lembut sekaligus bergelora. Atau, kita terus bertanya-tanya, jangan-jangan lingkungan kesenian kita terlalu banyak bermimpi tentang pembaharuan dan karya besar, sehingga kita jarang sekali mendapatkan kesenian yang wajar, bersih dan genap—sesuatu yang baru saja diberikan Brenda Way dan kawan-kawan.NIRWAN DEWANTOhttp://www.blogger.com/profile/04417648315459708379noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2300803234016469494.post-30124312743640055612010-01-24T21:34:00.000-08:002010-01-26T05:11:56.035-08:00Pantai Harapan (3)<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjhcp6gJ5vWOtFSPyS6UOl8z4gBRbUqDOQ72zGZ6YRLlWX2EsydSPhnzViYae8nM3i39i7idVQ8pjgqceMpO0AsHcQOz_lLMujkRv8xTPaK4ju2Qi860I2IQyFOTkphZ0lNlVMaLVBEIXNI/s1600-h/IMG_1791.JPG"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 150px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjhcp6gJ5vWOtFSPyS6UOl8z4gBRbUqDOQ72zGZ6YRLlWX2EsydSPhnzViYae8nM3i39i7idVQ8pjgqceMpO0AsHcQOz_lLMujkRv8xTPaK4ju2Qi860I2IQyFOTkphZ0lNlVMaLVBEIXNI/s200/IMG_1791.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5430547203449466466" /></a><br />Kusebut pantai harapan berkali-kali (entah sudah berapa kali, sedikit atau sebentar juga tak mengapa) karena dalam banyak kesempatan aku lebih dekat kepada lirik lagu pop—lagu yang agaknya menenggelamkan semua orang sehingga mereka berlaku sewenang-wenang kepada rasa dan bahasa.<br /><br />Kusebut pantai harapan dalam tulisan yang mencoba tak berpamrih ini (pamrih apa sebenarnya, karena ini cuma sebuah prosa yang agak bergula?), supaya aku terayun-ayun antara yang dangkal dan yang tergali, antara yang sebentar dan yang abadi, antara yang tersentuh dan yang tak terjangkau, antara tenggelam dan mengapung, antara Mooi Indie dan seni yang memihak disharmoni.<br /><br />Pantai harapan adalah pantai yang pernah kulihat—tepatnya, kualami—tapi yang entah kapan lagi datang. Pantai, atau pantai-pantai, itu tampaknya tak akan kudatangi lagi, tapi—semoga—tidak jarang mereka mendatangiku. Bayangan mereka, ya, hanya bayangan mereka saja. Pantai yang satu mendatangiku jika aku tiba di pantai yang lain, seakan mereka mencerminkan satu sama lain. Kalau aku datang di pantai ini, maka seakan pernah kulihat semua, seakan aku membawa pantai-pantai lain yang sebelumnya. <i>Déjà vu.</i><br /> <br />Pantai harapan yang pertama adalah apa yang pernah disebut <i>bum</i> dalam masa kanakku. Sebagaimana orang lain di kota kampung halamanku, aku suka pergi ke situ di setiap hari Minggu atau malam bulan purnama. Dari situ kami dapat memandang ke seberang, ke Bali yang entah kapan dapat kami kunjungi. Pantai yang memberi kami <span style="font-style:italic;">kijing</span>, semacam kerang bertentakel di muara sungai, yang lezat bila ditumis, kerang yang kiranya tak terdapat di pantai manapun.<br /><br />Dari Gilimanuk ke Baleagung adalah jalan raya yang kurang lebih menyusuri pantai barat daya Bali. Pada umur 13 tahun aku menempuh jalan itu bersama teman-temanku di atas sebuah truk berbak terbuka dan sampailah kami di Pura Rambut Siwi, pura yang pertama kali kulihat. Pura kuna yang tegak di atas tebing batu, menghadap ke Lautan Hindia. Ini pun pantai harapan juga, yang bersambung gaung ke pantai-pantai berikutnya, dan inilah yang muncul sekarang—<br /><br />Di pantai Bandealit di tepi Laut Selatan yang berbatas langsung dengan hutan raya taman margasatwa, aku melihat tapak-tapak kaki harimau kumbang; dan di muara sebuah anak sungai kami para murid-pekemah bisa mengambil kerang-kerangan yang dagingnya bisa kita hisap mentah-mentah.<br /><br />Dua bulan setelah tsunami aku kembali menyusuri pantai timur Atjeh yang pernah kukunjungi dua tahun sebelumnya. Tak bisa mengenali lagi sebuah titik di Lhok Nga, pusat tamasya di hari Minggu, aku terbawa oleh dua teman terus ke selatan, ke arah Leupung. Di sebuah warung kami berhenti dan aku, dengan hanya bercelana dalam, menyisir tepi jalan menuju ke pantai lepas; terheran-heran aku ketika si teman membuntutiku, “Bung bisa ditangkap polisi syariah,” katanya kemudian.<br /><br />Di pantai Mbweni, Zanzibar, di mana hotel yang kuhuni merawat sebuah kebun raya kecil dengan 150 jenis palem dan reruntuhan asrama sebuah misi Anglikan dari abad 19, aku suka memandang ke seberang sana, pagi atau sore hari, ke arah pantai timur Afrika; jika hari terang, akan tampak sebayang kerucut Kilimanjaro (yang puncaknya benar-benar kusaksikan dari dekat ketika sang pilot yang membawa kami dari Zanzibar ke Nairobi, berbaik hati merendahkan pesawat kecilnya ke situ).<br /><br />Di pantai barat Rio de la Plata, di Buenos Aires bagian timur laut, di belakang pelabuhan udara Jorge Newberry, ambang musim gugur. Pandanganku mencari-cari pantai Uruguay di seberang sana, yang tentu saja tak pernah terlihat sampai kapan pun. Hanya gelap malam, dan kapal-kapal besar yang melintasi muara mahabesar yang mengarah ke Samudra Atlantik ini.<br /><br />Memandang dari Chicago, seorang anak kampung seperti aku akan menganggap Danau Michigan sebuah lautan raya, karena tiadalah pantai seberang yang dapat terjangkau mata. Bertahun-tahun kemudian barulah danau itu benar-benar menjadi danau dalam cerapanku, ketika aku bisa melihat samar-samar kota angin itu, <i>the Windy City</i>, dari pantai sebuah kampus di Evanston, Illinois.<br /><br />Di pulau Paros, rumah-rumah putih dan gang-gang kecil di antaranya seperti menampung-abadi cahaya matahari dan biru Laut Aegea, untuk melindungi acara makan siang—dan <i>siesta</i>—yang mungkin terpanjang di dunia. Hampir seperti mimpi, kami yang baru saja saling mengenal di House of Literature, harus segera kembali, melalui Athena, ke tanah air masing-masing (kecuali aku, yang harus ke kota pinjaman di Wisconsin).<br /><br />Mengendarai sepeda “terpedo” dari Redondo Beach ke Hermosa Beach di California selatan pada awal musim panas, gugup karena masih harus belajar mengerem dengan memutar pedal ke belakang, lebih gugup lagi ketika seorang pengendara mabuk melajukan sepedanya zigzag. Di sisi yang satu, teras sejumlah hotel menempel ke badan jalan sepeda selebar lima meteran itu; di sisi yang lain, pantai Pasifik masih terasa lapang meski ditumpahruahi pelibur akhir pekan. Terbayang juga—kapan kita punya jalur sepeda di antara Kuta dan Canggu, misalnya, atau antara Anyer dan Carita?<br /><br />Tapi pantai-pantai harapan adalah juga yang berada di masa depan. Barangkali yang akan mengulang pantai-pantai yang barusan kudedahkan ini. Gambar-gambar yang dilukis dengan rasa, dengan bayangan, mungkin pula bukan dengan nahu dan subyek kalimat yang benar.<br /><br />Sejenak sebelum kami meninggalkan vila di Cibangbang itu, Pipip berkata, “Selamat tinggal, Kuda Laut. Selamat tinggal, <i>fettucini</i>. Selamat tinggal, kedai lezat. Selamat tinggal, ombak. Selamat tinggal, laut biru. Selamat tinggal, nasi goreng. Selamat tinggal, ikan bakar. Selamat tinggal, Tahun Baru. Selamat tinggal, pasir. Selamat tinggal, kelambu dan tempat tidur. Selamat tinggal, katak-katak dan kolam renang. Selamat tinggal....”<br /><br />Mungkin Pipip sedih dan bahagia sekaligus. Terhadap pantai harapan, kami mungkin jatuh cinta tanpa menyadarinya. Mungkin, ucapan selamat tinggal adalah juga ucapan selamat datang; karena bagi kami, pantai harapan tidak berada di belakang, tapi di depan. Meski kami harus sampai di Jakarta lebih dahulu, dan menyimak lagu-lagu lama lagi.NIRWAN DEWANTOhttp://www.blogger.com/profile/04417648315459708379noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2300803234016469494.post-28382198051793968662010-01-14T07:49:00.000-08:002010-01-27T07:42:03.845-08:00Pantai Harapan (2)<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhYHE824YdkzPCjZ7lT0gfP-WsLQ-Lh7N8IRzXEAHQK-ItyJb3M-TpIwpCK9XGS1IIqUGvEc5SwVFJOY_MZTLUqBw-ioglyCDpunAjRU4cS3UWCuA08-_YqWD0E73m_WvRkuOsYwMrjYfO7/s1600-h/IMG_3000.JPG"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 112px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhYHE824YdkzPCjZ7lT0gfP-WsLQ-Lh7N8IRzXEAHQK-ItyJb3M-TpIwpCK9XGS1IIqUGvEc5SwVFJOY_MZTLUqBw-ioglyCDpunAjRU4cS3UWCuA08-_YqWD0E73m_WvRkuOsYwMrjYfO7/s200/IMG_3000.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5426623924114544098" /></a><br />Kamar yang kami pesan berada di punggung bukit; kami bayangkan jauh hari sebelumnya bahwa dari titik ini kami dapat memandang laut lepas. Gerimis masih terasa deras ketika kami tiba. Dari ruang resepsionis kami harus menempuh kurang lebih enam puluh anak tangga yang meliuk teramat licin. Surup menjelang magrib membuat pendakian ini semakin tidak menggirangkan hati. Tiba di beranda, kami hanya dapat memandangi kerimbunan hijau di sekeliling, sawah kecil nun di sebelah timur dan jalan aspal yang memisahkan kompleks resor yang di perbukitan dan di pantai. Kecuali laut. Menyigi pelan-pelan ke dalam kamar tidur yang agak berdebu dan terasa sesak dan kamar mandi yang kurang melegakan (dan mesin pendingin yang tidak bekerja, padahal udara lembab luar biasa), kami putuskan pindah ke vila di dekat pantai, yang dua kali lebih mahal. Berhemat-hemat tidak akan membawa kami ke surga. Ini Cibangbang, yang harus kami buat masuk-akal untuk liburan tahun baru, biarpun secara singkat belaka. (Mohon maaf, gambar di samping ini bukan plang nama resor yang kami huni.)<br /><br />Ombak memecah terdengar sepanjang malam, dan pasang membuat garis pantai seperti mendekat ke vila kami. Ini kamar lapang, yang bisa menyetimbangi hamparan luas di depan beranda, hamparan rumput dengan pohon-pohon nyiur dan tanaman perdu, kolam air yang berlumut dan kolam renang di bibir pantai. Dalam gelap malam, hempasan ombak terdengar lebih nyaring. Ranjang kami rendah dan berkelambu, sementara kamar mandi cukup luas dengan pancaran air lebih dari deras. Daya lelampu terpasang sangat terbatas, tak ada pula pesawat televisi—semua ini disengaja agaknya, supaya para tamu terpisah dari dunia luar. Ternyata tidak—paling tidak untuk dua malam menjelang tahun baru itu. Jalan raya masih terlalu dekat, di mana deru kendaraan hilang-hilang timbul. Kemudian, pantai sepanjang teluk dipadati pengunjung, yang datang dari desa-desa dan kota-kota kecil di sekitar Pelabuhan Ratu. Pada puncak malam tahun baru, mereka, yang sudah tumpah ruah sejak sore hari, berjamaah (tanpa imam) membunyikan klakson sepeda motor dan mobil, serta menyalakan petasan dan kembang api. Sungguh, dalam merayakan tahun baru, kota dan desa tak berbeda, Saudara!<br /><br />Teluk mahaluas di hadapan kami menerima ribuan anak sungai dari pegunungan di hadapannya; di kompleks vila kami sendiri terdapat tiga anak sungai. Anak-anak sungai ini membawa aneka kerakal batuan malihan, yang selanjutnya ditebarkan merata oleh gelombang ke bibir pantai. Bila Pipip asyik menyongsong ombak pada pagi atau sore hari, seraya mengawasinya agar ia tak terlalu ke tengah saya coba mengamalkan diri lagi mengamat-amati aneka kerakal itu dengan naluri lama saya. Semuanya batuan malihan, <span style="font-style:italic;">metamorphic rocks</span>—ini istilah dalam geologi, ilmu yang pernah saya dalami bertahun-tahun lalu. Yakni, batuan sedimenter yang dipanasi magma sehingga berubah rupa maupun komposisi pembentuknya. Sekis, pualam, rijang, misalnya. Pasir pantai berwarna legam, mestinya kaya dengan aneka mineral hitam rontokan dari berbagai batuan itu. Di pantai di hadapan vila kami, terdapat cadas-cadas runcing batuan sekis hijau, yang masih menampakkan sisa pelapisan batupasir. Sedikit ke sebelah barat, terdapat tebing konglomerat menjulang (di mana kadang-kadang terlihat pasangan berpacaran) yang juga sudah termalihkan; dan inilah sesungguhnya arti konglomerat: fragmen-fragmen butiran aneka batuan dalam matriks batupasir. Jalur pengunungan di utara kami, yang membentang sampai ke Ujung Kulon mestinya adalah museum hidup bagi kaum geolog. Tapi kini saya bukan lagi seorang geolog, melainkan turis.<br /><br />Pantai-pantai yang berbatas langsung dengan perbukitan terjal selalu menarik hati kami. Menyusuri pantai seperti ini adalah seperti memecah diri antara terjun ke keluasan tanpa batas dan meninggi ke puncak yang tak diketahui. Terombang-ambing antara garis lurus cakrawala dan gegaris patah-patah runcing punggung bukit adalah semacam janji untuk memilih salah satu, tapi ternyata kita hanya berada di ambang, mengambang, mungkin berupaya mengembang, tanpa dapat memilih. Demikianlah jika kita berada di pantai Jawa Barat selatan atau Aceh timur, misalnya. Tapi kita agak bersedih barangkali ketika menyusuri apa yang bernama jalan propinsi yang membentang dari Pelabuhan Ratu ke Cibangbang. Seperti sudah saya katakan di bagian pertama, banyak rumah, warung, toko menempel sampai ke bibir jalan, yang membuktikan bahwa jalan raya itu hanya jalan desa biasa yang sekadar diaspal (dan bahwa desa-desa utama di sekujur Jawa berpusat pada himpunan rumah penduduk yang melekat ke badan jalan). Pandangan kita ke arah punggung bukit dan ke laut lepas akan terhalang, dan kita terpaksa mencari ruang sisa di antara deret bangunan untuk melayangkan pandang ke balik sana. Berkendara ke tempat tujuan adalah selalu menunggu di mana lagi, ya, di mana dan kapan lagi pantai dan lereng menampakkan diri. Seakan setiap langkah ke depan adalah menunggu kesempatan itu tiba. Pada sejumlah sejumlah simpang tiga terdapat tanda JALUR EVAKUASI—yang menunjuk jalan ke arah perbukitan. Tanda ini tentu agak membingungkan bagi orang luar seperti kami, tapi segera kami sadar bahwa itu upaya dini untuk menghadapi bencana tsunami (yang semoga tak akan pernah datang). Dan kami sampai juga ke pantai harapan di Cibangbang.<br /><br />Dalam cahaya remang-remang kamar kami bisa puas bermain <span style="font-style:italic;">scrabble</span> di atas ranjang pada malam tahun baru, sambil mengabaikan pesta klakson, petasan dan kembang api yang berlangsung di sejumlah pantai teluk mahaluas itu.NIRWAN DEWANTOhttp://www.blogger.com/profile/04417648315459708379noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2300803234016469494.post-42015473112647498702010-01-05T07:53:00.001-08:002010-01-08T22:49:05.072-08:00Pantai Harapan (1)<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi3l3h2q0IXkUbnx_ctn_AvFLdP4bEeaVGUaY8zTsNV00hYxwilB14O7PMo-_8qX0X0rqO6wCW2Le-ogA-IcmMFISU6GT61-sQu_ePZjSSwAHyMPDlyq9zUnxkMGXu_Jzm3VZQ49g0AZtTJ/s1600-h/pantai+edited.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 150px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi3l3h2q0IXkUbnx_ctn_AvFLdP4bEeaVGUaY8zTsNV00hYxwilB14O7PMo-_8qX0X0rqO6wCW2Le-ogA-IcmMFISU6GT61-sQu_ePZjSSwAHyMPDlyq9zUnxkMGXu_Jzm3VZQ49g0AZtTJ/s200/pantai+edited.