Minggu, 24 Januari 2010

Pantai Harapan (3)


Kusebut pantai harapan berkali-kali (entah sudah berapa kali, sedikit atau sebentar juga tak mengapa) karena dalam banyak kesempatan aku lebih dekat kepada lirik lagu pop—lagu yang agaknya menenggelamkan semua orang sehingga mereka berlaku sewenang-wenang kepada rasa dan bahasa.

Kusebut pantai harapan dalam tulisan yang mencoba tak berpamrih ini (pamrih apa sebenarnya, karena ini cuma sebuah prosa yang agak bergula?), supaya aku terayun-ayun antara yang dangkal dan yang tergali, antara yang sebentar dan yang abadi, antara yang tersentuh dan yang tak terjangkau, antara tenggelam dan mengapung, antara Mooi Indie dan seni yang memihak disharmoni.

Pantai harapan adalah pantai yang pernah kulihat—tepatnya, kualami—tapi yang entah kapan lagi datang. Pantai, atau pantai-pantai, itu tampaknya tak akan kudatangi lagi, tapi—semoga—tidak jarang mereka mendatangiku. Bayangan mereka, ya, hanya bayangan mereka saja. Pantai yang satu mendatangiku jika aku tiba di pantai yang lain, seakan mereka mencerminkan satu sama lain. Kalau aku datang di pantai ini, maka seakan pernah kulihat semua, seakan aku membawa pantai-pantai lain yang sebelumnya. Déjà vu.

Pantai harapan yang pertama adalah apa yang pernah disebut bum dalam masa kanakku. Sebagaimana orang lain di kota kampung halamanku, aku suka pergi ke situ di setiap hari Minggu atau malam bulan purnama. Dari situ kami dapat memandang ke seberang, ke Bali yang entah kapan dapat kami kunjungi. Pantai yang memberi kami kijing, semacam kerang bertentakel di muara sungai, yang lezat bila ditumis, kerang yang kiranya tak terdapat di pantai manapun.

Dari Gilimanuk ke Baleagung adalah jalan raya yang kurang lebih menyusuri pantai barat daya Bali. Pada umur 13 tahun aku menempuh jalan itu bersama teman-temanku di atas sebuah truk berbak terbuka dan sampailah kami di Pura Rambut Siwi, pura yang pertama kali kulihat. Pura kuna yang tegak di atas tebing batu, menghadap ke Lautan Hindia. Ini pun pantai harapan juga, yang bersambung gaung ke pantai-pantai berikutnya, dan inilah yang muncul sekarang—

Di pantai Bandealit di tepi Laut Selatan yang berbatas langsung dengan hutan raya taman margasatwa, aku melihat tapak-tapak kaki harimau kumbang; dan di muara sebuah anak sungai kami para murid-pekemah bisa mengambil kerang-kerangan yang dagingnya bisa kita hisap mentah-mentah.

Dua bulan setelah tsunami aku kembali menyusuri pantai timur Atjeh yang pernah kukunjungi dua tahun sebelumnya. Tak bisa mengenali lagi sebuah titik di Lhok Nga, pusat tamasya di hari Minggu, aku terbawa oleh dua teman terus ke selatan, ke arah Leupung. Di sebuah warung kami berhenti dan aku, dengan hanya bercelana dalam, menyisir tepi jalan menuju ke pantai lepas; terheran-heran aku ketika si teman membuntutiku, “Bung bisa ditangkap polisi syariah,” katanya kemudian.

Di pantai Mbweni, Zanzibar, di mana hotel yang kuhuni merawat sebuah kebun raya kecil dengan 150 jenis palem dan reruntuhan asrama sebuah misi Anglikan dari abad 19, aku suka memandang ke seberang sana, pagi atau sore hari, ke arah pantai timur Afrika; jika hari terang, akan tampak sebayang kerucut Kilimanjaro (yang puncaknya benar-benar kusaksikan dari dekat ketika sang pilot yang membawa kami dari Zanzibar ke Nairobi, berbaik hati merendahkan pesawat kecilnya ke situ).

Di pantai barat Rio de la Plata, di Buenos Aires bagian timur laut, di belakang pelabuhan udara Jorge Newberry, ambang musim gugur. Pandanganku mencari-cari pantai Uruguay di seberang sana, yang tentu saja tak pernah terlihat sampai kapan pun. Hanya gelap malam, dan kapal-kapal besar yang melintasi muara mahabesar yang mengarah ke Samudra Atlantik ini.

