Senin, 29 September 2008

Delapan Sketsa tentang Pluralisme (7)

SERAGAM UNTUK YANG BERAGAM

Jika dunia seni rupa kita beragam—di sini kita berusaha mempercayai pemerian Sanento Yuliman dalam pelbagai telaahnya—maka pandangan yang merangkumnya masih miskin, kalau bukan seragam. Jumlah penulis seni rupa masih terlalu sedikit, dan yang sedikit itu tak bersaing satu sama lain, misalnya dalam penggunaan teori dan penilaian. Kecuali Jim Supangkat yang menulis Indonesian Modern Art and Beyond (1997), belum ada yang menulis buku, kecuali menghasilkan ulasan pendek di media massa; bahkan mereka yang lulusan ITB serupa dengan Jim dalam pandangan sejarah dan “ideologi”; semua adalah “pemikir” yang akan merasa gementar kalau tak memperhatikan fashion. Ada juga monografi tentang sejumlah pelukis, yang disponsori si pelukis sendiri (ingat, tak sedikit pelukis yang lebih kaya ketimbang lembaga seni rupa), sehingga kita bertanya-tanya tentang mutunya selaku telaah.

Saya juga percaya bahwa pendidikan tinggi seni rupa tak berubah secara mendasar. Mungkin ada variasi, misalnya para pengajar adalah mereka yang meyakini pluralisme; maka mereka ini tak memaksakan mazhab tertentu dalam pengajaran, sehingga, misalnya, di ITB bisa lahir “realisme baru” dan di ISI Yogyakarta “abstrak baru.” Pendidikan itu belum mampu benar-benar menghasilkan penelaah seni, kurator seni, sejarawan seni; jika pun ada, itu baru anomali, atau semacam hasil sampingan belaka. Lalu, seperti dikatakan Sanento, akademi seni rupa belum mampu mengintegrasikan seni rupa bawah ke dalam dirinya, sehingga kerajinan (kriya) tetaplah sektor “tradisional” yang terpisah dari sektor modern.

Kritik terhadap modernisme dan universalisme menghasilkan perluasan seni rupa atas, bukan seni rupa bawah. Kita belum melihat adanya kritik kriya dan desain; pengamat seni rupa kita tetap hanya tertarik pada tahap lanjut seni rupa modern—yakni apa yang telanjur disebut sebagai seni rupa kontemporer. Perluasan itu mempunyai dua muka. Yakni, pertama, adopsi kerajinan, barang sehari-hari, bahkan bukan-seni, sebagai bagian, seringkali bagian terpenting karya pribadi; kedua, internasionalisasi, yakni hadirnya kaum seniman kita dalam pameran-pameran di kancah internasional. Dengan enak, sekarang, kaum seniman kita mengambil karya kaum pengrajin, (bahkan menyuruh-buat barang itu), sebagai anasir, bahkan anasir terpenting dari karya mereka. Konon, inilah anti-formalisme, namun jelaslah tak sebersit pun nama kaum pengrajin itu disebut. Dan di panggung internasional, di mana para kurator juga menggemakan paduan suara tentang bangkitnya the subaltern, the other, the marginal, yang hadir adalah karya seni, bukan kerajinan; kaum seniman, dan bukan kaum pengrajin.

Kamis, 25 September 2008

Delapan Sketsa tentang Pluralisme (6)

KUR YANG PADU

Dalam sebuah obrolan, Bambang Bujono menyatakan, kritik seni rupa sekarang dibikin seakan si penulis tak pergi ke pameran, tak melihat karya. Bagi saya, itu sindiran untuk kaum “kritikus” yang terbalik-watak dengan Sanento: kritikus yang memihak “pikiran,” sehingga karya itu sendiri tak penting, kecuali sebagai apa yang diperalat “pikiran.” Hilang sudah kemampuan untuk berdialog dengan, apalagi mencandera, karya. Tak penting lagi bentuk, kecuali sebagai pembungkus “gagasan”. Saya menyebut hal ini sebagai hilangnya seni dalam kritik seni. Atau lebih “sederhana” lagi, tapi lebih mendasar: hilangnya kemampuan menulis kritik.

Pernyataan di atas boleh jadi berlebihan. Namun, serangan terhadap modernisme, telah membuat seniman dan kritikus takut untuk menjadikan kesenian sebagai sekadar hasil kepengrajinan. Jika kau membahas karya seni tanpa mengaitkannya dengan asal-usul, konteks, kekuasaan, paradigma, kau akan dicurigai sebagai modernis, universal, apolitis. Jika kau masuk ke elemen-elemen rupa, kau terkutuk jadi formalis, mungkin cap paling pahit dalam kehidupan “seni kontemporer” sekarang ini. Jika kau membuat kritik seni yang melawan formalisme, kau akan diasingkan sebagai pemisah seni dari kehidupan.

Dan kau tak bisa menilai. Sebab, berdasarkan asas pluralisme, seni hanya terikat kepada lingkup sejarah dan geografinya. Maka tak ada karya seni yang buruk, sebab ia selalu mengandung muatan politik: menilainya sebagai buruk, berarti menghalangi emansipasi. Atau jika kau bersikeras mengaji seni sebagai sesuatu bernilai dalam dirinya sendiri, kau akan tergolong sebagai penganut rezim bebas-nilai, dan ini adalah kedok kaum borjuis, kapitalis, universalis. Kalau kau seniman, bilanglah, seperti Joseph Beuys, bahwa setiap orang adalah seniman, meski hanya namamu, bukan nama mereka, yang akan masuk ke indeks, katalog pameran, dan buku sejarah seni. Seranglah semua lembaga yang melestarikan hirarki seni rupa modern, katakan bahwa mereka mengingkari gender, kulit berwarna, minoritas, sehingga mereka bisa membawakan multilkulturalisme. Hantamlah sejarah seni dunia sebagai perjalanan the great masters, yang mengabaikan ciptaan orang biasa, meski kau mungkin hanya bisa mencipta sedang-sedang belaka, mungkin buruk juga, meski kau bermimpi jadi puncak negerimu, puncak negeri berkembang, puncak Dunia Ketiga, puncak Belahan Selatan, dan seterusnya.