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5423284802253474914" /></a><br />Selepas pintu tol Ciawi kami tahu bahwa kami sama sekali tidak meninggalkan kalibut. Dan malam tahun baru tidak akan menjadi saat buat meneropong diri sendiri. Pastilah kami akan bertemu dengan sejumlah besar orang berusia muda-teruna kiranya, yang juga ingin merayakan pergantian tahun dengan pesta raya di sejumlah titik di pantai selatan itu—dengan lengking serunai atau klakson, pun dengan petasan dan kembang api. Sudah bertahun-tahun saya tidak melewati jalan ini, yang sebagaimana jalan-jalan antarkota (yang dalam peta disebut jalan negara) lain di Pulau Jawa, tidak menjadi lebih baik dalam dua dasawarsa terakhir (barangkali lebih lama lagi—jadi ke manakah perginya uang para pembayar pajak?). Barisan kendaraan terpaksa merayap, antara lain karena jalan ini harus melewati pasar-pasar di Cigombong, Cicurug dan Parungkuda. Kami bercanda dan bicara ringan saja supaya tidak merasa bosan. Toyota Yaris kami tentu tidak buruk, tapi tentu hanya sebuah mobil-kota, yang harus berpayah-payah untuk perjalanan selama itu. Dari jok belakang, Pipip, yang bukan kanak-kanak lagi, bercerita tentang Borat, si lelaki gawat Kazakhstan dalam sebuah film.<br /><br />Sebelum Cigombong kami berbelok ke timur, menyusuri jalanan desa ke sebuah restoran di tengah sawah berundak. (Restoran ini gencar sekali mengiklankan dirinya dengan jejeran spanduk-berdiri selepas Ciawi.) Sayang sekali acara santap siang dengan menu Sunda ini bukan rehat yang menyenangkan, karena kami harus menunggu sampai sejam untuk siapnya sajian. Tapi rasa kenyang ini cukuplah untuk perjalanan tiga-empat jam berikutnya ke pantai harapan. Tidak jauh dari Pelabuhan Ratu mestinya, ke arah barat. Di mana laut dan perbukitan curam bertemu.<br /><br />Sebelum Cibadak, kami memberanikan diri berbelok ke barat atau barat daya. Jalan berkelok-kelok, melewati punggungan bukit terjal. Namun dengan ini jarak bisa jauh diperpendek dan waktu dihemat. Mestinya saya pernah melewati jalan ini bertahun-tahun lalu, untuk sampai ke lembah Sungai Citarik—untuk berarung jeram dengan teman-teman. Kali ini kami cukup heran bahwa hamparan luas punggung bukit sebelum Cikidang banyak ditanami kelapa sawit. Kebun teh hanya muncul sesekali, dan juga kebun karet. Jalanan cukup sepi, meski banyak tikungan tajam berbahaya, dan tak sedikit kendaraan yang berpapasan dengan kami melaju dengan pengemudi yang lebih banyak menggunakan dengkul ketimbang kepala. Di pinggir-pinggir jalan banyak sekali pohon durian, yang lebat berbuah. Gerimis turun sepanjang jalan. Ketika melihat teluk dengan muka air yang berkilau-kilau nun di bawah sana, kami mengira kami akan sampai. Ternyata tidak.<br /><br />Di jalan raya Pelabuhan Ratu, tidak lama setelah kami melewati Tenjo Resmi, wisma kepresidenan yang tampaknya sudah terhapus dari ingatan khalayak, masih berdiri restoran Padi-Padi, yang saya kunjungi 13 tahun lalu. Dulu restoran ini ramai sekali (karena, saya ingat, hidangan lautnya sangat mengesankan; juga, dulu, di sini banyak dipertontonkan ikan-ikan eksotik, antara lain ikan sebesar betis asal-Amazon yang bisa menjalarkan arus listrik), sekarang ia gersang dan sepi pengunjung. Berlomba dengan sepeda motor dan angkot, jalan raya menyempit kurang-lebih lima kilometer setelah pintu gerbang hotel Samudra Beach tanpa kami sadari. Peta buatan Indo Prima Sarana berskala 1:400.000 ternyata sungguh mengelabui. Sejak menjelang Cisolok sampai tempat tujuan, apa yang disebut jalan propinsi ternyata hanya semacam jalanan desa beraspal kasar, yang tak cukup lebar untuk dua mobil. Banyak rumah menempel pada bibir jalan. Tidak sedikit warung penjual durian dan rambutan. Kami mencari-cari restoran santapan laut yang meyakinkan (untuk makan malam nanti atau makan siang esok), betapa mata kami ragu pada semuanya. Tapi kami belum patah arang dengan si pantai harapan, yang sepintas terdengar—atau terlihat—seperti dalam lagu pop dari tiga-empat dasawarsa lalu.NIRWAN DEWANTOhttp://www.blogger.com/profile/04417648315459708379noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2300803234016469494.post-74199013553570301832009-10-23T19:47:00.000-07:002009-10-23T20:21:28.185-07:00Khatulistiwa<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgxsbD3OIx3w7-4i7aw5QVjMUKCaZ57WAafaPpLrtbu_wJLPcVtWvYWxyKwax5t94GUuxBaHp4VEcWBXyMa1CFAIhURkZzkQMrKWTdVSQGZH89GJUjHADNjwzvDjHRdzA5m5Xy5zsLQu055/s1600-h/macan+dinding.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 108px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgxsbD3OIx3w7-4i7aw5QVjMUKCaZ57WAafaPpLrtbu_wJLPcVtWvYWxyKwax5t94GUuxBaHp4VEcWBXyMa1CFAIhURkZzkQMrKWTdVSQGZH89GJUjHADNjwzvDjHRdzA5m5Xy5zsLQu055/s200/macan+dinding.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5396001385885583714" /></a><br /><span style="font-style:italic;">Penyelenggara Hadiah Sastra Khatulistiwa (Khatulistiwa Literary Award) meminta saya, selaku pemenang untuk buku puisi tahun lalu, menulis komentar tentang penghadiahan itu. Berikut ini tanggapan saya, yang akan mereka muat dalam buku acara penghadiahan tahun ini:</span><br /><br />Saya berharap Hadiah Sastra Khatulistiwa menjadi sebuah lembaga kritik sastra. Seraya mengangkat topi untuk Tuan Richard Oh dan kawan-kawan yang dalam waktu hampir satu dasawarsa ini berkeringat-dan-berdarah menyelenggarakannya dengan konsisten, saya sungguh berharap Hadiah Sastra Khatulistiwa menyadari tugasnya sebagai salah satu peletak standar mutu sastra.<br /><br />Dalam kehidupan sastra yang sehat, terdapat aneka kritikus dan lembaga penilai yang bersaing satu sama lain dalam memantapkan standar mutu sastra. Sedangkan tanah air kita mengalami kelangkaan, kalau bukan ketiadaan, kritik sastra. Kelangkaan ini berpotensi memerosokkan kehidupan sastra kita ke dalam lautan desas-desus dan, akhirnya, ke dalam mediokritas. Saya berharap penyelenggara Hadiah Sastra Khatulistiwa menyadari situasi ini.<br /><br />Sambil merangsang penerbitan buku sastra, Hadiah Sastra Khatulistiwa barulah dalam tahap menetapkan pemenang. Untuk menjadi lembaga penilai yang sebenar-benarnya, Dewan Juri Hadiah Sastra Khatulistiwa harus mengumumkan alasan pemenangan. Dan ini belum pernah terjadi, paling tidak sampai tahun lalu. Jika saja Dewan Juri beranggotakan tokoh-tokoh sastra yang berwibawa, maka putusan mereka belumlah berwibawa, karena mereka sama sekali tidak mengabarkan argumen mereka.<br /><br />Namun tentulah alasan pemenangan itu mustahil dibuat, jika penjurian dilakukan seperti selama ini. Penjurian dalam tiga tahap—dan setiap tahapnya dilaksanakan oleh para anggota yang berbeda-beda, yang tidak bertemu muka, dan sekadar mengirimkan “surat suara” secara tertutup—memanglah tiada pernah melahirkan argumen.<br /><br />Saya menduga, cara penjurian seperti itu dipilih untuk menghindari “elitisme”. Namun “populisme” semacam itu barulah manis di bibir belaka: belum berarti benar sumbangannya dalam mengembangkan jumlah pembaca maupun kehidupan sastra.<br /><br />Singkatnya, penjurian harus diperbaiki dengan mendasar. Saya kira, yang paling tepat adalah mengangkat Dewan Juri yang bekerja dari awal sampai akhir: orang-orang yang sama, yang bertemu muka dan beradu pendapat untuk memutuskan karya mana yang layak menang. Mereka, yang mesti berjumlah ganjil itu, dipilih dengan asas profesional belaka—yakni mereka yang selama ini memang berada di medan sastra. Dan mereka harus mengumumkan argumen mereka—simpulan dari silang pendapat mereka tentang kenapa buku inilah yang paling unggul—ke depan publik. Hanya dengan itulah Hadiah Sastra Khatulistiwa akan menjadi sebuah lembaga penilai sastra yang kokoh dan berwibawa.<br /><br />Hadiah Sastra Khatulistiwa haruslah menjadi alternatif terhadap berbagai lembaga maupun individu penilai dalam berbagai segi kehidupan kita yang menjalankan peran secara tak-rasional.NIRWAN DEWANTOhttp://www.blogger.com/profile/04417648315459708379noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2300803234016469494.post-46895000559040347482009-10-12T08:58:00.000-07:002009-10-13T19:26:38.497-07:00Lawan dan Cermin<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjSrSQF69nqltMB6NBwaFBiNbhGd_hGfyuR0-o0lyCj2isAQBrjv1zV3vqh0jUW4hjRrG-wYK8UkSJsPH4Iikuo_ek5d4izXJorOXBW56osIuZaRsaoUCIdOHf8-cKr1AZi301ewxAhu4GS/s1600-h/gantung+warna.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 138px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjSrSQF69nqltMB6NBwaFBiNbhGd_hGfyuR0-o0lyCj2isAQBrjv1zV3vqh0jUW4hjRrG-wYK8UkSJsPH4Iikuo_ek5d4izXJorOXBW56osIuZaRsaoUCIdOHf8-cKr1AZi301ewxAhu4GS/s200/gantung+warna.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5391744052808570738" /></a><br />Seringkali saya merasa—dan mengaku—tak punya biografi, tapi hari ini saya sedikit berbahagia. Barangkali karena saya baru saja membaca dua esai yang bersungguh-sungguh, yang akan disajikan pada sebuah diskusi buku puisi minggu depan. Dua esai yang memberi harapan bahwa kita masih punya kritik puisi di tengah banjir gosip sastra yang menyaru sebagai “kritik sastra.” Dua esai yang membuat saya—ataukah “dia,” karena si saya tak punya riwayat lagi—mendekati kitab puisi yang diperbincangkan itu sebagai pembaca, bukan lagi sebagai pengarang.<br /><br />Mungkin saya sedikit berbahagia justru karena menyadari yang serba-sedikit—yang sekadar dua buah—itu. Adapun yang banyak akan tetap membabi-buta. Sebagaimana biasa, sebagian besar kita akan tetap menyukai lautan mediokritas—tepatnya, mayoritas kita tak bisa membedakan mediokritas (kesedang-sedangan, atau kesemenjanaan) dari kecemerlangan. Jangan heran jika di tengah semua itu, “argumen” yang berlaku hanya bersifat <i>ad hominem</i> belaka.<br /><br />Hari ini saya mungkin sedikit berbahagia, dan saya makin percaya bahwa riwayat pengarang memang tak diperlukan, kecuali demi statistika kependudukan belaka. Kritik sastra yang berdalih membicarakan karya sastra, tapi ternyata memperbincangkan pengarang, sesungguhnya hanyalah hamba—bisa juga disebut bayangan—karya sastra; inilah "tinjauan" yang sepintas-lalu menyombong, namun sesungguhnya begitu rendah-diri di hadapan karya sastra. Adapun yang saya baca hari ini, yang serba-sedikit itu, adalah kritik sastra yang menjadi pesaing sejati maupun cermin karya sastra. Kritik sastra yang sepenuhnya mengabaikan—kalau bukan membunuh—si pengarang.<br /><br />Czeslaw Milosz percaya akan kepasrahan seorang penyair, yang menerima setiap puisi sebagai pemberian <i>daimonion-</i>nya. Jika saya tak percaya akan biografi si penyair, maka saya menganggap kepasrahan seperti itu sebagai lawan dari keakuan, egosentrisme romantik, yang memaksakan “pengalaman” diri-sendiri sebagai pengalaman pembaca; egosentrisme yang menjadikan dunia dan bahasa sebagai kendaraan belaka—kendaraan yang tidak bermartabat. Sekarang ini saya bisa berkata bahwa kepasrahan yang diuarkan Milosz adalah sebentuk kesadaran bahwa bahasa—artinya kekayaan bahasa—selalu lebih luas daripada sang pribadi.<br /><br />Kritik sastra yang menjadi lawan sekaligus cermin karya sastra mengungkap bagaimanakah <i>daimonion</i> itu: yaitu <i>daimonion</i> yang bersifat material, bukan sederet danyang atau ruh, tetapi berbagai tradisi sastra yang menghantui puisi, yang memberinya peluang untuk menggarap wilayah di antara yang mungkin dan yang mustahil. Kritik sastra yang menghamba mudah sekali menyimpulkan—memaksakan—“pembaharuan,” tetapi kritik sastra yang menjadi lawan-dan-cermin karya sastra mengeksplisitkan rangka dan daging karya sastra.<br /><br />Hari ini saya mungkin berbahagia, ketika menyadari bahwa “pembaharuan” sudah menjadi barang rongsokan, dan bahwa si “pembaharu” ternyata hanyalah setitik debu di tengah berbagai sejarah sastra di dunia ini. Hanya jika kita meremehkan biografi, atau otobiografi, kesadaran semacam itu terselenggara. Maka—tidaklah si penyair mencari tempat dalam sejarah sastra atau politik sastra. Puisinya belaka yang mengundang lawan sekaligus cerminnya.NIRWAN DEWANTOhttp://www.blogger.com/profile/04417648315459708379noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2300803234016469494.post-51693754760803441972009-10-04T05:59:00.001-07:002009-10-04T10:03:19.510-07:00Darah (2)<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhGqAfYDSP1qzIM_px8KvbnfhgoedjWZdvmul-vsl3m_D_FWuc4GLwGSkjPcBHn7-jJQzY8sdLwNbWvTxSnc5SItGFGelWNOgl3wMVk9IZ8lnEfkH4_CkTxRJe1mxAKtPXE9XEjKf1jrOiZ/s1600-h/IMG_2871.JPG"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 150px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhGqAfYDSP1qzIM_px8KvbnfhgoedjWZdvmul-vsl3m_D_FWuc4GLwGSkjPcBHn7-jJQzY8sdLwNbWvTxSnc5SItGFGelWNOgl3wMVk9IZ8lnEfkH4_CkTxRJe1mxAKtPXE9XEjKf1jrOiZ/s200/IMG_2871.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5388729694452404082" /></a><br />Bertahun-tahun lalu saya menyadur sebuah sajak karya Kryzysztof Karasek. (Sajak itu, pernah termuat di sebuah harian Yogyakarta, juga di sebuah antologi stensilan terbitan Dewan Kesenian Jakarta, yang saya temukan kembali baru-baru ini.) “Darah Kata,” demikianlah judul sajak itu. (Saya tak berhasil menemukan kembali terjemahan Inggris sajak si penyair Polandia itu, yang termuat di jurnal <span style="font-style:italic;">Partisan Review</span> sekitar akhir 1980-an.)<br /><br />Menurut sajak saduran (yang berbentuk puisi-prosa) itu, “Darah kata menghilang jika darah sebenarnya tumpah ke jalan-jalan.” Lebih lanjut lagi, jika darah kata menghilang, maka buku-buku pelajaran menjadi pucat, dan koran-koran menderita anemia.<br /><br />Saya tertegun membaca kembali baris-baris itu. Dulu (ketika usia saya masih sangat muda), barangkali, ketika menyadur sajak itu, saya mengira bahwa “perjuangan” lebih penting daripada “kesenian,” dan bahwa “realitas” lebih kuat ketimbang bahasa. Kini saya menganggap darah kata tidak lebih lemah ketimbang degup darah dari tubuh kita.<br /><br />Menurut sajak saduran itu lagi, “Betapa tak indah darah kata itu, sebab ia telah menghidupi puisi dan tata bahasa.” Pada bagian akhir, sajak itu menganjurkan, “Belajarlah mengendus bercak-bercak darah yang membekasi halaman-halaman buku sejarah dan buku tata bahasamu. Belajarlah membaca jeritan-jeritan kalimat yang ditindas, kalimat-kalimat yang pernah berkobar oleh aliran darah kata.”<br /><br />Kini, pada waktu membaca puisi atau tulisan apapun yang menderita kurang-darah, kita bisa menyimpulkan bahwa si penyair adalah dia yang terbelah oleh bahasa dan realitas, oleh kata dan pengalaman. Dia mengira bisa memperalat bahasa demi menyampaikan keharuannya; dia mendesakkan perihal pribadinya sebagai perihal umat manusia. Tapi jika demikian halnya, maka dia pun terbunuh oleh bahasa; keharuannya adalah milik dia sendiri, dan degup darahnya tak kunjung menjadi darah kata.<br /><br />Jika darah sejati tumpah ke jalan-jalan, maka keharuan saja tidak cukup. Di tengah leluka umat manusia, di depan darah yang menjalar ke kaki kita, kita menunda puisi dan menyingsingkan lengan baju. Jika saatnya tiba, kita mencari puisi lagi untuk menghayati leluka umat manusia. Untuk itulah puisi memerlukan darah kata, darah yang hanya bisa dihidupkan jika kita tak memperalat bahasa, hanya jika si penyair menyelami kembali tradisi sastra, yang hadir jauh lebih dahulu ketimbang dia.