Memandang dari Chicago, seorang anak kampung seperti aku akan menganggap Danau Michigan sebuah lautan raya, karena tiadalah pantai seberang yang dapat terjangkau mata. Bertahun-tahun kemudian barulah danau itu benar-benar menjadi danau dalam cerapanku, ketika aku bisa melihat samar-samar kota angin itu, the Windy City, dari pantai sebuah kampus di Evanston, Illinois.

Di pulau Paros, rumah-rumah putih dan gang-gang kecil di antaranya seperti menampung-abadi cahaya matahari dan biru Laut Aegea, untuk melindungi acara makan siang—dan siesta—yang mungkin terpanjang di dunia. Hampir seperti mimpi, kami yang baru saja saling mengenal di House of Literature, harus segera kembali, melalui Athena, ke tanah air masing-masing (kecuali aku, yang harus ke kota pinjaman di Wisconsin).

Mengendarai sepeda “terpedo” dari Redondo Beach ke Hermosa Beach di California selatan pada awal musim panas, gugup karena masih harus belajar mengerem dengan memutar pedal ke belakang, lebih gugup lagi ketika seorang pengendara mabuk melajukan sepedanya zigzag. Di sisi yang satu, teras sejumlah hotel menempel ke badan jalan sepeda selebar lima meteran itu; di sisi yang lain, pantai Pasifik masih terasa lapang meski ditumpahruahi pelibur akhir pekan. Terbayang juga—kapan kita punya jalur sepeda di antara Kuta dan Canggu, misalnya, atau antara Anyer dan Carita?

Tapi pantai-pantai harapan adalah juga yang berada di masa depan. Barangkali yang akan mengulang pantai-pantai yang barusan kudedahkan ini. Gambar-gambar yang dilukis dengan rasa, dengan bayangan, mungkin pula bukan dengan nahu dan subyek kalimat yang benar.

Sejenak sebelum kami meninggalkan vila di Cibangbang itu, Pipip berkata, “Selamat tinggal, Kuda Laut. Selamat tinggal, fettucini. Selamat tinggal, kedai lezat. Selamat tinggal, ombak. Selamat tinggal, laut biru. Selamat tinggal, nasi goreng. Selamat tinggal, ikan bakar. Selamat tinggal, Tahun Baru. Selamat tinggal, pasir. Selamat tinggal, kelambu dan tempat tidur. Selamat tinggal, katak-katak dan kolam renang. Selamat tinggal....”

Mungkin Pipip sedih dan bahagia sekaligus. Terhadap pantai harapan, kami mungkin jatuh cinta tanpa menyadarinya. Mungkin, ucapan selamat tinggal adalah juga ucapan selamat datang; karena bagi kami, pantai harapan tidak berada di belakang, tapi di depan. Meski kami harus sampai di Jakarta lebih dahulu, dan menyimak lagu-lagu lama lagi.

Kamis, 14 Januari 2010

Pantai Harapan (2)


Kamar yang kami pesan berada di punggung bukit; kami bayangkan jauh hari sebelumnya bahwa dari titik ini kami dapat memandang laut lepas. Gerimis masih terasa deras ketika kami tiba. Dari ruang resepsionis kami harus menempuh kurang lebih enam puluh anak tangga yang meliuk teramat licin. Surup menjelang magrib membuat pendakian ini semakin tidak menggirangkan hati. Tiba di beranda, kami hanya dapat memandangi kerimbunan hijau di sekeliling, sawah kecil nun di sebelah timur dan jalan aspal yang memisahkan kompleks resor yang di perbukitan dan di pantai. Kecuali laut. Menyigi pelan-pelan ke dalam kamar tidur yang agak berdebu dan terasa sesak dan kamar mandi yang kurang melegakan (dan mesin pendingin yang tidak bekerja, padahal udara lembab luar biasa), kami putuskan pindah ke vila di dekat pantai, yang dua kali lebih mahal. Berhemat-hemat tidak akan membawa kami ke surga. Ini Cibangbang, yang harus kami buat masuk-akal untuk liburan tahun baru, biarpun secara singkat belaka. (Mohon maaf, gambar di samping ini bukan plang nama resor yang kami huni.)

Ombak memecah terdengar sepanjang malam, dan pasang membuat garis pantai seperti mendekat ke vila kami. Ini kamar lapang, yang bisa menyetimbangi hamparan luas di depan beranda, hamparan rumput dengan pohon-pohon nyiur dan tanaman perdu, kolam air yang berlumut dan kolam renang di bibir pantai. Dalam gelap malam, hempasan ombak terdengar lebih nyaring. Ranjang kami rendah dan berkelambu, sementara kamar mandi cukup luas dengan pancaran air lebih dari deras. Daya lelampu terpasang sangat terbatas, tak ada pula pesawat televisi—semua ini disengaja agaknya, supaya para tamu terpisah dari dunia luar. Ternyata tidak—paling tidak untuk dua malam menjelang tahun baru itu. Jalan raya masih terlalu dekat, di mana deru kendaraan hilang-hilang timbul. Kemudian, pantai sepanjang teluk dipadati pengunjung, yang datang dari desa-desa dan kota-kota kecil di sekitar Pelabuhan Ratu. Pada puncak malam tahun baru, mereka, yang sudah tumpah ruah sejak sore hari, berjamaah (tanpa imam) membunyikan klakson sepeda motor dan mobil, serta menyalakan petasan dan kembang api. Sungguh, dalam merayakan tahun baru, kota dan desa tak berbeda, Saudara!

