(ditulis atas permintaan majalah Esquire Indonesia; dimuat pada edisi Januari 2009)
Kepada saya ditanyakan bagaimana masa depan kesenian kita jika kita jadi memiliki UU Pornografi yang karut-marut itu.
Benar, kesenian akan terkena dampak, namun kaum seniman pertama-tama tidaklah hendak membela kepentingan mereka sendiri. Mereka adalah warga negara yang menyadari bahwa dengan undang-undang itu, kreativitas bangsa kita akan terancam, kalau bukan susut sama sekali.
Kaum seniman berpendapat bahwa UU Pornografi tidak mencerminkan kesadaran hukum maupun tertib-hukum di satu pihak, dan mengabaikan kesadaran budaya di lain pihak.
Bila anda mengira seniman adalah orang yang suka mengumbar kebebasan diri-pribadi demi mencapai ketinggian mutu karyanya, maka anda keliru besar. Memang sudah lama kita dijajah oleh citra romantik bahwa seniman adalah (untuk mengutip kata-kata Chairil Anwar) semacam binatang jalang.
Sebaliknya, kesenian adalah sebuah disiplin. Tidak ada sastrawan yang akan menghasilkan sastra bermutu tinggi jika dia tak mempelajari hukum-hukum bahasa. Tidak ada pelukis yang mampu melukis cemerlang jika dia tak menguasai anatomi tubuh manusia. Dan tidak ada film yang enak ditonton jika sutradaranya mengabaikan teknik sinematografi.
Sebagaimana ilmuwan, seniman juga bersandar pada etika dan tradisi yang dibangun para pendahulunya. Mereka harus berdisiplin, supaya dapat menghasilkan bentuk yang terbaik. Mereka bereksperimen, untuk memecahkan kebekuan. Bila ilmu membuat kita lebih baik memahami alam, maka seni membuat kita lebih berani mengolah kehidupan.
Demikianlah, kesenian bukan hanya ekspresi pribadi si seniman, melainkan juga ekspresi sosial. Bersama puisi Chairil Anwar, bahasa Indonesia kita menjadi modern, menjadi bahasa yang hidup di abad 20. Bersama lukisan Affandi dan Sudjojono, kita melihat kembali perjalanan kebangsaan kita yang penuh godaan. Bila kita tak tak sempurna, kesenian tidak malu-malu mengungkap kembali cacat kita. Bila kita memang gemilang, kesenian menyajikannya kembali dengan tak terduga-duga.
Sementara itu, kesenian yang berakar ke masa lampau juga terus hidup, menjadi inspirasi bagi seni modern kita yang mendunia, sekaligus membuktikan bahwa puak-puak pendukungnya menyumbang tanpa henti dalam proses menjadi Indonesia.
Jika tidak ada bangsa tanpa kebudayaan, apa jadinya jika kita memiliki sebuah undang-undang yang justru menggerogoti sumber-sumber penciptaan budaya itu sendiri?
Itulah sebabnya kaum seniman dalam tiga tahun terakhir ini menyatukan diri ke dalam barisan yang menolak UU Pornografi.
Sungguh sukar dipercaya, para penyusun UU Pornografi sudah menjadi pornografer itu sendiri tanpa mereka sadari: mereka menciptakan situasi—atau mengangan-angankan—bahwa pornografi bisa muncul dari mana-mana kapan saja, bahkan dari khazanah yang tidak memungkinkan adanya pornografi. Tengoklah pasal 14, misalnya.
Menurut pasal tersebut, apa yang disebut “materi seksualitas” dapat dibuat, disebarluaskan, dan digunakan demi kepentingan seni dan budaya, adat istiadat dan ritual adat tradisional.
Sementara itu, dengan mengacu pada pasal-pasal lain, pasal 1 misalnya, kita dapat mengatakan bahwa apa yang disebut “materi seksualitas” itu tiada lain dan tiada bukan ketimbang pornografi itu sendiri.
Apakah yang kiranya mereka bayangkan sebagai materi seksualitas itu ketika merancang pasal yang menggelikan itu? Tubuh manusia telanjang dalam lukisan kontemporer? Adegan maha-mesra jantan-betina dalam sepotong novel? Lenggak-lenggok penari perempuan di atas panggung? Upacara pendewasaan dari sebuah puak di Indonesia Timur? Bahu terbuka sang mempelai dalam upacara perkawinan Jawa?
Demikianlah, para legislator itu telah merendahkan kaum seniman dan mereka yang menjalankan budaya daerah sebagai pengguna “materi seksualitas” alias pelaku pornografi—meski mereka harus dikecualikan dari warga negara biasa yang dianggap menjalankan pornografi tanpa alasan.