<br /><br />Ketika si penyair memandang masa mudanya, dia pun perlahan-lahan tahu bahwa darah kata tak bertentangan dengan darah yang tumpah di jalanan. Mungkin dia merasa bersalah tak bisa terlibat dalam semua momen bersejarah di dunia ini. Tapi dia menyimak dalam-dalam—untuk mengutip Karasek—“kalimat-kalimat yang ditindas,” seraya mengabaikan diri-penyairnya dan hidup belaka sebagai orang ramai, dan, pada saat yang semestinya, pulang ke laboratorium untuk menemukan—menghidupkan—kembali darah kata.NIRWAN DEWANTOhttp://www.blogger.com/profile/04417648315459708379noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2300803234016469494.post-19021976340892010762009-09-20T23:07:00.000-07:002009-09-25T09:02:08.178-07:00Darah<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh3RHDJihxdamgo2yTOu0nnzPjs-C82volKoh2jQHKETwOqJv2lq2GokYlywQ7RD2WIUUTTX0N_q1x4akF_n8v53TrqDTP1u7h6aIJWpmry8XVOZ-1934o0sVwffKvxIkKYX0N4Dq7X4cH8/s1600-h/merah+01.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 144px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh3RHDJihxdamgo2yTOu0nnzPjs-C82volKoh2jQHKETwOqJv2lq2GokYlywQ7RD2WIUUTTX0N_q1x4akF_n8v53TrqDTP1u7h6aIJWpmry8XVOZ-1934o0sVwffKvxIkKYX0N4Dq7X4cH8/s200/merah+01.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5383800311234573378" /></a><br />Para penyair, bahkan penyair terkini, barangkali gemar sekali mengatakan bahwa mereka menulis berdasarkan ilham. Tapi kita tidak tahu apakah mereka berdusta atau tidak. Kita hanya tahu apakah mereka <i>mengerjakan</i> puisi atau tidak, apakah mereka bergulat dengan bahasa atau tidak. Yang jelas, tidak ada Tuhan atau dewa-dewa yang bicara kepada mereka, membisikkan apa-apa yang harus mereka tuliskan ke atas kertas kosong. Satu-satunya bukti yang kita punya adalah puisi mereka.<br /><br />Hanya dengan puisi itulah kita bersoal-jawab. Sebuah puisi adalah sebuah artefak, yang membuat kita bisa menciptakan sejenis “arkeologi pengetahuan.” Sebuah puisi memang tidak membawa berita, tapi membimbing kita ke sebuah lingkungan bahasa. Puisi itu, secara tersirat atau tersurat, mengatakan seluruh kekayaan yang dimiliki bahasa yang bersangkutan, dan bagaimana kekayaan yang demikian menciptakan—maafkan saya, jika saya gunakan istilah berikut ini—“kepribadian” si pembuatnya. (Atau, secara terbalik: bagaimana kekayaan tersebut justru tak berguna apa pun, kecuali memiskinkan si penyair, yang percaya belaka kepada ilham.)<br /><br />“Kepribadian” itu tidak datang dari pertapaan di gua-gua atau lingkungan pergaulan lisan yang membangga-banggakan pencarian romantik penyair. Jika seorang penyair menjadi mabuk di bawah bulan purnama, terbuai di depan ombak samudera raya, terngeong di depan lanskap kota besar, atau terhisap oleh kekosongan angkasa luar, boleh dikatakan bahwa ia mabuk dan terbuai sebagai manusia biasa saja, artinya sesiapa boleh saja mengalami “pengalaman batin” semacam itu—pengalaman yang belum pasti akan menjadi sebuah artefak kata-kata. Seandainya seorang penyair melihat darah tumpah di jalanan, maka soalnya apakah ia mampu membuat apa yang dilihatnya menjadi darah kata-kata.<br /><br />Nyatanya, untuk membuat darah kata, daging kata, dan tubuh kata, si penyair harus memencilkan diri ke dalam ruang studinya. Ia masuk ke dalam lingkungan bahasa, tepatnya lingkungan tulisan, yang memberikan kepadanya bentuk-bentuk pengucapan yang mungkin. Bila ia mengolah yang mungkin ini, ia bisa pula menemukan yang mustahil—yang membuatnya bergerak lebih cepat ketimbang rekan-rekannya. Dan boleh jadi ia akan malu menyebut dirinya sebagai pembaharu, sebab sejarah-sejarah sastra di dunia ini adalah lautan pembaharuan. Ia tahu, jargon “pembaharuan” hanya membatasi geraknya. Sebab ia ingin leluasa bergerak ke depan, ke belakang, ke samping, ke atas dan ke bawah.<br /><br />Adapun lingkungan bahasa itu dalam artinya yang pertama tentulah lingkungan bahasa yang membesarkannya—bahasa ibu, atau bahasa nasional. Namun lingkungan ini tidak dibatasi oleh benteng-benteng apapun. Lingkungan ini selalu ditembusi—alhamdulillah!—oleh aneka artefak, jasa, bahasa, isyarat, makna, citraan, dari mana saja, dari seluruh buana. Di ruang studinya, sambil meragukan setiap kata dan frase yang mengejarnya, yang membuat ia mengerjakan puisinya, ia sesungguhnya bercakap-cakap dengan lingkungan sastra seluas mungkin yang bisa dijangkaunya. Tapi dengan itu pula ia menetapkan seberapa jauh ia bisa menguji model-model apa yang mungkin dan yang mustahil.<br /><br />Ironis sekali—bahwa ketika kita pembaca merasa menemukan “kepribadian” si penyair dalam puisinya, ia justru terus-menerus meragukan kepribadiannya sendiri. Berhadapan dengan jejaring tulisan yang menantangnya secara terus-menerus, ia justru kembali kepada kepada kekuatan bahasa itu sendiri, kepada kata dan frase yang menuntut gerak sendiri, kepada “nafsu” mereka untuk berbenturan—dan berjalin-kelindan—dengan kata dan frase yang lain. Ia bukan bersikeras mempertahankan kepribadian sendiri. Ia <i>mengerjakan</i> puisi, tidak untuk menunjukkan ke-aku-annya, tetapi untuk melenyapkan sosok pribadinya sendiri. Supaya pembaca nanti melihat bukan darahnya, darah pribadinya, tapi darah kata-kata.NIRWAN DEWANTOhttp://www.blogger.com/profile/04417648315459708379noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2300803234016469494.post-63061897092988577332009-06-29T00:51:00.000-07:002009-07-06T22:42:44.763-07:00Intermezzo: Catatan Tigor Ioannes Hutahaean (1)<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh6-Re-5NDDVMtOPGmb_FVDr9ZY2I0WL6QowGcmQddhLjbad6LKLZVMuD_-mWYwilI6NFMkGeaYyzASIjoxBKNxqWfIO02BO4fGy8ihGKBS8nZY8G3CSEJUrdyH-HmNSuzXIVtb07aLyPOH/s1600-h/tigor+ioannes+01.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 157px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh6-Re-5NDDVMtOPGmb_FVDr9ZY2I0WL6QowGcmQddhLjbad6LKLZVMuD_-mWYwilI6NFMkGeaYyzASIjoxBKNxqWfIO02BO4fGy8ihGKBS8nZY8G3CSEJUrdyH-HmNSuzXIVtb07aLyPOH/s200/tigor+ioannes+01.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5352654767232896866" /></a><br /><span style="font-style:italic;">Pulang dari forum baca-puisi—atau pertemuan penyair—di Guadalajara dan Belo Horizonte, penyair Tigor Ioannes Hutahean menulis di catatan hariannya. (Seperti biasa, setelah penerbangan panjang, asam lambungnya naik, mengganggu pankreasnya dan membuat migrennya kambuh berat, dan ia sudah tiga hari ini banyak berbaring di tempat tidur sambil melengketkan diri pada saluran Animal Planet di televisi. Makanan utamanya adalah pangsit kuah dan tahu baso yang dipesannya dari Bakmi Gajah Mada; ini sudah tentu makanan yang keliru bagi penderita tukak lambung kronis.) Ia tidak ingat tanggal dengan baik, ia hanya merasa hari itu hari Sabtu. (Adapun kita juga tidak tahu sudah berapa lama ia tiba kembali di tanah air; tapi kita tahu penanggalan—18 Agustus sebuah tahun kabisat—ketika ia menulis catatan di bawah ini):</span><br /><br />Manuel Lazaro Blanco, teman yang paling menjengkelkan. Ia pantas dipanggil musuh. Atau iblis. Bahkan anjing. Aku hampir meninju mukanya ketika ia berkata bahwa Ubud termasuk desa paling membosankan di dunia. Ia nyaris meludahiku ketika kubilang Cuba Libre bagiku terasa seperti kencing kuda. Sayang ia penyair yang cemerlang. Dan ia tampan pula: dari samping ia tampak seperti Kristus (bukan Lazarus!); dari depan, ia mirip Gael Garcia Bernal, tapi dengan rambut kriwil menjuntai ke bahu. Seusai membaca puisi di panggung, cewek-cewek selalu menguntitnya (meski suaranya terlalu ringan, nyaris tak bisa menggemakan puisinya). Pernah aku mengira bahwa para pengagum itu hanya ingin menghisap ototnya, tapi, ternyata beberapa sungguh-sungguh mampu menceritakan kembali sajak-sajaknya (bukan kebetulan, sebuah sajaknya pernah dipakai sebagai pembuka film <span style="font-style:italic;">Anjing Oaxaca</span> garapan Estanislao Schramm, yang melambung tinggi di antara kaum i<span style="font-style:italic;">ndie</span>). Sayang ia, sekali lagi, penyair cemerlang. Maaf, aku sedikit keliru. Puisinya cemerlang, sedangkan penyairnya sendiri, orangnya maksudku, layak dilupakan. Bagiku, puisinya seperti menggabungkan pengaruh Günter Eich, Amir Hamzah, dan Nicanor Parra. Bagaimana mungkin? Tapi begitulah yang kuresapkan sendiri, paling tidak dalam terjemahan Inggrisnya. (Terima kasih kepada Charles Damien Hass, yang sangat berhasil menerjemahkan Amir Hamzah ke Inggris, terjemahan yang kiranya mencapai para tukang syair seperti Manuel Lazaro Blanco.) Ia, yang lahir dan bermasa kanak di Uruguay dan kini tinggal di wilayah Costa Brava, Spanyol, bagiku tergolong penyair pelanduk. Aku benci sekali bahwa tahun depan kami akan bertemu lagi di Cape Town atau Macau.<br /><br />Ya, penyair pelanduk. Aku bertanya-tanya siapa penyair pelanduk di negeriku? Aku tiba-tiba tersadar bahwa kaum penyair di negeriku, sebagian besar mereka, dapat digolongkan sebagai burung merak dan bengkarung. Aku harap diriku tidak termasuk ke dalam golongan manapun, sebab aku layak dilupakan. Karyaku pantas dilupakan. Yang aneh, para penyair yang merasa karyanya akan kekal-abadi itu selalu saja cemburu padaku. Setahun ini dua-tiga kubu pengulas bertengkar seru tentang buku puisiku yang terakhir. Percayalah, pujian hanya membuatku mual, dan kecaman hanya membuatku tertawa ngakak seperti iblis terakhir.<br /><br /><span style="font-style:italic;">(bersambung)</span>NIRWAN DEWANTOhttp://www.blogger.com/profile/04417648315459708379noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2300803234016469494.post-18365014002722993792009-06-04T22:07:00.000-07:002009-06-04T22:57:27.750-07:00Intermezzo: Beting<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhBmYCc6Mt4AAuID24_AZUIDiBF_MBemg-lcJUoS38jqMUfli_hlq-80U9lr8s8W4mVNT7UZeM2h9adyBO56OfavMMHf9f4LY8zaBrMcWwoLnufg4MumKfGn0Rk2Y7IIaeQX9F5Mh_ANzt_/s1600-h/IMG_2022.JPG"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 150px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhBmYCc6Mt4AAuID24_AZUIDiBF_MBemg-lcJUoS38jqMUfli_hlq-80U9lr8s8W4mVNT7UZeM2h9adyBO56OfavMMHf9f4LY8zaBrMcWwoLnufg4MumKfGn0Rk2Y7IIaeQX9F5Mh_ANzt_/s200/IMG_2022.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5343707861691996674" /></a><br />Terima kasih atas segala pengharapan Abang. Tapi tolonglah tambahkan ke dalam doa Abang supaya kami diberi kesehatan dan rejeki yang baik. Janganlah Abang anggap kami ini lebih banyak ruh daripada daging. Janganlah pula Abang terlalu berharap bahwa saya akan datang ke depan Abang nanti dengan dua ton naskah baru. Memang banyak saya menulis—dan sebagian sudah saya perlihatkan pada Abang—tapi sebagian besar akan saya simpan dalam laci saya sendiri saja. Mudah-mudahan Abang sabar. Pada waktunya saya akan meminta saran Abang bagaimana menyunting dan menyusun-ulang sebagian tumpukan naskah saya.<br /><br />Saya akan segera memberi tahu Abang kalau kami sudah dekat pulang (tentu dengan harapan, Abang menjemput kami di pelabuhan udara). Pastilah saya sangat girang bahwa sering Abang menengok Gato, kucing Persia kami yang sudah tua renta itu; tolonglah, periksakan dia ke dokter hewan di Fatmawati itu, siapa tahu kuping kanannya bernanah lagi seperti tiga tahun lalu. Adapun titipan Abang sudah saya cari dan kumpulkan. Maaf, tidak bisa semuanya; akan terlalu berat jinjingan kami nanti. Yang penting-penting pasti kami dapat. <i>American Poetry Review, Poetry, Juxtapoz</i>, dan <i>Art in America</i>—setahun terakhir (saya desak Abang, nanti kita berlangganan saja deh, tidak mahal kok, apalagi kalau teman-teman juga ikut iuran!). Biar hati Abang sedikit panas, baiklah saya beritakan serba-sedikit di sini: di <i>Poetry</i> edisi April 2009—<i>Translation Issue</i>—ada terjemahan baru sajak Günter Eich yang Abang suka, “Inventory,” kerjaan Joshua Mehigan (sedangkan yang Abang selalu baca adalah versi Charlotte Melin); ada juga terjemahan sajak Víctor Terán, yang menulis dalam bahasa Zapotec, Mirza Asadullah Khan Galib (bahasa Urdu), dan Diakwain (bahasa /xam di Afrika Selatan); tiga yang terakhir ini pas dengan minat Abang, yang sedang mencari-cari sastra dunia <i>yang lain</i>, bukan sastra dunia yang ditulis dalam bahasa-bahasa bekas imperia. Adapun novel dan buku puisi cukup banyak, daftarnya akan segera saya sampaikan pada Abang.<br /><br />Beberapa kali saya sempat menengok bekas apartemen Abang di Eagle Heights—nomor 812. Ya, masih seperti dulu. Bangunan tak berubah. Juga pohon mapel yang kekar dan tua itu. Di bawahnya dulu kita sering bikin makan-makan untuk teman-teman pada musim panas. Sudah berapa tahun berlalu? Jangan bilang kita sudah menua. Abang bersumpah tidak mau kembali ke mari, ke kota yang tumbuh di beting di antara dua danau ini karena, kata Abang, “Mana mungkin aku kembali ke kampung halaman kedua? Kita hanya layak kembali ke kampung halaman pertama.” Tapi saya kembali lagi; bukan untuk bernostalgia, tapi untuk hidup. Kalau saya bersepeda di pinggir Mendota, atau bergegas dengan kaki di jalan setapak ke arah Picnic Point, saya seperti merasa tidak pernah meninggalkan kota ini. Memang saya tidak kembali ke kampung halaman kedua; saya hanya beruntung menancap kembali ke tempat-tempat di mana saya pernah tinggal agak lama, untuk menghayati betapa sebentar masa kita di dunia—dan betapa kita bersyukur untuk masa yang sebentar itu. Tapi percayalah, Abang, saya sudah banyak berubah sekarang. Misalnya saja, Abang akan heran bahwa saya menjadi pelihat burung; sekarang saya tahu burung apa yang lewat di depan mata saya; saya tahu, misalnya, gerombolan burung hitam bersayap merah (<i>Agelaius phoeniceus</i>) merajai padang gelagah di pinggir danau; burung kardinal merah berjambul (<i>Cardinalis cardinalis</i>) adalah makhluk soliter yang suka bersembunyi di gerumbul daun; dan angsa Kanada (<i>Branta canadensis</i>) membesarkan anak-anaknya di telaga-telaga kecil yang tak disentuh manusia. Saya membeli teropong Nikon Travelite V (9x25 CF), supaya makhluk bersayap itu lebih terasa lebih dekat ke mata dan ke jantung hati; dan kini—ini pasti Abang susah percaya—saya lebih suka membeli buku tentang burung daripada buku tentang seni rupa. Akhir minggu ini, kami berencana pergi ke Horicon Marsh, tempat aneka burung singgah dalam migrasi mereka demi cuaca yang lebih sejuk ke Utara.