Teluk mahaluas di hadapan kami menerima ribuan anak sungai dari pegunungan di hadapannya; di kompleks vila kami sendiri terdapat tiga anak sungai. Anak-anak sungai ini membawa aneka kerakal batuan malihan, yang selanjutnya ditebarkan merata oleh gelombang ke bibir pantai. Bila Pipip asyik menyongsong ombak pada pagi atau sore hari, seraya mengawasinya agar ia tak terlalu ke tengah saya coba mengamalkan diri lagi mengamat-amati aneka kerakal itu dengan naluri lama saya. Semuanya batuan malihan, metamorphic rocks—ini istilah dalam geologi, ilmu yang pernah saya dalami bertahun-tahun lalu. Yakni, batuan sedimenter yang dipanasi magma sehingga berubah rupa maupun komposisi pembentuknya. Sekis, pualam, rijang, misalnya. Pasir pantai berwarna legam, mestinya kaya dengan aneka mineral hitam rontokan dari berbagai batuan itu. Di pantai di hadapan vila kami, terdapat cadas-cadas runcing batuan sekis hijau, yang masih menampakkan sisa pelapisan batupasir. Sedikit ke sebelah barat, terdapat tebing konglomerat menjulang (di mana kadang-kadang terlihat pasangan berpacaran) yang juga sudah termalihkan; dan inilah sesungguhnya arti konglomerat: fragmen-fragmen butiran aneka batuan dalam matriks batupasir. Jalur pengunungan di utara kami, yang membentang sampai ke Ujung Kulon mestinya adalah museum hidup bagi kaum geolog. Tapi kini saya bukan lagi seorang geolog, melainkan turis.

Pantai-pantai yang berbatas langsung dengan perbukitan terjal selalu menarik hati kami. Menyusuri pantai seperti ini adalah seperti memecah diri antara terjun ke keluasan tanpa batas dan meninggi ke puncak yang tak diketahui. Terombang-ambing antara garis lurus cakrawala dan gegaris patah-patah runcing punggung bukit adalah semacam janji untuk memilih salah satu, tapi ternyata kita hanya berada di ambang, mengambang, mungkin berupaya mengembang, tanpa dapat memilih. Demikianlah jika kita berada di pantai Jawa Barat selatan atau Aceh timur, misalnya. Tapi kita agak bersedih barangkali ketika menyusuri apa yang bernama jalan propinsi yang membentang dari Pelabuhan Ratu ke Cibangbang. Seperti sudah saya katakan di bagian pertama, banyak rumah, warung, toko menempel sampai ke bibir jalan, yang membuktikan bahwa jalan raya itu hanya jalan desa biasa yang sekadar diaspal (dan bahwa desa-desa utama di sekujur Jawa berpusat pada himpunan rumah penduduk yang melekat ke badan jalan). Pandangan kita ke arah punggung bukit dan ke laut lepas akan terhalang, dan kita terpaksa mencari ruang sisa di antara deret bangunan untuk melayangkan pandang ke balik sana. Berkendara ke tempat tujuan adalah selalu menunggu di mana lagi, ya, di mana dan kapan lagi pantai dan lereng menampakkan diri. Seakan setiap langkah ke depan adalah menunggu kesempatan itu tiba. Pada sejumlah sejumlah simpang tiga terdapat tanda JALUR EVAKUASI—yang menunjuk jalan ke arah perbukitan. Tanda ini tentu agak membingungkan bagi orang luar seperti kami, tapi segera kami sadar bahwa itu upaya dini untuk menghadapi bencana tsunami (yang semoga tak akan pernah datang). Dan kami sampai juga ke pantai harapan di Cibangbang.

Dalam cahaya remang-remang kamar kami bisa puas bermain scrabble di atas ranjang pada malam tahun baru, sambil mengabaikan pesta klakson, petasan dan kembang api yang berlangsung di sejumlah pantai teluk mahaluas itu.

