Jumat, 23 Oktober 2009

Khatulistiwa


Penyelenggara Hadiah Sastra Khatulistiwa (Khatulistiwa Literary Award) meminta saya, selaku pemenang untuk buku puisi tahun lalu, menulis komentar tentang penghadiahan itu. Berikut ini tanggapan saya, yang akan mereka muat dalam buku acara penghadiahan tahun ini:

Saya berharap Hadiah Sastra Khatulistiwa menjadi sebuah lembaga kritik sastra. Seraya mengangkat topi untuk Tuan Richard Oh dan kawan-kawan yang dalam waktu hampir satu dasawarsa ini berkeringat-dan-berdarah menyelenggarakannya dengan konsisten, saya sungguh berharap Hadiah Sastra Khatulistiwa menyadari tugasnya sebagai salah satu peletak standar mutu sastra.

Dalam kehidupan sastra yang sehat, terdapat aneka kritikus dan lembaga penilai yang bersaing satu sama lain dalam memantapkan standar mutu sastra. Sedangkan tanah air kita mengalami kelangkaan, kalau bukan ketiadaan, kritik sastra. Kelangkaan ini berpotensi memerosokkan kehidupan sastra kita ke dalam lautan desas-desus dan, akhirnya, ke dalam mediokritas. Saya berharap penyelenggara Hadiah Sastra Khatulistiwa menyadari situasi ini.

Sambil merangsang penerbitan buku sastra, Hadiah Sastra Khatulistiwa barulah dalam tahap menetapkan pemenang. Untuk menjadi lembaga penilai yang sebenar-benarnya, Dewan Juri Hadiah Sastra Khatulistiwa harus mengumumkan alasan pemenangan. Dan ini belum pernah terjadi, paling tidak sampai tahun lalu. Jika saja Dewan Juri beranggotakan tokoh-tokoh sastra yang berwibawa, maka putusan mereka belumlah berwibawa, karena mereka sama sekali tidak mengabarkan argumen mereka.

Namun tentulah alasan pemenangan itu mustahil dibuat, jika penjurian dilakukan seperti selama ini. Penjurian dalam tiga tahap—dan setiap tahapnya dilaksanakan oleh para anggota yang berbeda-beda, yang tidak bertemu muka, dan sekadar mengirimkan “surat suara” secara tertutup—memanglah tiada pernah melahirkan argumen.

Saya menduga, cara penjurian seperti itu dipilih untuk menghindari “elitisme”. Namun “populisme” semacam itu barulah manis di bibir belaka: belum berarti benar sumbangannya dalam mengembangkan jumlah pembaca maupun kehidupan sastra.

Singkatnya, penjurian harus diperbaiki dengan mendasar. Saya kira, yang paling tepat adalah mengangkat Dewan Juri yang bekerja dari awal sampai akhir: orang-orang yang sama, yang bertemu muka dan beradu pendapat untuk memutuskan karya mana yang layak menang. Mereka, yang mesti berjumlah ganjil itu, dipilih dengan asas profesional belaka—yakni mereka yang selama ini memang berada di medan sastra. Dan mereka harus mengumumkan argumen mereka—simpulan dari silang pendapat mereka tentang kenapa buku inilah yang paling unggul—ke depan publik. Hanya dengan itulah Hadiah Sastra Khatulistiwa akan menjadi sebuah lembaga penilai sastra yang kokoh dan berwibawa.

Hadiah Sastra Khatulistiwa haruslah menjadi alternatif terhadap berbagai lembaga maupun individu penilai dalam berbagai segi kehidupan kita yang menjalankan peran secara tak-rasional.

Senin, 12 Oktober 2009

Lawan dan Cermin


Seringkali saya merasa—dan mengaku—tak punya biografi, tapi hari ini saya sedikit berbahagia. Barangkali karena saya baru saja membaca dua esai yang bersungguh-sungguh, yang akan disajikan pada sebuah diskusi buku puisi minggu depan. Dua esai yang memberi harapan bahwa kita masih punya kritik puisi di tengah banjir gosip sastra yang menyaru sebagai “kritik sastra.” Dua esai yang membuat saya—ataukah “dia,” karena si saya tak punya riwayat lagi—mendekati kitab puisi yang diperbincangkan itu sebagai pembaca, bukan lagi sebagai pengarang.

Mungkin saya sedikit berbahagia justru karena menyadari yang serba-sedikit—yang sekadar dua buah—itu. Adapun yang banyak akan tetap membabi-buta. Sebagaimana biasa, sebagian besar kita akan tetap menyukai lautan mediokritas—tepatnya, mayoritas kita tak bisa membedakan mediokritas (kesedang-sedangan, atau kesemenjanaan) dari kecemerlangan. Jangan heran jika di tengah semua itu, “argumen” yang berlaku hanya bersifat ad hominem belaka.

Hari ini saya mungkin sedikit berbahagia, dan saya makin percaya bahwa riwayat pengarang memang tak diperlukan, kecuali demi statistika kependudukan belaka. Kritik sastra yang berdalih membicarakan karya sastra, tapi ternyata memperbincangkan pengarang, sesungguhnya hanyalah hamba—bisa juga disebut bayangan—karya sastra; inilah "tinjauan" yang sepintas-lalu menyombong, namun sesungguhnya begitu rendah-diri di hadapan karya sastra. Adapun yang saya baca hari ini, yang serba-sedikit itu, adalah kritik sastra yang menjadi pesaing sejati maupun cermin karya sastra. Kritik sastra yang sepenuhnya mengabaikan—kalau bukan membunuh—si pengarang.