<br /><br />Musim semi datang terlalu cepat—atau lebih tepat, tidak berjalan baik. Suhu turun-naik tanpa kendali, bergerak di antara 50 F dan 80 F (pertengahan April sudah terasa panas, misalnya, tapi hari kemarin cuaca merosot ke bawah 60 F lagi). Sehingga, pohon kembang kesukaan Abang, <i>tulip tree</i> (ingat, Bang, ini bukan magnolia!) dan <i>crabapple</i> (ini bukan <i>cherry blossom</i>!) tidak berkembang dengan baik; kembang-kembang itu kurus, pucat dan lekas gugur, dan daun-daunnya terlalu lekas lebat; bahkan sekian banyak <i>tulip tree</i> yang ada di Arboretum juga terlihat lesu-bunga; sedangkan tetampuk <i>crabapple</i> di lapangan di depan Memorial Union terlihat jauh lebih kusam kecoklatan. Namun, <i>daffodil</i>, narkisus, lili, tulip tetap kembang-kembang yang keras kepala—artinya, tak terlalu peduli pada suhu—tetapi juga tidak bisa pamer diri sebaik tahun lalu. <i>Lilacs</i> pun tidak terlalu bersemangat menyemburkan warna ungu-merahnya, meski wanginya tetaplah cemerlang (nah, Abang, kalau saya berdiri di depan pohon <i>lilacs,</i> saya ingat Abang yang tetap saja heran kenapa T.S. Eliot menulis “April is the cruelest month, breeding/Lilacs out of the dead land—”; dan Abang lebih heran lagi, kenapa Harold Bloom nyaris mengabaikan penyair ini sama sekali). Sekarang ini, pasti Abang ingat, awal Juni, adalah giliran <i>iris</i> dan peoni; ya, <i>iris,</i> yang kata Abang ibarat gaun yang tidak memerlukan tubuh perempuan, gaun yang cukup dengan dirinya sendiri, yang seperti melungsur jika terlalu lama dipandang; dan peoni, yang buat saya adalah satu-satunya kembang yang lekas bosan dengan tampuknya sendiri, seperti ratu yang lelah oleh kecantikan dan kenikmatannya sendiri (hari ini saya lihat sejumlah tangkai peoni mulai lengkung-runduk ke tanah, diberati oleh tampuknya yang besar-layu).<br /><br />Dan “kampung halaman kedua” yang tidak akan Abang kunjungi ini, makin banyak lagi punya makanan dunia. Tadi kami pergi makan ke sebuah restoran Thai yang baru buka di East, tepatnya di Fair Oaks Avenue; kami simpulkan, ini restoran terbaik untuk jenisnya di sini, setelah kami tandaskan <i>tom kha,</i> salad cumi-cumi dan ketan mangga. Begitulah kabar kecil dari kami, Abang. Dan, tentulah saya sangat girang bahwa Abang sudah membeli beberapa buku puisi yang banyak terbit enam bulan terakhir ini di tanah air. Tolonglah ceritakan apa hasil pembacaan Abang. Tapi jangan lupa memberi saya saran apakah dua sepeda Schwinn kami layak dibawa serta ke Jakarta. Salam hangat buat keluarga Abang.NIRWAN DEWANTOhttp://www.blogger.com/profile/04417648315459708379noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2300803234016469494.post-80070884691912784392009-06-01T00:05:00.000-07:002009-06-02T21:35:06.216-07:00Intermezzo: Naik Haji, Naik Kelapa<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi-dMWHzEtRSJfXlnHWqyKqoqpM438mNgtnjUr3OeWziCTuUue-LJjf-o9qxEnhnc5LsR2KNYWWJin8L-okb7utbF2obefPKzvgJetBRSVJ1VR-k6vCNnw-_yIXH9pAGHFIizWWWvRbzc42/s1600-h/cabmerah+01.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 148px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi-dMWHzEtRSJfXlnHWqyKqoqpM438mNgtnjUr3OeWziCTuUue-LJjf-o9qxEnhnc5LsR2KNYWWJin8L-okb7utbF2obefPKzvgJetBRSVJ1VR-k6vCNnw-_yIXH9pAGHFIizWWWvRbzc42/s200/cabmerah+01.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5342225085495540802" /></a><br />Bahasa kita punya cara yang nyaris ajaib dalam menciptakan frase yang tampaknya saja mudah dipahami. Frase yang saya maksud adalah gabungan dua kata, katakerja dan katabenda, misalnya saja “naik haji.” Dalam kesempatan ini saya akan menggamit sejumlah frase yang mengandung “naik.”<br /><br />Tentu saja, “mudah dipahami” berarti semua orang bersepakat tentang artinya. “Naik haji,” misalnya, tidak mengandung arti lain. Tidak juga kita peduli apakah frase itu menyalahi kaidah nahu.<br /><br />Tapi apakah anda tahu apa itu “naik kelapa”? Ini adalah ungkapan yang banyak dipakai di Sumatra atau wilayah-wilayah lain yang terkena pengaruh bahasa Melayu. Dan kalau anda tidak akrab dengan pohon kelapa atau kebun kelapa, anda tak paham apa arti frase itu.<br /><br />“Naik kelapa” adalah naik ke—atau menaiki—pohon kelapa. Tentu saja, tindakan ini bertujuan. Yaitu, untuk memetik buah kelapa.<br /><br />Lebih gamblang lagi, “naik kelapa” adalah pemendekan “naik ke pohon kelapa untuk memetik buah kelapa.” Kita lihat, di sini terjadi penghapusan beberapa kata, juga awalan dan akhiran. <br /><br />Tentang “naik gunung” kita tak bertanya lagi, meski itu seharusnya berbunyi “naik ke gunung” atau “menaiki gunung.” Jelaslah, di sini ada penghapusan awalan “me” dan akhiran “i” atau kata “ke.”<br /><br />Bagaimana dengan “naik haji”? Mungkin, karena kita sudah sama-sama mengerti—tepatnya, menyepakati—artinya, kita akan mudah menelusuri duduk perkaranya. Ternyata tidak. Frase ini jelas bukan pemendekan “menaiki haji” atau “menaikkan haji.”<br /><br />Kalau kita pertimbangkan segi keagamaan, maka “naik haji” boleh berasal dari “naik ke rukun Islam yang paling tinggi, menunaikan ibadah haji.” Kata “naik” bisa juga mengandung makna “naiknya kadar iman,” juga “naiknya status sosial” seseorang yang berhaji. Tapi saya curiga, bahwa frase “naik haji” tercipta pada masa yang lalu ketika orang masih harus “naik kapal” untuk melaksanakan ibadah haji.<br /><br />Atau “naik” bisa juga berhubungan dengan posisi Nusantara terhadap Saudi Arabia. Pergi ke Mekah adalah pergi ke arah utara, tepatnya utara-barat (barat laut). Dan dalam peta, utara itu ada di atas. Jadi, “naik haji” adalah “naik ke Mekah, untuk berhaji.” Atau, dengan konotasi religius, maka pergi ke Mekah itu adalah berangkat—meningkat secara ruhaniah—dari arah bawah (Nusantara, yang bukan tanah suci, yang sekadar punya Serambi Mekah) ke atas, ke Kota Suci.<br /><br />Kalau orang bilang “penyanyi itu sedang naik daun,” maka kita sudah paham maksudnya. Tapi saya bertanya, dari mana itu frase “naik daun”? Si penyanyi sudah pasti penyanyi baru, atau penyanyi muda. (Tidak ada penyanyi tua yang dikatakan “naik daun.”) Mungkin ia mirip kuncup daun, atau daun muda: daun yang sedang mekar. Tapi, ke arah mana si daun tumbuh—ke samping atau ke atas?<br /><br />Ya, tentu saja kita bisa membayang-bayangkan bahwa daun tumbuh ke arah atas—tapi bukan selembar daun, melainkan himpunan daun dalam sebatang pohon. Jadi “naik daun” boleh jadi adalah representasi dari si pohon, pohon muda, yang tumbuh terus ke arah atas, seperti naik ke langit, guna mencapai kedewasaan. Seperti juga si penyanyi.<br /><br />Atau, kalau kita berani berspekulasi, “naik daun” itu bisa juga setara dengan “naik gunung.” Maka, “naik daun” adalah “menaiki daun.” Lantas kita mafhum, bahwa yang suka naik ke daun-daun itu adalah ulat. Akhirnya kita tercenung, apakah si penyanyi itu seperti ulat. Imut-imut, tapi juga bikin gatal. Bikin gatal tapi perlu.<br /><br />Tapi ada mungkin di antara anda yang berkata bahwa “naik daun” itu memang ungkapan dari daerah tertentu yang sudah diterima oleh penutur bahasa Indonesia. Ungkapan yang menunjuk kiprah si Polan naik menuju ketenaran dan kejayaan. (Adapun mereka yang menggunakan “naik kelapa," punya juga “naik rumah baru”—<span style="font-style:italic;">housewarming</span>, kata penutur Inggris.)<br /><br />Sementara itu, meski ada “turun gunung,” kita tahu tak ada “turun daun” dan “turun kelapa.” Tapi, paling tidak, kita tahu betapa tak sederhananya asal-usul frase-dua-kata dalam bahasa kita. Mungkin kita, selaku pengguna bahasa, harus segera “turun mesin.” Kalau tidak, kita tak bisa “naik kelas,” apalagi “naik pangkat.”NIRWAN DEWANTOhttp://www.blogger.com/profile/04417648315459708379noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2300803234016469494.post-63375874936595913912009-05-21T01:30:00.000-07:002009-05-21T15:37:23.673-07:00Intermezzo: Sastra Dunia?<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj50x83azaoe8Z1WeExHbVqJHc8XXbEY19GHpaWEIagb1Ta2_Mku6Yal6KN23YEzQLhBLJFgo6jQ45qg87Z3kdEDqa0YrHkTIKgq7NpREghYaWfp9gmGEiLMyb7YQ4ezlwWAuNfR9RCrX_R/s1600-h/intermezzo03+gambar.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 150px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj50x83azaoe8Z1WeExHbVqJHc8XXbEY19GHpaWEIagb1Ta2_Mku6Yal6KN23YEzQLhBLJFgo6jQ45qg87Z3kdEDqa0YrHkTIKgq7NpREghYaWfp9gmGEiLMyb7YQ4ezlwWAuNfR9RCrX_R/s200/intermezzo03+gambar.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5338153253079875778" /></a><br />Kawan, kudengar lagi sejumlah sejawatmu menganjurkan kita, para warga sastra, untuk menyoalkan sastra dunia; menyoalkan secara positif tentu. Apa yang bisa petik dari sastra dunia, apa yang bisa kita berikan kepada sastra dunia. Tapi, saya kira, yang mereka maksudkan sebagai sastra dunia itu adalah <i>best-selling books</i> belaka. Sastra dunia yang mereka tunjuk-tunjuk itu, tanpa mereka sadari, ternyata sempit sekali.<br /><br />Dan kisaran buku laku sastra dunia yang mereka aspirasikan itu sungguh jauh lebih sempit lagi. Yaitu buku-buku menurut pasar Amerika Serikat, yang juga mengimbas ke sejumlah toko buku di Jakarta dan Singapura. Misalnya saja, karya pemenang Nobel asal Amerika Selatan atau Turki. Atau nama-nama yang juga sempat berbau harum karena tersangkut “wacana pascakolonial”—seperti para penulis asal India, tapi jelas bukan Danilo Kis. Juga bukan, misalnya, Roberto Bolaño, yang saya kira tak akan laku di negerimu.<br /><br />Nama-nama yang hanya muncul di jurnal-jurnal dan majalah-majalah kecil dan buku-buku keluaran penerbit kecil dan <i>university press,</i> sudah pasti tak masuk tangkapan para “pengagum sastra dunia” itu.<br /><br />Pasar tentu tidak jelek, tapi perlu kita curigai habis-habisan perangainya. Di negeri di mana saya tinggal sekarang, banyak sekali yang mestinya bisa laku tapi ternyata tidak. Misalnya saja Le Clézio, yang barusan memenangkan Nobel, jelas tiada bergema. Para pemenang Premio Rómulo Gallegos dan Prix Goncourt juga tidak berbunyi. Banyak pemenang Booker Prize juga cuma numpang permisi. Kesimpulan saya: sastra dunia itu ditentukan oleh pasar, tapi pasar juga terbagi-bagi menurut wilayah bahasa dan sejarah sastra terkait. Tidak ada pasar dunia, dalam arti pasar yang bisa bertukar-seimbang mata jualan sastra di masing-masing ranah bahasa-bahasa eks-imperia, jangankan bahasa-bahasa di luar itu.<br /><br />Sastra dunia itu luas tak terhingga, Kawan. Dan kalau kita pasrah kepada pasar, maka kita akan perlahan membutakan diri. Sebab, dalam apa yang bernama sastra dunia itu lebih banyak yang tersembunyi. Yang di pasar itu cuma puncak gunung es. Untuk mencari tubuh gunung es itu, sebagian saja, sebagian kecil bahkan, kita memerlukan cara dan muslihat tersendiri (esok kita diskusikan soal ini). Di tanah air kita, di mana universitas sangat terbelakang dan perpustakaan sejati tak kunjung ada, kita semakin tumpul dalam mencari apa-apa yang tersembunyi itu.<br /><br />Singkatnya, engkau harus menemukan sastra dunia menurut kebutuhanmu sendiri. Jangan jadi pengagum, jadilah pencuriga. Kalau engkau mengelirukan sastra dunia dengan <i>best-selling books,</i> engkau seperti katak hendak jadi lembu. Kita harus menyempitkan sastra dunia, tapi menyempitkannya dengan sadar, lebih tepatnya menentukan fokus perhatian setajam-tajamnya—memilih model-model yang bisa tunduk ke dalam aspirasi sastra kita. Dan model-model itu bisa jadi datang dari nama-nama—tepatnya, karya-karya—tersembunyi, yang tidak ada di pasar; bisa juga sesuatu yang sama sekali ada di bawah hidungmu, di kampung sendiri dan kampung-kampung tetangga, yang sayang sekali tak pernah kautengok.<br /><br />Dan akhirnya, Kawan, janganlah memproyeksikan dirimu ke sastra dunia. Maksudku, janganlah memantas-mantaskan dirimu berdiri di sebelah para penulis <span style="font-style:italic;">best-selling</span> itu. Karyamu yang cemerlang adalah karya yang kaubuat ketika engkau memusatkan diri kepada bahasamu, materimu yang paling dasar. Jangan jadi pengagum, karena pengagum itu hanya berjarak seujung rambut dengan pengekor. Sudah ada sejumlah sahabatmu yang menjadi pembuntut novelis Kolombia itu; ada, misalnya, sejenis pengulas sastra yang kepalanya dipenuhi karya si Kolombia (tentu lewat terjemahan Indonesia), sehingga ia tergelincir oleh sastra dalam bahasanya sendiri: ia tidak sanggup membaca—atau ia memang tidak pernah membaca.<br /><br />Maksudku, betul-betul membaca. Bukan membolak-balik halaman buku. Maka, untuk sementara ini, mari kita bunuh si sastra dunia.NIRWAN DEWANTOhttp://www.blogger.com/profile/04417648315459708379noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2300803234016469494.post-58091342826653229032009-05-12T12:48:00.000-07:002009-05-21T21:30:14.704-07:00Intermezzo: Surat untuk B<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjLWeu4YhgtXxvT6Bgx110zjt80SuIqvXyQs08DMqAqmgLS4LDLs4-cIVJ8C87i5uNrFZbPg0jyf8JUgsmRYPJgJbJOdoFenfb1_75XJIEcrV4PKD-6qO9MKJfEUwOT3n9nmvkacBtZUtaV/s1600-h/Cover+2.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 132px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjLWeu4YhgtXxvT6Bgx110zjt80SuIqvXyQs08DMqAqmgLS4LDLs4-cIVJ8C87i5uNrFZbPg0jyf8JUgsmRYPJgJbJOdoFenfb1_75XJIEcrV4PKD-6qO9MKJfEUwOT3n9nmvkacBtZUtaV/s200/Cover+2.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5335027128458446274" /></a><br /><br /><i>(Mohon maaf. Surat ini menyela penantian anda, sidang pembaca, akan lanjutan</i> Kitab dan Senjata, <i>yang nomor keempatnya akan terunggah segera setelah ini.)</i><br /><br />Bung, saya urung mengirim-teruskan tulisan anda ke rekan-rekan terpercaya saya; sebab, terus terang saja, saya khawatir mereka akan “mendahului” (atau “mencuri”) gagasan anda. Kalau tulisan anda sampai ke tangan beberapa orang sebelum ia terbit, saya harap anda sendirilah yang menyebarkannya. Saya kira, sampai surat ini ditulis, tulisan Bung adalah telaah paling serius terhadap kitab puisi saya, maka wajar kiranya banyak orang akan cemburu terhadap tulisan anda, dan berusaha “melebihi”-nya.<br /><br />Sejumlah telaah terhadap kitab puisi saya, baik yang sudah terbit di media massa maupun beredar di internet, lebih banyak berupa tembakan berbau <i>ad hominem</i>. Atau, paling kurang, para “pengulas” itu menghubungkan puisi saya dengan apa yang pernah keluar dari mulut saya (maka, mulut saya pun mereka buat lebih menonjol ketimbang kekaryaan saya). Ada, misalnya, telaah yang berusaha menghubungkan puisi saya dengan “puisi dunia,” tapi ketika saya bertanya langsung kepada si pengulas, kenapa ia begitu ragu-ragu menilai, ia menjawab, kurang lebih sebagai berikut, “Saya harus berhati-hati supaya saya tak dianggap bagian dari lingkaran Bung.”<br /><br />Lingkaran saya? Sejak kapan saya punya lingkaran atau komplotan? Jadi, begitulah, Bung, lagi-lagi “pertimbangan” <i>ad hominem.</i> Tampaknya mereka takut, atau belum kunjung masuk ke dalam puisi saya. Belum mampu membunuh si pengarang. Hanya “merasa-rasai” puisinya belaka (bahasa Jawa: <i>ngrasani</i>).<br /><br />Saya sudah ceritakan perihal tulisan anda ke H saja, yang selalu saya katakan sebagai salah satu pengamat puisi terbaik di negeri kita; sayang, sayang sekali ia tidak menulis, ia hanya seorang komentator yang tajam di lingkaran lisan teman-teman saya. Jika ia berminat, saya harap ia meminta langsung tulisan itu ke anda (saya berikan akun email anda ke ia).