Selasa, 05 Januari 2010

Pantai Harapan (1)


Selepas pintu tol Ciawi kami tahu bahwa kami sama sekali tidak meninggalkan kalibut. Dan malam tahun baru tidak akan menjadi saat buat meneropong diri sendiri. Pastilah kami akan bertemu dengan sejumlah besar orang berusia muda-teruna kiranya, yang juga ingin merayakan pergantian tahun dengan pesta raya di sejumlah titik di pantai selatan itu—dengan lengking serunai atau klakson, pun dengan petasan dan kembang api. Sudah bertahun-tahun saya tidak melewati jalan ini, yang sebagaimana jalan-jalan antarkota (yang dalam peta disebut jalan negara) lain di Pulau Jawa, tidak menjadi lebih baik dalam dua dasawarsa terakhir (barangkali lebih lama lagi—jadi ke manakah perginya uang para pembayar pajak?). Barisan kendaraan terpaksa merayap, antara lain karena jalan ini harus melewati pasar-pasar di Cigombong, Cicurug dan Parungkuda. Kami bercanda dan bicara ringan saja supaya tidak merasa bosan. Toyota Yaris kami tentu tidak buruk, tapi tentu hanya sebuah mobil-kota, yang harus berpayah-payah untuk perjalanan selama itu. Dari jok belakang, Pipip, yang bukan kanak-kanak lagi, bercerita tentang Borat, si lelaki gawat Kazakhstan dalam sebuah film.

Sebelum Cigombong kami berbelok ke timur, menyusuri jalanan desa ke sebuah restoran di tengah sawah berundak. (Restoran ini gencar sekali mengiklankan dirinya dengan jejeran spanduk-berdiri selepas Ciawi.) Sayang sekali acara santap siang dengan menu Sunda ini bukan rehat yang menyenangkan, karena kami harus menunggu sampai sejam untuk siapnya sajian. Tapi rasa kenyang ini cukuplah untuk perjalanan tiga-empat jam berikutnya ke pantai harapan. Tidak jauh dari Pelabuhan Ratu mestinya, ke arah barat. Di mana laut dan perbukitan curam bertemu.

Sebelum Cibadak, kami memberanikan diri berbelok ke barat atau barat daya. Jalan berkelok-kelok, melewati punggungan bukit terjal. Namun dengan ini jarak bisa jauh diperpendek dan waktu dihemat. Mestinya saya pernah melewati jalan ini bertahun-tahun lalu, untuk sampai ke lembah Sungai Citarik—untuk berarung jeram dengan teman-teman. Kali ini kami cukup heran bahwa hamparan luas punggung bukit sebelum Cikidang banyak ditanami kelapa sawit. Kebun teh hanya muncul sesekali, dan juga kebun karet. Jalanan cukup sepi, meski banyak tikungan tajam berbahaya, dan tak sedikit kendaraan yang berpapasan dengan kami melaju dengan pengemudi yang lebih banyak menggunakan dengkul ketimbang kepala. Di pinggir-pinggir jalan banyak sekali pohon durian, yang lebat berbuah. Gerimis turun sepanjang jalan. Ketika melihat teluk dengan muka air yang berkilau-kilau nun di bawah sana, kami mengira kami akan sampai. Ternyata tidak.

Di jalan raya Pelabuhan Ratu, tidak lama setelah kami melewati Tenjo Resmi, wisma kepresidenan yang tampaknya sudah terhapus dari ingatan khalayak, masih berdiri restoran Padi-Padi, yang saya kunjungi 13 tahun lalu. Dulu restoran ini ramai sekali (karena, saya ingat, hidangan lautnya sangat mengesankan; juga, dulu, di sini banyak dipertontonkan ikan-ikan eksotik, antara lain ikan sebesar betis asal-Amazon yang bisa menjalarkan arus listrik), sekarang ia gersang dan sepi pengunjung. Berlomba dengan sepeda motor dan angkot, jalan raya menyempit kurang-lebih lima kilometer setelah pintu gerbang hotel Samudra Beach tanpa kami sadari. Peta buatan Indo Prima Sarana berskala 1:400.000 ternyata sungguh mengelabui. Sejak menjelang Cisolok sampai tempat tujuan, apa yang disebut jalan propinsi ternyata hanya semacam jalanan desa beraspal kasar, yang tak cukup lebar untuk dua mobil. Banyak rumah menempel pada bibir jalan. Tidak sedikit warung penjual durian dan rambutan. Kami mencari-cari restoran santapan laut yang meyakinkan (untuk makan malam nanti atau makan siang esok), betapa mata kami ragu pada semuanya. Tapi kami belum patah arang dengan si pantai harapan, yang sepintas terdengar—atau terlihat—seperti dalam lagu pop dari tiga-empat dasawarsa lalu.