Czeslaw Milosz percaya akan kepasrahan seorang penyair, yang menerima setiap puisi sebagai pemberian daimonion-nya. Jika saya tak percaya akan biografi si penyair, maka saya menganggap kepasrahan seperti itu sebagai lawan dari keakuan, egosentrisme romantik, yang memaksakan “pengalaman” diri-sendiri sebagai pengalaman pembaca; egosentrisme yang menjadikan dunia dan bahasa sebagai kendaraan belaka—kendaraan yang tidak bermartabat. Sekarang ini saya bisa berkata bahwa kepasrahan yang diuarkan Milosz adalah sebentuk kesadaran bahwa bahasa—artinya kekayaan bahasa—selalu lebih luas daripada sang pribadi.

Kritik sastra yang menjadi lawan sekaligus cermin karya sastra mengungkap bagaimanakah daimonion itu: yaitu daimonion yang bersifat material, bukan sederet danyang atau ruh, tetapi berbagai tradisi sastra yang menghantui puisi, yang memberinya peluang untuk menggarap wilayah di antara yang mungkin dan yang mustahil. Kritik sastra yang menghamba mudah sekali menyimpulkan—memaksakan—“pembaharuan,” tetapi kritik sastra yang menjadi lawan-dan-cermin karya sastra mengeksplisitkan rangka dan daging karya sastra.

Hari ini saya mungkin berbahagia, ketika menyadari bahwa “pembaharuan” sudah menjadi barang rongsokan, dan bahwa si “pembaharu” ternyata hanyalah setitik debu di tengah berbagai sejarah sastra di dunia ini. Hanya jika kita meremehkan biografi, atau otobiografi, kesadaran semacam itu terselenggara. Maka—tidaklah si penyair mencari tempat dalam sejarah sastra atau politik sastra. Puisinya belaka yang mengundang lawan sekaligus cerminnya.

Minggu, 04 Oktober 2009

Darah (2)


Bertahun-tahun lalu saya menyadur sebuah sajak karya Kryzysztof Karasek. (Sajak itu, pernah termuat di sebuah harian Yogyakarta, juga di sebuah antologi stensilan terbitan Dewan Kesenian Jakarta, yang saya temukan kembali baru-baru ini.) “Darah Kata,” demikianlah judul sajak itu. (Saya tak berhasil menemukan kembali terjemahan Inggris sajak si penyair Polandia itu, yang termuat di jurnal Partisan Review sekitar akhir 1980-an.)

Menurut sajak saduran (yang berbentuk puisi-prosa) itu, “Darah kata menghilang jika darah sebenarnya tumpah ke jalan-jalan.” Lebih lanjut lagi, jika darah kata menghilang, maka buku-buku pelajaran menjadi pucat, dan koran-koran menderita anemia.

Saya tertegun membaca kembali baris-baris itu. Dulu (ketika usia saya masih sangat muda), barangkali, ketika menyadur sajak itu, saya mengira bahwa “perjuangan” lebih penting daripada “kesenian,” dan bahwa “realitas” lebih kuat ketimbang bahasa. Kini saya menganggap darah kata tidak lebih lemah ketimbang degup darah dari tubuh kita.

Menurut sajak saduran itu lagi, “Betapa tak indah darah kata itu, sebab ia telah menghidupi puisi dan tata bahasa.” Pada bagian akhir, sajak itu menganjurkan, “Belajarlah mengendus bercak-bercak darah yang membekasi halaman-halaman buku sejarah dan buku tata bahasamu. Belajarlah membaca jeritan-jeritan kalimat yang ditindas, kalimat-kalimat yang pernah berkobar oleh aliran darah kata.”

Kini, pada waktu membaca puisi atau tulisan apapun yang menderita kurang-darah, kita bisa menyimpulkan bahwa si penyair adalah dia yang terbelah oleh bahasa dan realitas, oleh kata dan pengalaman. Dia mengira bisa memperalat bahasa demi menyampaikan keharuannya; dia mendesakkan perihal pribadinya sebagai perihal umat manusia. Tapi jika demikian halnya, maka dia pun terbunuh oleh bahasa; keharuannya adalah milik dia sendiri, dan degup darahnya tak kunjung menjadi darah kata.

Jika darah sejati tumpah ke jalan-jalan, maka keharuan saja tidak cukup. Di tengah leluka umat manusia, di depan darah yang menjalar ke kaki kita, kita menunda puisi dan menyingsingkan lengan baju. Jika saatnya tiba, kita mencari puisi lagi untuk menghayati leluka umat manusia. Untuk itulah puisi memerlukan darah kata, darah yang hanya bisa dihidupkan jika kita tak memperalat bahasa, hanya jika si penyair menyelami kembali tradisi sastra, yang hadir jauh lebih dahulu ketimbang dia.

Ketika si penyair memandang masa mudanya, dia pun perlahan-lahan tahu bahwa darah kata tak bertentangan dengan darah yang tumpah di jalanan. Mungkin dia merasa bersalah tak bisa terlibat dalam semua momen bersejarah di dunia ini. Tapi dia menyimak dalam-dalam—untuk mengutip Karasek—“kalimat-kalimat yang ditindas,” seraya mengabaikan diri-penyairnya dan hidup belaka sebagai orang ramai, dan, pada saat yang semestinya, pulang ke laboratorium untuk menemukan—menghidupkan—kembali darah kata.