<br /><br />Saya sendiri membaca tulisan anda lagi dan lagi, dan ini tentulah menggugah saya berpikir lagi tentang puisi. (Tentu, terhadap kitab puisi saya sendiri, saya hanya bisa berdiri sebagai salah satu pembaca belaka.) Ada banyak hal menarik dari paparan anda yang layak didiskusikan di kalangan pembaca kritis kita, antara lain beberapa butir berikut ini—<br /><br />Tentang kesempurnaan bentuk dan komposisi, saya ingin mengatakan bahwa sebagian besar puisi indonesia (terutama dalam tiga dasawarsa terakhir) sama sekali tidak inderawi, tidak sensual—tidak menampilkan pengalaman kebertubuhan—karena mengabaikan bentuk, atau terlalu percaya pada “kebebasan bentuk.” (Saya sudah katakan berkali-kali, bahwa kebebasan mencipta itu tidak ada, kecuali kalau ia dipahami dalam lingkup disiplin seni. Kaum surrealis tak terkecuali. <i>Automatic writing</i> itu cara, bukan tujuan. <i>Automatic writing</i> dilaksanakan kaum surrealis untuk mendapatkan jukstaposisi maksimal, sementara dalam penyusunan kalimat mereka itu tertib sekali. Jadi, Bung, sejumlah orang yang mengira saya emoh pada <i>licentia poetica</i> itu keliru sama sekali; oh, maaf, mereka harus belajar membaca lagi.)<br /><br />Kalaupun ada komposisi, atau sesuatu yang seperti komposisi, pada sebagian besar puisi Indonesia hari ini, itu adalah sesuatu yang formulaik saja, yang hasilnya adalah puisi suasana, atau semacam imajisme semu, yang diganduli aku-lirik yang tidak lain ketimbang <i>alter ego</i> penyairnya sendiri. Singkatnya, puisi indonesia pada dasarnya masih bersifat romantik, di mana si penyair merasa bicara secara otentik, padahal dia sekadar memperalat—lebih tepat: diperalat—kosakata dan kosacitra yang baku-beku belaka. Sebenarnya ada persoalan teknis di sini, yang juga selalu saya katakan. Ibarat (bakal) pelukis, banyak penyair kita belum menguasai anatomi; jadi, ketimbang memiuhkan bentuk, “kesadaran puitik” mereka sudah terpiuh lebih dahulu.<br /><br />(Pertanyaan: bagaimana puisi-prosa saya, yang menyembunyikan “kesempurnan bentuk” di bawah permukaan, bahkan mengulur-mengudar bentuk sama sekali—kecuali dalam permainan motifnya? Tampaknya perhatian anda lebih terarah pada puisi saya yang “tertib-bentuk”?)<br /><br />Tentang situasi berjarak yang disebabkan oleh “kata-kata yang tidak biasa,” saya katakan bahwa masalah ini tentulah bukan-masalah lagi jika kita bandingkan, misalnya, dengan situasi membaca puisi dalam bahasa asing, yakni ketika kita hampir-hampir mencurigai seluruh perbendaharaan kita dan kita harus menggantungkan diri pada kamus. Atau, kalau Bung tak berkeberatan, ingatlah T.S. Eliot, misalnya, yang nyaris sama sekali mengasingkan pembacanya dengan berbagai acuan asing dan kutipan bahasa asingnya. (Eliot, sampai sekarang, tetaplah banyak diragukan. Borges, misalnya, dalam wawancaranya dengan <i>Paris Review</i> mengatakan bahwa puisi Eliot tidak berharga.) Jadi, sebenarnya tidak ada yang aneh dalam laku saya menggunakan “kata-kata yang tidak biasa,” kecuali kalau Bung menenggang kemiskinan-kata dalam puisi mutakhir kita. Kalau saya gunakan, misalnya, “mencekuh” dan bukan “merogoh,” itu karena saya memang tidak pas dengan fungsi “merogoh,” terutama dalam memberikan konotasi. <br /><br />Tentang konsep dalam puisi, atau puisi yang berkonsep, saya harap Bung melihat sejumlah contoh ini: Eliot melakukan alusi terhadap berbagai tradisi dan pemikiran sastra; Wislawa Szymborska dan Zbigniew Herbert menjadikan puisi mereka sebagai alusi filsafat atau anti-filsafat; Rene Char menulis puisi-didaktik secara terselubung; Goenawan Mohamad gemar menyisipkan pernyataan filsafat ke tengah puisinya (“Tuhan, kenapa kita bisa bahagia?”; “Sesuatu yang kelak retak, dan kita membikinnya abadi”, dan seterusnya). Dibandingkan puisi mereka semua, tentulah puisi saya sama sekali bukan puisi-konsep. Ataukah puisi saya hanya terlihat berkonsep karena saya menguarkan sikap sastra saya di luar itu? (Ah, maaf, Bung, banyak sekali yang melakukan <i>over-reading</i> terhadap wawancara saya dengan Ook Nugroho, yang termuat pada buku kecil peluncuran kitab puisi saya.)<br /><br />Melani Budianta mengatakan bahwa membaca puisi saya membuat kita bertanya-tanya, siapa yang bicara, dari mana datang suaranya? Maka saya bertanya, di mana si penyair dalam sajak-sajak <i>Jantung Lebah Ratu?</i> Dugaan saya, Melani tidak lagi memilah sang penari dari tariannya, sesuai dengan “harapan” Yeats—dan, bukankah ini pembacaan yang ideal menurut anda? Sedangkan Bung, justru karena referensi Bung yang teramat luas—ataukah karena Bung terlalu melihat kiprah saya selaku editor-<i>cum</i>-komentator sastra sebelum terbitnya kitab puisi saya—masih berupaya mencari-cari di mana sang penari dalam tariannya. Walhasil, si penari atau si pengarang itu memang tidak pernah mati.<br /><br />Bagaimanapun saya ingin melihat esai Bung itu terbit. Itu tentu merupakan sumbangan penting bagi “telaah sastra” kita yang dilumuri <i>argumentum ad hominem</i> dan sejenisnya.<br /><br />Salam hangat untuk teman-teman di lingkaran diskusi Bung.NIRWAN DEWANTOhttp://www.blogger.com/profile/04417648315459708379noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2300803234016469494.post-17938855789103012242009-04-27T09:51:00.000-07:002009-05-02T23:03:10.217-07:00Intermezzo: Surat untuk U<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjVTL5NG3VBUVxSBChLBJSpuPRUU1Yw6s5Mm46EIAvrIIT_zIRvbjegv-hYS64nErNErwabtK12gNAeeB1CopGhce115KTMX_5-B3CpoPCYYtdAFLGIXWWF9DScFZ7PpWr_5g_7pS0vo8B1/s1600-h/BK+diesel.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 187px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjVTL5NG3VBUVxSBChLBJSpuPRUU1Yw6s5Mm46EIAvrIIT_zIRvbjegv-hYS64nErNErwabtK12gNAeeB1CopGhce115KTMX_5-B3CpoPCYYtdAFLGIXWWF9DScFZ7PpWr_5g_7pS0vo8B1/s200/BK+diesel.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5329415383132936962" /></a><br /><br /><br /><span style="font-style:italic;">(Mohon maaf kepada teman-teman yang menunggu lanjutan “Kitab dan Senjata (I)”: surat ini menyela penantian anda. “Kitab dan Senjata (II)” akan termuat setelah ini.)</span><br /><br />Bung, pada status Facebook-mu kau menulis—tepatnya mengutip sebuah laporan—bahwa partainya Mas P menghabiskan dana lebih dari Rp 300 milyar untuk pemilu legislatif. Ada yang aneh dengan angka itu? Kalau Bung periksa, maka angka itu akan kecil sekali (tentu dengan nisbiah sekali!) bila terbanding dengan ongkos kampanye pemilihan presiden di negeri asing di mana Bung sedang belajar sekarang.<br /><br />Masalahnya, siapa yang menanggung ongkos kampanye partai? Seharusnya, konstituen partai yang bersangkutan. Tapi ini tidak terjadi. Konstitituen kita bukannya melakukan iuran, malah minta disogok atau dibeli; paling tidak, mereka gampang dibujuk dengan periklanan. Inilah yang menjelaskan kenapa partai yang duitnya gede bisa dapat suara yang lumayan banyaknya. Lalu kita bertanya: dari mana partai mendapat duit sebanyak itu? Dari siapa lagi—kalau bukan dari pengusaha?<br /><br />Bukannya saya mau bilang bahwa penguasaha dan orang kaya itu terlarang mendukung partai. Bukan. Mereka itu, seperti juga konstituen yang lain, menyumbang, bahkan menyumbang besar, tapi semua terjadi di atas meja, atawa di dalam koridor hukum. Dan itu terjadi di negeri asing di mana Bung sedang belajar sekarang. Tidak di negeri kita.<br /><br />Di negeri kita, partai belum bisa menarik dana dari (bakal) konstituennya. Itulah yang membuat kenapa partai-partai besar masih juga bergantung pada pengusaha. Partai-partai kecil juga sama saja, namun “sayang sekali” mereka belum mampu ber-“nego.” Dan kita tahu kenapa partainya si Mas, yang baru berdiri itu, bisa beroleh suara yang lumayan banyak. Iklannya “kuat.”<br /><br />Dan memang konstituen itu bisa dengan gampang dibeli. Maaf—berilah mereka songkok, sajadah, T-shirt, duit, dan seterusnya, lantas mereka akan mengangguk-anggukkan kepala kepada si partai atau si calon. Kalau mereka sedikit pintar, maka mereka gampang sekali terkena bujukan iklan. Para bakal pemilih kita tak ubahnya konsumen yang gamblang saja. Bung sudah tahu berapa biaya iklan? Misalnya saja, untuk iklan satu halaman penuh di gepok pertama koran K, kita harus membayar tidak kurang dari Rp 350 juta! (Nah, Bung sekarang tahu berapa banyak duit yang dipunyai partainya si presiden, yang sering pasang iklan di koran K halaman 1.)<br /><br />Dan—kenapa Mbak M begitu gampang berunding dengan Mas P? Ah, masak Bung tak tahu sih? Persamaan mereka dalam soal nasionalisme? Ya tak-lah. Partainya si Mbak, yang konon besar itu, tidak punya dana untuk maju ke Pilpres. Yang punya dana jelas Mas P dengan partainya. Jadi massa partai si Mbak yang besar itu juga belum mampu iuran untuk menyokong si Mbak maju ke Pilpres. Dan begitulah si partai berlaku “pragmatis”. (Tentu saja, lebih aman kalau para pengusaha mendukung si presiden, yang partainya kali ini, bukan kebetulan, jadi partai teratas dalam perolehan suara legislatif. Ada juga Partai GK yang, sudah jelas, secara tradisional memang partainya kaum pengusaha.)<br /><br />Bung tahu berapa dana yang diperlukan seseorang untuk maju ke Pilpres—jika pemilihan umum-nya “modern” kayak yang di negeri kita dan di negeri Bung di mana Bung belajar sekarang? Tanyalah kepada berbagai lembaga survai yang sekarang lagi ngetren di negeri kita. Jawabnya: antara Rp 500 milyar sampai Rp 1 trilyun. Lalu dari mana si calon dapat dana itu? Dari mana lagi—kalau bukan dari pengusaha? Lagi-lagi, konstituen tak mau (atau belum mampu) urunan. Dan dengan memberi duit sebanyak itu, pengusaha mau apa—Bung sudah tahu apa jawabnya. Maka, kalau si calon mau “menolak campur tangan penguasaha dalam politik,” dia harus mampu menggalang dana dari pendukungnya sendiri.<br /><br />Jadi, Bung, memang perpolitikan di negeri kita sekarang ini lebih ilmiah dalam satu segi: lembaga-lembaga survai bisa menghitung berapa jauh popularitas & elektabilitas seorang calon, memikirkan bagaimana cara menaikkannya, menghitung ulang peluangnya dan sampai di mana puncak susksesnya—dan lantas menghitung berapa biayanya. Jadi, semuanya “rasional.” Calon bupati, calon gubernur, calon presiden, calon anggota parlemen—semua bisa dihitung angkanya. Sayangnya, dengan “rasionalitas” semacam ini, para konstituen tetap saja terkebelakang, irasional dan bisa dibeli.<br /><br />Jadi, ketika si Mbak berunding dengan si Mas, semakin kita tahulah, bahwa banyak partai besar itu sebenarnya tak punya ide, ideologi, dan seterusnya—dan konstituennya ternyata cuma himpunan primordial saja. Hanya karena tak punya dana, maka sebuah partai bisa berlaku apa saja. Partainya si Mbak yang dimasuki—dengan harapan besar—oleh bekas anak-anak PRD (teman-teman kita, Bung!), mungkin sekarang harus ber-“koalisi” dengan partai yang dipimpin oleh bekas serdadu yang bukan hanya pernah menculik (dan menyiksa) anak-anak itu, tetapi juga mendukung sang patriark yang dulu menganiaya partainya si Mbak.<br /><br />Ini kan lebih absurd daripada teater absurd, Bung?NIRWAN DEWANTOhttp://www.blogger.com/profile/04417648315459708379noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2300803234016469494.post-42670207276394022622009-04-16T22:27:00.000-07:002009-04-16T22:29:50.887-07:00Pidato Menjelang Mati<i>(Ini bukan puisi, prosa-puisi, atawa sejenisnya. Mohon maaf.)</i><br /><br />Tuan-tuan dan puan-puan. Terima kasih. Saya mau permisi dulu. Kuburan saya sudah siap. Si penggali kubur sudah selesai bekerja, dan menggerutu, “Kok dia nggak datang-datang sih.” Para pelayat sudah terlalu lama menunggu, dan mengeluh, “Kok dia nggak mati-mati? Mau ngapain dia?” Ya, ampun, hampir saja saya lupa kalau Maut sudah amat bosan menunggu saya; lihatlah, Dia tak lagi menakutkan, bahkan jubah hitam-Nya sudah mulai pudar. Ah, saya cuma membuang-buang waktu belaka. Sebab anda sekalian terlalu baik buat saya. Tapi sebelum saya dikuburkan, saya mau berterima kasih untuk segala pesan anda, terutama untuk kuliah yang baru saya terima, khususnya tentang ilmu komunikasi dan ilmu sastra. Sebagai seorang murid yang baik, saya harus berkomentar, biarpun nyawa saya sudah di sampai di mulut. Namun, agaknya, kematian saya tidak akan percuma; sebab, dengan dekonstruksi, kita bisa meragukan beda antara eksterioritas & interioritas, sejati & bikin-bikinan, lingkaran dalam & lingkaran luar, hujat & puji, amarah & birahi, esensi & representasi, jejak & kehadiran—dan tentu juga <i>Facebook & the Book of the Dead,</i> dan seterusnya, dan sebagainya. Jadi, kematian saya adalah juga kehidupan yang lain. Kebangkitan. Maka tertawalah, Guru. Sebab jika saya mati, saya tetap saja berada di mana-mana. Kematian saya adalah kehadiran saya: ke manapun anda lari, di situ ada saya. Atau, jika anda menghindar dari saya, justru anda masuk ke haribaan saya. Di mana pun engkau jatuhkan hujan-mu yang harum-sedap malam, itu pasti mengenai saya. Lupakanlah segenap kitab yang pernah kugubah, karena kitab-kitab itu sudah larut ke dalam urat-urat darahmu. Kau akan mendendam padaku dengan sepenuh cinta, kau akan menyayangiku dengan sedalam dendam-kesumat. Selamat tinggal, Pujaanku. Selamat datang, Buah Hatiku. Jangan memaafkan saya beserta segala apa yang pernah saya buat. Gelap dan terang, sama saja—rasakanlah sekarang. Suaraku menjadi suaramu. Permisi.NIRWAN DEWANTOhttp://www.blogger.com/profile/04417648315459708379noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2300803234016469494.post-20223504970198184082009-04-16T22:24:00.000-07:002009-04-16T22:26:46.295-07:00Padma Manusia (2)<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiiqk7Q_pWpdJuyweZon3LM9qTdscC2EODksQcxBKTomkCU3GQTSYwdlQPBRZZ5UUrxkqG48ANv2NynpNbQX7uUL2U4azB7Z0Jfk1OEJc8_eCe4Wm4FYYp3EHwWgnxtuegFPkVX_H-LVj6X/s1600-h/alfi-melayang+1.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 214px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiiqk7Q_pWpdJuyweZon3LM9qTdscC2EODksQcxBKTomkCU3GQTSYwdlQPBRZZ5UUrxkqG48ANv2NynpNbQX7uUL2U4azB7Z0Jfk1OEJc8_eCe4Wm4FYYp3EHwWgnxtuegFPkVX_H-LVj6X/s320/alfi-melayang+1.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5325527489668270962" /></a><br /><br />Menumpuk dua bidang lukis, itu juga cara Alfi mengusik kita. Camkan <i>Fight atau Gelut,</i> misalnya. Bidang belakang yang terisi dua kerucut gunung hitam tipis mengambang di atas warna merah muda, sekonyong-konyong ditimpa dengan bidang depan putih: dua makhluk coklat dan hitam tengah bergulat, kaki salah satunya menjulur sampai ke bidang belakang. Dua pegulat ini tak meyakinkan sebagai manusia, mungkin mereka iblis, yang bagaikan bersaudara dengan sosok bayangan di bidang belakang. Kontras antara putih dengan merah muda, antara kepejalan dengan kemayaan, antara keorangan dengan kehantuan, mendedahkan sekali lagi daya yang meneror mata kita.