Tentu saja, para legislator itu telah keliru besar. Seorang pelukis, misalnya, yang menggarap anatomi—dan untuk ini ia harus menggunakan model telanjang, yakni proses yang wajar saja dalam sejarah kesenian di mana-mana—tidak dapat dikatakan menggunakan materi seksualitas. Persis seorang dokter, yang juga berurusan dengan ketelanjangan ketika bersoal-jawab dengan pasiennya.
Sementara itu, dalam berbagai kebudayaan lokal kita, tubuh itu suci. Itulah sebabnya masing-masing membangkitkan tata cara tersendiri untuk menyajikan kesucian itu. Menyinari dan menyingkapkan bagian tubuh tertentu, misalnya, justru memperlihatkan tubuh manusia sebagai cerminan kuasa ilahi. Sama sekali tidak ada “materi seksualitas” atau anasir pornografis di situ.
Buru-buru saya katakan di sini bahwa seniman bukanlah warga yang tidak bisa berbuat keliru. Mereka tahu bahwa mereka bisa melanggar hukum, namun tentu saja hukum tidak bisa didasarkan secara sewenang-wenang pada prinsip “melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat” (pasal 1).
Apakah kita sudah begitu tumpul—tak mampu melihat lagi perbedaan antara masalah susila dengan hukum? Anak-anak kita dengan bebas membeli rokok dan minuman keras di warung dan toserba; para pelanggar lalu lintas bisa “berdamai” dengan pak polisi; dan para pejabat mencuri uang negara agar mereka bisa tampil mentereng. Semua itu pelanggaran hukum belaka, bukan pelanggaran tata susila. Dan para legislator itu masih juga mengatakan bahwa kita adalah bangsa dengan “kepribadian luhur”?
Saya menjamin bahwa seni tak akan lebur dalam ritual berpura-pura memiliki kepribadian luhur itu. Seperti telah saya katakan, seni membuat kita lebih berani mengolah kehidupan, termasuk mengenali kelemahan kita sendiri. Bertolak dari prinsip bahwa manusia jauh dari sempurna, seni menyatakan kritik dan cara pandang baru terhadap kehidupan. Dengan demikian, seni juga memelihara kreativitas sosial kita.
Karena itulah kaum seniman juga berjuang untuk tertib-hukum. Sebab hanya tertib-hukum yang menjamin kebebasan sipil, dan hanya kebebasan sipil yang menjamin kreativitas di segala bidang bidang. Karena itulah mereka menyatukan diri ke dalam barisan yang menentang UU Pornografi.
Para legislator itu tampaknya berhasil meyakinkah masyarakat, bahkan mungkin sebagian besar komponen masyarakat, bahwa siapapun yang menentang UU tersebut adalah mereka yang bejat akhlaknya, mendukung pornografi, dan membiarkan generasi muda terjerumus ke dalam lembah kecabulan.
Jelaslah kaum seniman menginginkan pornografi diberantas sampai ke akar-akarnya—tetapi tidak dengan sebuah undang-undang yang menyemaikan intoleransi, memangkas daya cipta masyarakat, dan membunuh kemajemukan.
Jika saya ditanya apakah UU Pornografi akan memiskinkan kesenian sekarang, maka saya akan menjawab tidak, sebab kaum seniman kita sekarang sudah terbiasa mengatasi keterbatasan, penindasan, dan berbagai belenggu yang lain. Mereka juga sudah piawai menciptakan metafor yang bisa mengatasi setiap sensor dan persekusi.
Jadi, jelaslah mereka tidak memperjuangkan kepentingan kesenian itu sendiri. Mereka tahu, misalnya, bahwa pasal 14 akan merusakkan kebebasan sipil dan kekayaan budaya itu sendiri. Merumuskan sebuah khazanah lokal sebagai memerlukan sarana “materi seksualitas” untuk kelangsungannya adalah etnosentrisme yang membahayakan.
UU Pornografi akan menyemaikan fundamentalisme di mana-mana: akan lebih banyak puak yang atas nama ikatan primordial mengekalkan apa yang mereka sebut nilai-nilai asli untuk melawan negara pembuat hukum yang telah merendahkan—seraya berpura-pura melindungi—“adat istiadat” dan “ritual tradisional” mereka.
Akan lebih marak lagi fundamentalisme yang demikian itu sebab UU Pornografi memberi peluang, berdasarkan pasal 21, bagi peran serta masyarakat dalam mencegah “pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.” Saya pastikan, pasal ini akan mendorong “masyarakat”—yang masih harus banyak belajar tentang hak asasi manusia—mengambil alih peran penegak hukum, dan melakukan “pencegahan” dengan cara yang brutal. Demikianlah, konflik antar-puak, yang bersikeras mengekalkan tata nilai masing-masing itu, akan semakin terbuka.
UU Pornografi bukan sekadar tidak menjamin keadilan, kesetaraan dan tertib hukum. Ia juga perlahan-lahan mematikan sumber-sumber kreativitas kita berdasarkan asas palsu bahwa bangsa kita punya kepribadian luhur. Masya Allah!