<br /><br />Jika Escher dan Margritte suka mengganggu dunia dengan karya mereka (yang pertama mengaduk perspektif, yang kedua mengacaukan lukisan dengan apa yang terlukis), maka Alfi merepotkan karyanya dengan bagian dari karyannya sendiri. Namun, pantaskah kita bertanya mana yang bagian dan mana yang seluruh? Dengan kata lain: karyanya hanya mirip lukisan, atau pura-pura menjadi lukisan.<br /><br />Terkadang Alfi membiarkan kita hanyut dalam kekosongan. Tampaklah manusia terbaring di awan pada <i>Melayang 1,</i> tapi ia baru setengah selesai: ia kecil dan hilang-hilang timbul pada bidang gambar. Ia tak berjantina, maka kau boleh menyebutnya parodi terhadap sosok Odalisque atau Olympia, bahkan Wisnu dan Buddha terbaring yang terkenal itu. Sedangkan awan itu bukan awan, melainkan semacam ornamen yang belum rampung, mungkin motif ukiran Cina atau mega mendung batik Cirebon, boleh juga teratai yang bermetamorfosis. Semuanya dibiarkan tak lengkap, samar-samar, termasuk kerucut gunung yang tak meyakinkan itu, menyarankan bahwa apa yang kita lihat hanya maya jika bukan tipuan, menonjolkan rasa rawan, giris, kosong.<br /><br />Lukisan ini mestilah berpasangan dengan <i>Melayang 2,</i> yang mencoba mengimbangi kehampaan itu dengan coreng-moreng tipis: warna dasar abu-abu dengan bercak (laburan, tempelan) kemerahan, kebiruan, hitam dan putih, lalu garis-garis lurus yang tak bersistem. Kita berusaha mencari-cari fokus di sini: sosok terbaring atau terbang itu seperti terputar 90 derajat, dan “melayang” atau “mengambang” pun menjadi “terikat”, “meleleh”, “berkubang”, atau “bertabrakan”. Rasa kosong itu adalah bagian dari disharmoni—atau sebaliknya. Tapi mungkin kita girang menemukan sejumlah sosok teratai, yang mengikat kita kembali dengan “nada dasar” himpunan lukisan Alfi.<br /><br />Sesekali saya heran kenapa pelukis ini bisa juga cenderung kepada keheningan, kekhidmatan, dan kekosongan, seperti lelah dengan disharmoni dan keriuhan yang dikejarnya sendiri. Saya tersadar, ia mencoba melintasi titik jenuh (neo-)ekspresionisme: seakan ia mencoba mempercayai lagi tubuh yang nyaris habis atau remuk-redam termakan jerit, kesakitan dan histeria dalam kanvas Van Gogh, Munch, Dix, Bacon, De Kooning, dan Baselitz.<br /><br />Kanvas Alfi mendedahkan rasa bosan dan lelah terhadap kegilaan itu. Tubuh harus diselamatkan, tapi layakkah ia dipercaya lagi? Itulah tubuh yang sulit menempatkan diri di antara benda-benda: atau materi inilah yang menolak takluk kepada kesadaran tubuh. Maka manusia—tubuh lengkap atau anggota tubuh—menjadi secebis sosok maya mirip kabut, bayangan, atau eter. Sosok yang mendekat atau hendak lenyap kepada hening dan kosong (dan dalam hal ini, Alfi mengingatkan kita kepada Francesco Clemente). Mungkinkah si teratai—satu-satunya organisme selain <i>Homo sapiens sapiens</i>—membantu kita sampai kepada ambang pembebasan ini?<br /><br />Satu-satunya manusia yang meyakinkan dan layak dipercaya adalah diri Alfi, wajahnya sendiri. Diakah seorang Narsisus, pecinta diri yang gagal menyelamatkan manusia lain? Mungkin ia hanya peraih sisa kesempurnaan: anatomi dan faal seperti apa adanya, sewajar manusia. Wajahnya sahih, pejal, digambar dari samping, namun sungsang (mestinya tengadah, bukan?), terdesak kekosongan dan keluasan, mematung oleh nyala api putih atau kuncup teratai (<i>Hang Down</i>). Namun, sebagaimana Chatchai Puipia dan Agus Suwage, Alfi juga mendedahkan wajahnya yang mencoba memandang kita antara gamang dan garang, antara takut dan menakutkan, antara rela dan terpaksa, antara semangat dan sekarat. Seutas tali menusuk tembus telinganya, sementara di latar belakang kuntum-kuntum teratai seperti menjelma kobaran api (<i>Kepala Dingin</i>).<br /><br />Dan Alfi melukis potret dirinya tanpa bola mata, menyarankan betapa sulitnya memandang, mencerap dunia kita. Hanya sekali ia melotot, (nah, kali ini biji matanya sempurna), wajahnya mencoba riang sekaligus ironis, seperti Groucho Marx, tapi dagunya terpotong, seakan ia hanya muncul sejenak di antara tenggelam yang kekal (<i>Journey 10</i>). Selebihnya, ia menggambar wajahnya seakan selubung, topeng, selaput, yang sekadar mampir pada dirinya, aku-nya: dan dua lukisan ini segera dicoret-moretnya pula, dan disandingkannya dengan foto dirinya dari samping dan belakang (seri <i>Narsisofobia</i>). Jelas ia bukan seorang Narsisus: ia justru pencuriga, pengkhianat diri. Ia melihat wajahnya sebagai derau (“<i>noise,</i>” begitu ditulisnya di kanvas), sumbang di antara rupa-rupa di dunia ini. Lalu dengan menyangkutkan dua lukisannya pada bidang kayu, ia seperti mengolok-olok karyanya sendiri.<br /><br />Demikianla ia berbuat serong dengan—atau terhadap—karyanya sendiri. Ia memenuhi kita hanya dengan padma dan manusia ketika kita hampir menyerah kepada kalibut. Ia melukis: ia menodai lukisan: ia memurnikannya lagi. Didesaknya kita dengan coreng-moreng lalu ditariknya kita ke dalam hening dan kosong. Jumaldi Alfi Chaniago adalah paradoks itu sendiri: teratai yang menjelma api menjelma awan menjelma bayang-bayang. Wajah yang bersikeras menghibur namun juga mencacati diri. Tubuh yang berusaha utuh seraya meleleh. Belum juga lelah.NIRWAN DEWANTOhttp://www.blogger.com/profile/04417648315459708379noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2300803234016469494.post-65940747170540560162009-01-18T09:09:00.000-08:002009-01-18T09:11:22.590-08:00Padma Manusia (1)<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjwnfdDwG-OHoGbY011ZXvfkqOD5kMJEhzKAY2EPljEv06koaqnu4qf9zaiu4WKstFMUNWPlUAJMpQ8_J2JRQm2akK3JhOJupzbUM0BlIkpokWwxeR5hU-Ua5Iks-FDODzIMoG8gF1hCzdq/s1600-h/alfi-journey10.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 279px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjwnfdDwG-OHoGbY011ZXvfkqOD5kMJEhzKAY2EPljEv06koaqnu4qf9zaiu4WKstFMUNWPlUAJMpQ8_J2JRQm2akK3JhOJupzbUM0BlIkpokWwxeR5hU-Ua5Iks-FDODzIMoG8gF1hCzdq/s320/alfi-journey10.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5292682502491931970" /></a><br />Hanya ada dua jenis makhluk dalam kanvas Jumaldi Alfi di pameran ini yang segera kita yakini wujudnya: teratai dan manusia. Selebihnya adalah benda-benda, atau lebih tepat anasir, yang tak mudah takluk kepada mata kita.<br /><br />Teratai itu, misalnya, biru dan tampak hidup meski tak berdaun. Kelopaknya mekar wajar sebagaimana padma biasa, <i>Nelumbo nucifera</i> atau <i>Nymphaea sp.</i> Namun kita segera curiga: benarkah ia teratai? Tangkainya seutas tali yang lentur menjulur dari sebuah pinggan yang terisi cairan kuning. Sekilas pandang, ia berada pada sebuah ruang berdinding kuning tua dan berlantai kehijauan. Tapi sungguhkah ini sebuah ruang? Di bagian kiri kanvas, kita melihat gumpalan merah tua: seperti kaktus, balon, pantat, atau apa lagi? Di bagian atas, gumpalan hitam: cairan yang meleleh pada dinding, atau kabut yang hendak jatuh di tengah ruang.<br /><br />Alfi mengganggu proses pencerapan kita dalam dua langkah. Mula-mula ia memaksa kita menerima “teratai” itu. Ingatan dan pengetahuan kita tak mungkin membuat kita menamai benda itu sebagai “mawar” atau “payung” misalnya. Tapi ia bukan “teratai” yang sempurna, bukan pula yang cacat. Sosok itu cuma ganjil: ia membengkokkan citra kita tentang si bunga. Lalu, pada langkah kedua, Alfi membuyarkan tangkapan trimatra kita. Gumpalan—atau sebut saja leleran, jika kau keberatan dengan kesan volumetriknya—merah tua dan hitam itu mengacaukan kesan latar depan dan belakang.<br /><br />Teratai: kembang yang disucikan dalam khazanah Hindu dan Buddhisme. Alas duduk Wisnu dan Buddha. Bentuk dasar Borobudur dan pelbagai seni rupa keagamaan. Sulit saya menolak simbol warisan ini ketika saya menemukan teratai atau sosok-mirip-teratai dalam sejumlah lukisan Alfi. Apalagi lukisan yang barusan kita perbincangkan berjudul <i>Spirit,</i> judul yang membebani kita dengan perkaitan erat antara citra (teratai) dengan konsep (ruh, jiwa, semangat, arwah). Dengan ragu-ragu kita bertanya: jika Alfi mengulang-ulang citra (mirip) teratai itu, apakah ia tengah mendedahkan “ada” sebagai bagian dari “kosong”, “hadir” sebagai mata rantai “jelma” dan “moksa”?<br /><br />Namun teratai Alfi boleh juga dianggap sebagai teratai main-main. Jauh dari keagungan dan kesucian. Mana ada itu teratai bertangkai benang, tumbuh dari air di baskom, kecuali jika si pelukis memanjakan sifat kanak-kanak atau isengnya? Marilah kita bersikap rileks belaka: lukisan Alfi hanya mirip lukisan, namun lebih dekat kepada corat-coret. Ia mengulangi terus citra teratai, dalam pelbagai warna, wujud, dan ukuran, lantaran ia menyukainya. Seperti bocah yang belum bosan kepada mainannya. Atau seperti penyair yang gemar menggunakan kata “kucing” atau “pisau”. Suatu kali teratai Alfi begitu kecil dan lembut, hampir lolos dari tatapan mata (<i>Tanpa Judul</i>); kali lain, begitu besar dan kasar, menjajah mata (<i>Homage to The Unknown Artist—Kippenberger</i>).<br /><br />Corat-coret: namun benarkah si pelukis benar-benar spontan, edan, nakal, dalam mendedahkan dirinya? <i>Journey 1-3</i>, misalnya, sepintas terlihat sebagai coreng-moreng pada dinding: warna kusam atau pucat, sekalian dengan bercak seperti lumut atau jamur, leleran air dan noda, dan kelupas laburan, lalu coretan (atau torehan) kata dan tanda yang tak jelas artinya. Tapi, setelah kita mengatasi rasa jengkel kenapa lukisan bisa centang-perenang demikian, kita tahu Alfi seperti membatalkan—atau menyesali, katakanlah menyetimbangkan—kekacauan bentuk itu dengan semacam tertib. Dalam <i>Journey 2</i>, misalnya, kita dapati teratai, lalu sketsa perempuan mendeprok dalam anatomi yang baik.<br /><br />Coreng-moreng itu mungkin upaya untuk mengganggu keseriusan lukisan, untuk merampas kita dari apa yang dianggap baik dan benar dalam kanvas. Tapi bukankah upaya demikian sudah menjadi salah satu arus penting dalam khazanah seni rupa dunia mutakhir? Tak sulit mengenali jejak, misalnya, Cy Twombly dan Jean-Michel Basquiat dalam Alfi. Torehan, corengan, leleran warna dan tetanda—baik yang terdorong kegilaan dan kepekaan urban dari Basquiat, maupun yang dilandasi sikap hati-hati dan pencarian ke masa klasik dari Twombly—terbawa nyata dalam karya pelukis kelahiran Lintau, Sumatera Barat, 1973 ini. Namun, kita segera melihat bedanya. Dibandingkan Basquiat, ia lebih hemat dalam mencorat-coret, juga warnanya lebih pucat dan teduh. Ia juga menolak kecenderungan monokrom dan “minimalisme” Twombly.<br /><br />Dalam coreng-morengnya, terasa Alfi memainkan kesan tiga matra—hal yang tak terdapat dalam Twombly dan Basquiat. Sosok padma dalam <i>Journey 9</i> dan tangan dalam <i>Journey 4</i> sangat berkesan volumentrik: dan kita mungkin menuntut apa tak sebaiknya warna yang dominan itu menjadi latar belakang. Beranjak ke sejumlah lukisan lain yang sedikit banyak juga <i>belepotan</i>, kian terasa bahwa kombinasi warna dan garis itu tergarap sungguh-sungguh demi kedalaman dan keteduhan tertentu.<br /><br />Warna biru (<i>Journey 9</i>), merah-oranye (<i>Journey 7</i>), coklat-ungu (<i>Bijak</i>) yang hemat barik itu mungkin saja memberi kita tamasya warna yang sama dengan lukisan abstrak. Namun begitu terhanyut dalam tualang itu, kita segera bertanya apa yang kita lihat sebenarnya. (Kau berkata, lukisan abstrak membuat kita terseret sepenuhnya, tanpa bertanya perihal representasi dalam kanvas.) Itu pojok dinding, begitu kita berkata barangkali tentang <i>Journey 7</i>, karena tiga garis bertemu, dan kita mengenali perspektif. Namun kesan ini segera longsor manakala kita menyadari adanya sehelai benang putih sungguhan terentang mahalurus. Lalu, segi tiga ceper yang hitam kabur—ah, tidak, ia bervolume juga, dan membungkus sosok (seperti) orang jongkok.<br /><br />Ruang yang dikacaukan dengan bidang dan garis, demikianlah kita dapat berkata tentang watak lukisan Alfi. Pandang <i>Homage to The Unknown Artists—O’Keefe,</i> misalnya: wujud wungkul seperti patung—atau mekar seperti kembang (alegori terhadap si Georgia, bukan?)—berwarna kelabu, namun segera kebungaan atau kepatungan ini batal oleh garis merah lurus di tengahnya, lalu oleh gambar mirip tangga di puncaknya.<br /><br />Lebih lanjut lagi, wujud-mirip-patung ini boleh jadi nampak seperti tempelan kertas pada latar belakang, alas, yang hitam transparan. Pada <i>Bertepuk Sebelah Pantat,</i> dua bokong beradu, tapi kita boleh mengira itu cuma gambar pada dinding. Ataukah pantat yang juga tampak sebagai dengkul itu terbuat dari semacam angin atau kabut yang segera lenyap? Dan rasa penasaran kita berkepanjangan lantaran terlihat sebuah telapak tangan putih yang membayang tipis entah di latar depan atau latar belakang. (<i>Bersambung</i>)NIRWAN DEWANTOhttp://www.blogger.com/profile/04417648315459708379noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2300803234016469494.post-77997597839570761502009-01-06T21:15:00.000-08:002009-01-18T09:09:40.439-08:00Bukan Hanya Seni dan Birahi<i>(ditulis atas permintaan majalah</i> Esquire <i>Indonesia; dimuat pada edisi Januari 2009)</i><br /><br />Kepada saya ditanyakan bagaimana masa depan kesenian kita jika kita jadi memiliki UU Pornografi yang karut-marut itu.<br /><br />Benar, kesenian akan terkena dampak, namun kaum seniman pertama-tama tidaklah hendak membela kepentingan mereka sendiri. Mereka adalah warga negara yang menyadari bahwa dengan undang-undang itu, kreativitas bangsa kita akan terancam, kalau bukan susut sama sekali.<br /><br />Kaum seniman berpendapat bahwa UU Pornografi tidak mencerminkan kesadaran hukum maupun tertib-hukum di satu pihak, dan mengabaikan kesadaran budaya di lain pihak.<br /><br />Bila anda mengira seniman adalah orang yang suka mengumbar kebebasan diri-pribadi demi mencapai ketinggian mutu karyanya, maka anda keliru besar. Memang sudah lama kita dijajah oleh citra romantik bahwa seniman adalah (untuk mengutip kata-kata Chairil Anwar) semacam binatang jalang.<br /><br />Sebaliknya, kesenian adalah sebuah disiplin. Tidak ada sastrawan yang akan menghasilkan sastra bermutu tinggi jika dia tak mempelajari hukum-hukum bahasa. Tidak ada pelukis yang mampu melukis cemerlang jika dia tak menguasai anatomi tubuh manusia. Dan tidak ada film yang enak ditonton jika sutradaranya mengabaikan teknik sinematografi.<br /><br />Sebagaimana ilmuwan, seniman juga bersandar pada etika dan tradisi yang dibangun para pendahulunya. Mereka harus berdisiplin, supaya dapat menghasilkan bentuk yang terbaik. Mereka bereksperimen, untuk memecahkan kebekuan. Bila ilmu membuat kita lebih baik memahami alam, maka seni membuat kita lebih berani mengolah kehidupan.<br /><br />Demikianlah, kesenian bukan hanya ekspresi pribadi si seniman, melainkan juga ekspresi sosial. Bersama puisi Chairil Anwar, bahasa Indonesia kita menjadi modern, menjadi bahasa yang hidup di abad 20. Bersama lukisan Affandi dan Sudjojono, kita melihat kembali perjalanan kebangsaan kita yang penuh godaan. Bila kita tak tak sempurna, kesenian tidak malu-malu mengungkap kembali cacat kita. Bila kita memang gemilang, kesenian menyajikannya kembali dengan tak terduga-duga.<br /><br />Sementara itu, kesenian yang berakar ke masa lampau juga terus hidup, menjadi inspirasi bagi seni modern kita yang mendunia, sekaligus membuktikan bahwa puak-puak pendukungnya menyumbang tanpa henti dalam proses menjadi Indonesia.<br /><br />Jika tidak ada bangsa tanpa kebudayaan, apa jadinya jika kita memiliki sebuah undang-undang yang justru menggerogoti sumber-sumber penciptaan budaya itu sendiri?<br /><br />Itulah sebabnya kaum seniman dalam tiga tahun terakhir ini menyatukan diri ke dalam barisan yang menolak UU Pornografi.<br /><br />Sungguh sukar dipercaya, para penyusun UU Pornografi sudah menjadi pornografer itu sendiri tanpa mereka sadari: mereka menciptakan situasi—atau mengangan-angankan—bahwa pornografi bisa muncul dari mana-mana kapan saja, bahkan dari khazanah yang tidak memungkinkan adanya pornografi. Tengoklah pasal 14, misalnya.<br /><br />Menurut pasal tersebut, apa yang disebut “materi seksualitas” dapat dibuat, disebarluaskan, dan digunakan demi kepentingan seni dan budaya, adat istiadat dan ritual adat tradisional.<br /><br />Sementara itu, dengan mengacu pada pasal-pasal lain, pasal 1 misalnya, kita dapat mengatakan bahwa apa yang disebut “materi seksualitas” itu tiada lain dan tiada bukan ketimbang pornografi itu sendiri.<br /><br />Apakah yang kiranya mereka bayangkan sebagai materi seksualitas itu ketika merancang pasal yang menggelikan itu? Tubuh manusia telanjang dalam lukisan kontemporer? Adegan maha-mesra jantan-betina dalam sepotong novel? Lenggak-lenggok penari perempuan di atas panggung? Upacara pendewasaan dari sebuah puak di Indonesia Timur? Bahu terbuka sang mempelai dalam upacara perkawinan Jawa?<br /><br />Demikianlah, para legislator itu telah merendahkan kaum seniman dan mereka yang menjalankan budaya daerah sebagai pengguna “materi seksualitas” alias pelaku pornografi—meski mereka harus dikecualikan dari warga negara biasa yang dianggap menjalankan pornografi tanpa alasan.<br /><br />Tentu saja, para legislator itu telah keliru besar. Seorang pelukis, misalnya, yang menggarap anatomi—dan untuk ini ia harus menggunakan model telanjang, yakni proses yang wajar saja dalam sejarah kesenian di mana-mana—tidak dapat dikatakan menggunakan materi seksualitas. Persis seorang dokter, yang juga berurusan dengan ketelanjangan ketika bersoal-jawab dengan pasiennya.<br /><br />Sementara itu, dalam berbagai kebudayaan lokal kita, tubuh itu suci. Itulah sebabnya masing-masing membangkitkan tata cara tersendiri untuk menyajikan kesucian itu. Menyinari dan menyingkapkan bagian tubuh tertentu, misalnya, justru memperlihatkan tubuh manusia sebagai cerminan kuasa ilahi. Sama sekali tidak ada “materi seksualitas” atau anasir pornografis di situ.<br /><br />Buru-buru saya katakan di sini bahwa seniman bukanlah warga yang tidak bisa berbuat keliru. Mereka tahu bahwa mereka bisa melanggar hukum, namun tentu saja hukum tidak bisa didasarkan secara sewenang-wenang pada prinsip “melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat” (pasal 1).<br /><br />Apakah kita sudah begitu tumpul—tak mampu melihat lagi perbedaan antara masalah susila dengan hukum? Anak-anak kita dengan bebas membeli rokok dan minuman keras di warung dan toserba; para pelanggar lalu lintas bisa “berdamai” dengan pak polisi; dan para pejabat mencuri uang negara agar mereka bisa tampil mentereng. Semua itu pelanggaran hukum belaka, bukan pelanggaran tata susila. Dan para legislator itu masih juga mengatakan bahwa kita adalah bangsa dengan “kepribadian luhur”?<br /><br />Saya menjamin bahwa seni tak akan lebur dalam ritual berpura-pura memiliki kepribadian luhur itu. Seperti telah saya katakan, seni membuat kita lebih berani mengolah kehidupan, termasuk mengenali kelemahan kita sendiri. Bertolak dari prinsip bahwa manusia jauh dari sempurna, seni menyatakan kritik dan cara pandang baru terhadap kehidupan. Dengan demikian, seni juga memelihara kreativitas sosial kita.<br /><br />Karena itulah kaum seniman juga berjuang untuk tertib-hukum. Sebab hanya tertib-hukum yang menjamin kebebasan sipil, dan hanya kebebasan sipil yang menjamin kreativitas di segala bidang bidang. Karena itulah mereka menyatukan diri ke dalam barisan yang menentang UU Pornografi.<br /><br />Para legislator itu tampaknya berhasil meyakinkah masyarakat, bahkan mungkin sebagian besar komponen masyarakat, bahwa siapapun yang menentang UU tersebut adalah mereka yang bejat akhlaknya, mendukung pornografi, dan membiarkan generasi muda terjerumus ke dalam lembah kecabulan.<br /><br />Jelaslah kaum seniman menginginkan pornografi diberantas sampai ke akar-akarnya—tetapi tidak dengan sebuah undang-undang yang menyemaikan intoleransi, memangkas daya cipta masyarakat, dan membunuh kemajemukan.<br /><br />Jika saya ditanya apakah UU Pornografi akan memiskinkan kesenian sekarang, maka saya akan menjawab tidak, sebab kaum seniman kita <span style="font-style:italic;">sekarang</span> sudah terbiasa mengatasi keterbatasan, penindasan, dan berbagai belenggu yang lain. Mereka juga sudah piawai menciptakan metafor yang bisa mengatasi setiap sensor dan persekusi.<br /><br />Jadi, jelaslah mereka tidak memperjuangkan kepentingan kesenian itu sendiri. Mereka tahu, misalnya, bahwa pasal 14 akan merusakkan kebebasan sipil dan kekayaan budaya itu sendiri. Merumuskan sebuah khazanah lokal sebagai memerlukan sarana “materi seksualitas” untuk kelangsungannya adalah etnosentrisme yang membahayakan.<br /><br />UU Pornografi akan menyemaikan fundamentalisme di mana-mana: akan lebih banyak puak yang atas nama ikatan primordial mengekalkan apa yang mereka sebut nilai-nilai asli untuk melawan negara pembuat hukum yang telah merendahkan—seraya berpura-pura melindungi—“adat istiadat” dan “ritual tradisional” mereka.<br /><br />Akan lebih marak lagi fundamentalisme yang demikian itu sebab UU Pornografi memberi peluang, berdasarkan pasal 21, bagi peran serta masyarakat dalam mencegah “pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.” Saya pastikan, pasal ini akan mendorong “masyarakat”—yang masih harus banyak belajar tentang hak asasi manusia—mengambil alih peran penegak hukum, dan melakukan “pencegahan” dengan cara yang brutal. Demikianlah, konflik antar-puak, yang bersikeras mengekalkan tata nilai masing-masing itu, akan semakin terbuka.<br /><br />UU Pornografi bukan sekadar <span style="font-style:italic;">tidak</span> menjamin keadilan, kesetaraan dan tertib hukum. Ia juga perlahan-lahan mematikan sumber-sumber kreativitas kita berdasarkan asas palsu bahwa bangsa kita punya kepribadian luhur. Masya Allah!NIRWAN DEWANTOhttp://www.blogger.com/profile/04417648315459708379noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2300803234016469494.post-640215731831609002008-12-14T19:08:00.000-08:002008-12-14T19:14:01.154-08:00Surat Terang-BenderangTeman-teman yang budiman,<br /><br />Surat ini ditulis lantaran saya masih percaya, dan akan terus percaya kiranya, kepada pergaulan di dunia maya, khususnya di ranah Facebook ini, lebih khusus lagi jika pergaulan itu menyangkut rekan-rekan di bidang kesastraan dan kesenian.<br /><br />Seperti anda ketahui, sejak tiga-empat <span style="font-style:italic;">notes</span> yang terakhir, saya tidak men-<span style="font-style:italic;">tag</span> siapapun. Dan akan begitulah seterusnya. Insya Allah.<br /><br />Dengan demikian, sesiapa yang membaca <span style="font-style:italic;">notes</span> saya adalah dia yang membaca dengan sukarela, dengan alasan apapun.<br /><br />Secara sukarela pula saya menyambangi rumah maya teman-teman saya di Facebook ini, misalnya karena saya ingin tahu apa yang mereka tulis dan apa reaksi sidang pembaca terhadap tulisan mereka. Saya seorang penyigi yang akut, sebab saya ingin mengikuti perkembangan di bidang profesi dan minat saya.<br /><br />Semakin saya sadari, bahwa saya tidak mungkin mengganggu anda (sekalipun anda adalah kawan akrab saya) hanya dengan mengirimkan petikan catatan harian atau nukilan riwayat hidup saya atau apa saja. Seperti saya katakan, datanglah ke rumah maya saya jika anda sempat; sila baca catatan saya jika anda ingin, dan sila buang jika anda meradang.<br /><br />Apabila ada diskusi yang menarik di tempat anda, tentulah saya ikut. Meski dalam banyak kesempatan, saya ingin jadi penonton belaka, justru supaya saya lebih banyak belajar.<br /><br />Maka saya heran jika saya dihimbau-himbau, bahkan ditarik-tarik, untuk ikut ke forum diskusi tertentu dengan pesan ke <span style="font-style:italic;">wall</span> saya, seringkali pesan dengan tanda seru, bahkan tak jarang ditulis dengan huruf kapital semua.<br /><br />Saya pun heran jika ada sejumlah <span style="font-style:italic;">notes</span> dikirimkan dengan sengaja ke <span style="font-style:italic;">wall</span> saya, hanya untuk mencibir—bahkan lebih dari mencibir—diri saya. Apakah sang pengirim ini tak yakin jika saya juga bisa membacanya sendiri di rumahnya? Atau ia justru menegaskan nilainya sebagai si tajam lidah—dan bukan si tajam pena?<br /><br />Adapun gelanggang “berbalas komentar” itu seringkali “mencengangkan.” Saya bertanya-tanya, misalnya, bagaimana mungkin beberapa orang yang punya nama dalam bidang terkait, mengeluarkan umpat, cerca, belungsing, hujat, dan sejenisnya—yang sulit disebut komentar terhadap tulisan termaksud. (Saya mohon maaf jika saya pernah, satu-dua kali, mengeluarkan jawaban yang agak keras, tentu bukan makian, di dinding saya sendiri, tetapi itu saya tujukan kepada satu-dua teman dekat saya; artinya, salah-paham dengan cepat bisa diatasi.)<br /><br />Mudah-mudahan jelaslah sekarang kenapa saya tak lagi mengirimkan <i>notes</i> ke dinding rumah maya siapapun juga.<br /><br />Dan, saya kira anda sudah tahu bahwa <span style="font-style:italic;">note</span> saya yang terakhir, “Surat Kertas Hijau Lumut,” yang terunggah minggu lalu, yang juga tak tercantol ke dinding siapapun, rupanya telah mengundang reaksi yang begitu berlebihan, yang sungguh tak wajar—yaitu penuh dengan umpat, cerca, belungsing, hujat, dan sejenisnya ke arah diri saya pribadi. Dan ini terjadi bukan di tempat saya, melainkan di tempat orang lain, yaitu Saudara Hasan Aspahani.<br /><br />Seperti diketahui, <span style="font-style:italic;">note</span> saya itu adalah satire yang mengarah ke dalam; ia tidak menyebut sesiapa yang ada di lingkaran Facebook saya, kecuali nama saya sendiri. Jika ia bersifat tajam, maka yang paling terkena tajamnya adalah diri saya sendiri.<br /><br />Alangkah aneh jika sejumlah orang “terkena” oleh catatan saya itu. Jika demikian, catatan saya itu “meramalkan”; tapi kata ini tidak tepat; ia “meramalkan ke belakang,” yaitu mencandera kembali, secara tak langsung, lelaku mereka yang terkena itu. Yaitu, lelaku yang berhubungan dengan kiprah sastra saya, kitab puisi saya, dan sebagian situasi sastra Indonesia.<br /><br />(Harus saya katakan, saya juga menerima sejumlah komentar untuk “Surat Kertas Hijau Lumut” di <span style="font-style:italic;">box</span> saya: komentar yang serius, yang justru tajam karena tidak mengandung umpatan. Komentar inilah kiranya yang membuat saya menyiarkan <span style="font-style:italic;">note</span> ini sesegera mungkin.)<br /><br /><span style="font-style:italic;">Note</span> Saudara Hasan Aspahani sendiri adalah reaksi yang masih masuk-akal terhadap <span style="font-style:italic;">note</span> saya, namun patutlah disayangkan bahwa judul dan paragraf terakhirnya sangat pretensius dan menggerogoti isi tulisannya sendiri. Saya menduga judul itulah terutama yang memancing reaksi berlebihan terhadap diri saya pribadi—ya, sekali lagi, diri saya pribadi, bukan tulisan saya.<br /><br />Jika anda sempat, bertandanglah ke rumah maya Saudara Hasan Aspahani: maka anda akan melihat bagaimana para “komentator” itu mengamalkan apa-apa yang sungguh bertentangan dengan tuntutan mereka sendiri di situ. Singkat kata, uar-uaran mereka menunjukkan “jati diri asli” mereka. Sila anda membuktikan sendiri.<br /><br />Memang sukar dipercaya bahwa sebagian besar mereka adalah penyair dan penulis yang dikenal atau mulai dikenal di pentas nasional.<br /><br />Saya pernah percaya bahwa diskusi di lingkaran Facebook ini lebih baik daripada di pelbagai milis dan blog, di mana banyak pelempar batu yang menyembunyikan tangan. Rupanya saya mulai keliru.<br /><br />Seraya masih percaya pada pergaulan pikiran di Facebook ini, saya berharap kepada kaum pengumpat saya, yang adalah juga teman-teman saya di Facebook: bolehkah saya minta penjelasan kenapa anda begitu bersemangat menggaduhkan saya. Saya betul-betul berharap, dan menunggu jawaban anda segera—dengan cara apapun.<br /><br />Kepada mereka yang sering mengirim <span style="font-style:italic;">notes</span> yang sengaja mengolok-olok diri saya, saya juga bertanya kenapa anda begitu rajin bersoal-jawab dengan diri saya dengan cara yang penuh nafsu pula, itu pun dengan paksa menempelkan sesuatu ke dinding rumah saya.<br /><br />Tentu saja penjelasan dan jawaban anda sangat penting, sebab, sekali lagi, saya masih percaya kepada pergaulan yang jujur dan terbuka di Facebook ini.<br /><br />Tapi, tentu, anda punya hak untuk tidak menjawab. Seperti saya tegaskan, pergaulan kita, termasuk kehendak anda membaca <span style="font-style:italic;">notes</span> saya dan memberi komentar, bersifat sukarela.<br /><br />Baiklah, mungkin anda menjawab, mungkin juga tidak.<br /><br />Atau, gampangnya begini: anda bebas melemparkan makian dan sumpah-serapah—tapi, tolong, jangan lagi di lingkaran saya. Jika demikian halnya, sudah waktunya kita berpisah. Anda menempuh jalan anda sendiri, saya menempuh jalan saya sendiri. Sebentar lagi, apa yang anda perkatakan bukan urusan kuping saya lagi, dan apa yang anda pertontonkan bukan urusan mata saya lagi.<br /><br />Lingkaran Facebook saya harus menjadi lingkaran di mana anda tak terganggu oleh saya, demikian juga sebaliknya. Anda paham maksud saya, bukan?<br /><br />Saya menghormati pergaulan di dunia minat dan profesi, yang bisa meluas ke dunia maya ini. Pembicaraan di dinding Facebook sama sekali tidak sama dengan pembicaraan antara dua orang di bilik terpencil. Dinding Facebook, bagi saya, selalu bersifat publik.<br /><br />Demikianlah, dengan bantuan anda, saya akan mengecilkan lingkaran Facebook saya supaya gelanggang ini tetap hidup dan bermanfaat. Atau, izinkan saya menggunakan opsi <span style="font-style:italic;">remove from friends</span> supaya hidup anda jauh lebih nyaman. Atau, mungkin lebih baik jika anda mendahului saya, daripada anda membuang waktu melempar olok-olok dan sumpah-serapah ke arah saya.<br /><br />Terima kasih banyak atas perhatian anda. Salam hangat, —NDNIRWAN DEWANTOhttp://www.blogger.com/profile/04417648315459708379noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2300803234016469494.post-33218610858466069282008-12-08T19:50:00.000-08:002009-01-09T22:19:37.999-08:00Surat Kertas Hijau LumutSemoga Tuan dalam keadaan sehat sejahtera. Sekarang ini saya hendak menyampaikan pengharapan saya. Semoga Tuan tak terkejut. Janganlah Tuan menganggap setiap note saya di Facebook ini sebagai puisi, dong. Tuan gimana sih? Masak setiap hal di dunia ini harus jadi puisi? Dan puisi itu kan nggak harus meliputi seluruh dunia. Biarpun Tuan mengamati saya setiap menit di dunia maya, janganlah menganggap saya jadi penyair 24 jam sehari & 365 hari setahun.<br /><br />Jadi Tuan janganlah mengangkat tulisan saya tinggi-tinggi. Biasa-biasa saja deh. Sekarang saya tulis, misalnya, “Di panci hitam itu terdapat irisan jahe sejak tadi malam, semua mengeriput karena udara kering-dingin. Di sampingnya tegak sebuah cerek merah muda dengan polka dots. Di atas keduanya tergantung sebuah sarung tangan gemuk yang agak hangus, dan sebuah lingkar tapis untuk menahan percikan minyak panas dari wajan...”<br /><br />Percayalah, kalimat-kalimat dalam tanda kutip itu deskripsi belaka tentang apa-apa yang ada di atas kompor listrik di apartemen kami di Harvey Street pada suatu hari bulan Desember ini. Sama sekali bukan puisi.<br /><br />Jadi, apa yang Tuan baca dalam banyak notes saya benar-benar beberitaan, nukilan catatan harian, ulasan ringan, atawa sesuatu yang non-sastralah. Tidak perlu Tuan mencari-cari apa ada subjek lirik di situ. Atau apa ada kandungan intertekstualitas di situ. Si dia atau si aku adalah orang yang juga menulis surat ini.<br /><br />Kalaupun Tuan menganggap notes di Facebook saya bersifat literer, saya mah seneng-seneng ajah. Sedikit tersanjung barangkali—tapi segera lupa setelah itu; maklumlah banyak yang perlu diurus dalam hidup sehari-hari, terutama di musim winter begini. Saya cuma khawatir kalau pendapat Tuan merusak studi sastra yang beneran, dan menyinggung perasaan para pengamat sastra sungguhan—bukan juru peta gadungan atau tukang sulap pinggir jalan—yang sudah berkeringat memikirkan sastra sepanjang waktu mereka.<br /><br />Konon orang terjun ke Facebook ini supaya bisa gaul. Sungguhan deh. Jadi kaum Facebooker ini bisa dibilang Gaulis (bener lho, pake G besar, karena begitu dalem bobotnya), yang artinya tentu saja orang gaul sejati, bukan pengikut Charles de Gaulle. Dan karena itu saya beruntung jadi Gaulis juga (oh, barangkali setengah-Gaulis saja): bisa tahu banyak apa yang terjadi di luar dunia cetakan. (Terima kasih kepada Mas Djokodam, yang sudah lebih dulu memakai istilah “gaulis” ini.)<br /><br />Saya umumkan sebagian tulisan saya, notes saya di Facebook, (juga, pada saat bersamaan, di blog saya), terutama untuk kebutuhan praktis saja. Ada sejumlah teman dekat yang ingin membaca “tulisan-tulisan saya yang lain,” di luar apa yang sudah terbit atawa diketahui selama ini. Ada beberapa wartawan & penyigi yang ingin tahu “aspek diri saya yang lain” (maaf, saya cenderung menolak wawancara lisan, yang sering mengecewakan; di samping bahwa saya ini pemalu bukan kepalang). Dan, tentu saja, untuk menjalin “tali silaturahmi”: sila baca jika anda ingin, sila buang jika anda meradang.<br /><br />Komentar kecil untuk segala notes itu saya terima dengan senang hati. Terutama yang berbau ejekan. Maklumlah saya ini gemar mengejek diri sendiri. Ada juga yang berbau pertanyaan serius, dan belum kunjung mampu atawa sempat saya jawab.<br /><br />Ada juga—barangkali—cibir atau kritik, tapi tak kunjung saya mengerti, karena ditulis dalam bahasa “canggih.” (Yah, mungkin saja itu diniatkan bergaya aforisme Walter Benjamin, siapa tahu?)<br /><br />Maka saya senang juga jika di dinding Facebook saya ada kiriman karya berupa sajak, igauan, artikel dan apa saja. Saya pasti membaca semua, karena memang begitulah “tugas” saya. Percayalah, saya ini pengintip yang akut. (Selaku editor lembar sastra sebuah koran edisi Minggu di Jakarta, saya membaca segunung naskah setiap minggu—sudah hampir tujuh tahun ini.)<br /><br />Ada yang sering mengirim ke wall saya sajak-sajak parodi yang textbookish (artinya penulisnya menunjukkan diri paham sajak-sajak modern dunia). Lucu juga sih. Nakalnya nggak seberapa. Cuma nakal-nakalan saja. Nggak lebih urakan & edan dibandingkan dengan Puisi Mbeling di majalah Aktuil di awal 1970-an (waktu itu mah umur Remy Sylado & kawan-kawan baru 20-an tahun belaka; tapi mereka ini dahsyat betul sebagai pemberontak sastra; nggak pernah lupa daku pada sajak-sajak Mbeling itu sampai kini).<br /><br />Ada sejumlah penyair yang suka (atau bahkan selalu?) mengirimkan notes-nya berupa sajak, ya “sajak serius” atau “sajak beneran.” Nah, kepada mereka inilah mungkin sangkaan Tuan bisa berlaku. Barangkali seluruh isi dunia hendak mereka jadikan sajak. Selama 24 jam sehari agaknya mereka berpikir-pikir tentang puisi, puisi, puisi. Cuma, kalau saya boleh berharap kepada mereka: bolehkan saya dikirimi tulisan anda yang lain, yang bukan sajak? Sebab puisi itu kerap menjadi topeng belaka bagi ketidakmampuan menulis. Penyair itu harus mikir lho, jadi jangan gampang terharu nulis sajak terus. Maaf, maaf, maaf.<br /><br />Jadi, Tuan janganlah melebih-lebihkan tulisan saya atau diri saya. Tuan sudah tahu kan kalau saya ini diberi julukan macam-macam? Anehlah, bahwa saya yang suka meremehkan diri-sendiri ini menjadi begitu penting di mata mereka.<br /><br />Misalnya saja, saya ini dianggap kritikus sastra. Bahkan nama saya sampai jadi judul sebuah esai (“Siapa Takut Nirwan Dewanto?” atau “Siapa Takut, Nirwan Dewanto?”), yang disajikan di Konggres Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia 2004 dan kemudian dimuat di Kompas. Periksa saja di Google, berapa banyak tulisan yang menganggap saya ini kritikus. (Baiklah, saya akan jelaskan di kemudian hari kenapa saya tidak menyebut diri saya kritikus sastra, paling tidak sampai sekarang ini.)<br /><br />Begitulah, ketika saya menerbitkan sebuah kitab puisi pada bulan April lalu, sejumlah pengamat (apakah mereka ini juru peta gadungan atau tukang sulap pinggir jalan, saya tidak tahu) hanya pura-pura berusaha keras meneropong buku saya. Tapi sebenarnya, mereka hanya mencari kait-mengait antara puisi saya dan apa yang pernah keluar dari mulut saya, riwayat saya, keringat saya, “politik” saya, pekerjaan saya, kaos kaki saya, kuburan saya, mesin stensil saya, rambut saya, anak kambing saya...<br /><br />Jadi begitu panjang bayangan saya ini, sehingga mereka tidak mampu membaca kitab saya yang polos itu. Jadi, Tuan, kritik sastra itu memang tidak ada di kampung halaman kita. Semua dihantui takhayul, dendam kesumat dan kelisanan apa saja. Itulah sebabnya saya anjurkan kaum penyair—juga kaum pengamat yang tidak mau jadi juru peta gadungan dan tukang sulap pinggir jalan—belajar membaca lagi, menulis lagi.<br /><br />Suatu hari, seorang “pengritik” cabutan itu melamar jadi teman Facebook saya, sambil mengirim pesan pendek, “Maaf, saya pernah membicarakan buku anda, meskipun cenderung negatif.” Saya segera menerima (meng-add gitu loh!) dia seraya menjawab, “Ndak masalah, Bung. Setiap tulisan selalu membuktikan mutunya sendiri sebelum dia membuktikan kelemahan tulisan/buku lain.” Jadi saya tak pernah mengambil kritik atau “kritik” sebagai menyinggung perasaan saya. Kalau “kritik” sastra dia buruk mutunya, itu adalah masalah dia sendiri, membuktikan kualitas dia sendiri.<br /><br />Jadi, begitulah, Tuan. Saya mengharap Tuan menulis kritik sastra. Termasuk janganlah menganggap notes saya di Facebook ini sebagai puisi. Jangan lakukan name-dropping lagi—mengutip sejumlah nama, istilah, dan pendapat yang ndak perlu. Seperti sudah sering saya tulis, para “pengamat” kita sering hanya “menghapal teori”. Tuan bahkan sering gaya-gayaan belaka ber-Derrida dan ber-Benjamin. (Ini mah seharusnya kerjaan anak remaja yang baru masuk kuliah.) Di mana pendapat Tuan kalau kalimat-kalimat Tuan belum bisa berdiri tegak dan serangan tuan cuma argumen-argumenan? Bicarakan karya sastra; masuklah ke dalam karya sastra. Jangan nulis sesuatu yang “serba-besar” yang nggak jelas juntrungnya. Jangan meliuk-liuk, kalau Tuan belum bisa nulis kalimat yang biasa-biasa saja.<br /><br />(Baru-baru ini masuk ke wall saya sebuah tulisan “filsafat.” Name-dropping lagi. Tapi lihat, nama filsuf Jerman dan judul buku/nama tokoh fiksi Spanyol yang disebut-sebut di sekujur tulisan itu keliru-tulis semua!)<br /><br />Oh ya, Tuan. Jika Tuan hendak mengirim pesan (yang agak) pribadi, tolong jangan tulis ke wall Facebook saya. Tolong masukkan ke (in-)box saya saja.<br /><br />Jadi saya benar-benar menanti tulisan kritik sastra Tuan. Di Facebook, di blog, di koran, di mana saja deh. Yang sungguh-sungguh membicarakan karya sastra. Biarpun pendek, saya akan girang. Kritik sastra. WHICH IS sangat amat perlu skaleeee (sok-sokan ber-heteroglossia neeeh!). Dan please jangan memaki-maki juru peta gadungan dan tukang sulap pinggir jalan kalau Tuan tanpa sadar termasuk golongan itu.<br /><br />Salam hangat. —NDNIRWAN DEWANTOhttp://www.blogger.com/profile/04417648315459708379noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2300803234016469494.post-21729237143813580902008-11-21T00:37:00.000-08:002009-01-06T21:17:49.136-08:00Nasihat Awal Musim Dingin(<span style="font-style:italic;">untuk dirimu belaka, barangkali</span>)<br /><br />Jangan pernah lupa bahwa kau sering terbangun pagi oleh harum bagel bakar dari kedai bagel di belakang rumahmu. Apartemenmu kedap-suara luar biasa, sehingga tak mungkin kau terbangun oleh derap kendaraan yang kencang melaju di University Avenue, jalan raya urat nadi di depan kedai itu. (Ingatlah, di Jakarta kau kerap terbangun tiba-tiba oleh deru kendaraan di jalan-jalan yang “mengepung” rumahmu di Kebayoran Baru—terutama deru bajaj.)<br /><br />Kotamu sekarang hanya kota yang dipinjamkan kepadamu. Jangan lupa bahwa kota itu terlihat seperti pematang dari atas pesawat—pematang yang diapit dua danau. (Itulah sebabnya sebuah koran mingguannya bernama <span style="font-style:italic;">Isthmus</span>.) Danau-danau itu akan segera membeku dan kau bisa berjalan kaki ke tengah danau untuk melihat kubah Capitol, yang akan segera akan mengingatkan bahwa kau berada di sebuah negeri kulit putih yang ternyata sanggup memiliki seorang presiden berayah orang Kenya.<br /><br />Usahakan bersepeda sebanyak mungkin sebelum salju benar-benar turun dan tumpukan salju meng-es. Pergilah ke pinggir danau, lihat bagaimana airnya membeku pelan-pelan. Jangan lupa ke Resurrection Cemetery, sebuah kompleks pekuburan tua yang luas di dekat apartemenmu. Perhatikan nama-nama di batu-batu nisan granit itu, terutama nama-nama Jerman dan Italia. Supaya kau ingat bahwa kematian tidak menakutkan. Ingatlah kata-kata temanmu penulis Yunani Chris Chrissoppoulos bahwa posisi vertikal kalian cuma sementara saja, dan posisi horisontal itu selama-lamanya.<br /><br />Jangan was-was pergi ke Chicago lagi dan lagi, meski kota itu dingin mematikan pada akhir tahun dan awal tahun baru. Kau bisa tidur di bis Van Galder dan terbangun begitu ia sampai di Union Station di <span style="font-style:italic;">downtown</span>. Bukankah kau baru saja menemukan William Kentridge di Museum of Contemporary Art, yang karyanya mengingatkanmu pada Agus Suwage di tahap awal? Bukankah kau suka memandangi wajahmu yang terpiuh pada telur logam Anish Kapoor di Millenium Park? Bukankah kau suka membuka ransel yang berisi kampungmu di Michigan Avenue dan State Street, terutama di Banana Republic? Bukankah kau ingin memanjakan lidahmu dengan kangkung belacan di Chinatown dan melihat lagi Edward Hopper dan Constantin Brancusi di Art Institute?<br /><br />Meski kau percaya kolestrol dan asam uratmu sudah turun, makanlah daging seminggu sekali saja kalau bisa. Ikutlah nasihat belahan hatimu, yang tahu banyak tentang seni santap-menyantap di dunia ini. Jangan lagi membelanjakan 50 dollar untuk <i>steak</i> yang konon terbaik di kotamu. Sebab Samba Grill ternyata lebih <i>maut</i>: dengan 20 dollar untuk <span style="font-style:italic;">brunch buffet</span> di hari Minggu, kau bisa mendapat daging lembu dan domba bakar yang luar biasa lembut dan <span style="font-style:italic;">nendang</span>, yang diiris langsung ke piringmu melalui sebuah galah tusukan oleh pelayan berpakaian <span style="font-style:italic;">gaucho</span>. Jangan lupakan salad-nya, supaya kau tetap bisa berjalan tegak. Demi Tuhan dan kesehatan, datanglah ke Samba dua bulan sekali saja.<br /><br />Jangan lupa menggali ke Memorial Library, meski setiap masuk kau memerlukan pas baru. Jangan tenggelam di situ seperti 10 tahun lalu. Sekarang kau menemukan kembali René Depestre, sang eksil permanen dari Haiti. (Jangan lupa, temanmu Baudelaine Pierre mengingatkanmu akan namanya di Iowa City tahun lalu.) Kejar Depestre, lupakan dulu nama-nama yang lain. Sebab dia orang kampung seperti dirimu. Tangkap dia, sebab dia akan memberimu pelajaran bagaimana membawa sang kampung ke pusat-pusat dan pinggir-pinggir dunia.<br /><br />Jangan lupa bahwa siang hanya berlangsung sembilan jam. Jangan mencuri cahaya matahari terlalu banyak untuk tulisanmu. Makanlah es krim kacang merah dan anggur hitam dan jeruk oranye (ya, <span style="font-style:italic;">orange</span>, bukan <span style="font-style:italic;">grapefruit</span>) dalam waktu yang setepat-tepatnya supaya malam tidak terlalu terasa panjang. Minumlah dua sloki anggur merah Shiraz supaya kau mengantuk pada pukul satu dinihari, dan sebelum tertidur jangan lupa mengingat lagi bahwa di negeri ini ada tidak kurang dari 300 sekolah penulisan kreatif tingkat MFA. Jadi bagaimana kau bisa ingat nama-nama penyair setelah Robert Hass dan Charles Simic?<br /><br />Belilah syal ketiga, keempat, kelima dan seterusnya hanya di antara Thanksgiving Day dan Hari Natal biarpun kau ingin segera (sekarang kalau bisa!) lebih mantap lagi dengan jas panjang wul hitam-mu yang baru.<br /><br />Jangan lupa menulis kepada temanmu Arif Bagus Prasetyo di Denpasar bahwa lidah berbeda dari pena. Bahwa kau percaya pada pena yang tajam, bukan lidah yang tajam. Bahwa khazanah tulisan di negerimu masih dikuasai oleh lidah, bukan pena. Bahwa banyak pasukan lidah menyaru sebagai penyair dan pengulas. Kau hampir saja menulis, “Pasukan lidah sedang mengangkat pena.” Tidak, mereka sedang mengangkat pedang. Bila lidah yang satu bertemu dengan lidah yang lain, mereka saling bertanya, “Kau berasal dari gerombolan mana?” Mereka sudah lupa bahwa pena lebih tajam ketimbang pedang.NIRWAN DEWANTOhttp://www.blogger.com/profile/04417648315459708379noreply@blogger.com