Katakan bahwa kebaruan, kejeniusan, keaslian hanyalah tirani masa lalu, supaya permalingan dan epigonisme bisa dianggap sebagai parodi, pastiche, ironi, kolase postmodernis. Kecamlah kapitalisme, maski “makhluk” inilah yang bisa menciptakan pusat-pusat internasional baru yang mengundangmu, memajang karyamu, mendengarkan suaramu. Katakan bahwa pluralisme sudah hidup, meski di negerimu lembaga-lembaga seni rupa tetap mandeg, dan jumlah kritikus setipis hitungan jari, seperti dua dasa warsa yang lalu. Katakan pluralisme dengan lantang, meski pendapatmu sama-sebangun dengan kaum pluralis yang lain, seperti kur yang padu. Maklum, kita hanya punya suara monolitik tentang pluralisme.

Jumat, 19 September 2008

Delapan Sketsa tentang Pluralisme (5)

TAKZIM TERHADAP KARYA

Sanento Yuliman dalam setiap ulasannya memberi kita kekongkretan seni rupa. Seakan-akan ia tak menyatakan pikirannya kepada kita, namun membiarkan “barang” atau “makhluk” seni rupa itu bicara sendiri kepada kita. Sanento berlaku takzim kepada karya justru dengan tak menghambur-hamburkan pikirannya: ia tak meleburkan atau mengaburkan karya dengan apa-apa di luarnya. Karya atau kumpulan karya punya hidupnya sendiri. Barangkali dari Sanento saya belajar—tanpa saya sadari—untuk mencerap karya sebagai sesuatu yang unik, berharga dalam dirinya sendiri. Sanento tak lari kepada konteks, sejarah, gagasan (isi), sebelum ia menyingkap bentuk. Sebagai contoh, ulasannya tentang pameran lukisan Semsar Siahaan dan Nashar:

“Orang dapat melihat kelemahan Semsar dalam tarikan garis, dalam pencitraan obyek-obyek dalam ruang, bahkan dalam menggambar rinci, misalnya tangan. Gabungan antara kecenderungan kepada perian (deskripsi) obyek sehari-hari dan situasi dramatik di satu pihak, dan kecenderungan kepada gagasan simbolik di lain pihak, sering mengaburkan makna. Bayi dibebat kawat berduri, misalnya, adalah lambang kesewenangan dan derita. Tetapi diletakkannya dalam suatu situasi, misalnya dipangku oleh seorang lelaki (ayahnya?) yang memberinya transfusi. Sukar kita menekan kemelut pikiran mengapa bebat kawat tak dibuka lebih dulu? Siapa yang membebatnya? Dan lain-lain. Tapi gagasan simboliknya mencair.” (“Pusaran Semsar,” Dua Seni Rupa, 2001.)

“Lukisan Nashar memperlihatkan bahwa seniman ini memperlakukan akrilik hanya dengan satu cara. Bahan ini, tanpa campuran air, dipoleskan ke kanvas, Beberapa lukisan menunjukkan bahwa ia memulai kerja dengan mewarnai dulu kanvasnya. Kanvas ini lalu ditimpa, dengan garis atau bidang warna. Bahan dipoleskan dengan kuas. Sapuan relatif kecil dan pendek, dengan ketebalan cat yang nyaris sama: tidak terdapat sapuan tipis atau transparan. Sapuan ditarik tanpa kegemasan atau kecepatan yang mantap: Nashar tidak tertarik untuk memperlihatkan tenaga tangannya pada rekaman cat di kanvas. […] Ia rupanya tidak tertarik terhadap kemungkinan macam-macam perlakuan terhadap akrilik dan macam-macam efek yang dapat ditampilkannya. Ia tidak menjajaki dan menjelajahi sifat-sifat dan kemampuan-kemampuna akrilik. […] Nashar bukannya tanpa teknik. Ia hanya miskin teknik.” (“Dunia Fantasi Nashar,” Dua Seni Rupa, 2001.)

Bagi saya, Sanento seorang pragmatis: ia tidak mencari-cari pondasi atau “metafisika” dari karya. Sebaliknya: karya itu berarti dari unsur-unsurnya sendiri. Tentu, bukan berarti ia tak berteori: namun, teori mesti tumbuh dari pengalaman, pergaulan, pengkajian. Ia juga tak tertarik kepada fashion, bahkan kepada jargon, bukan karena tak menguasainya, tapi karena itu akan “menjajah” si karya, menghalanginya dari proses komunikasi. Dengan demikian, ia memperlakukan karya sebagai pantulan kepengrajinan, craftsmanship, yang punya nilai dalam dirinya sendiri, bukan “korban” dari konteks, sejarah, atau gagasan.

Seorang pragmatis bisa sekaligus pluralis? Ya, lantaran Sanento menjalankan kritik seni, tapi juga sosiologi seni—yang sering berimpit dengan sejarah seni. Dan ia tahu bagaimana membedakan dua bidang kajian itu. Kritik seni mencari kepaduan dan paradoks karya atau kumpulan karya, sosiologi seni mengajukan kritik budaya demi memperbaiki lembaga kesenian—pendidikan, penyebaran, perdagangan, penyimpanan seni misalnya—katakanlah untuk menjalankan demokratisasi, yaitu mengembalikan seni rupa sebagai milik umum. Kritik terhadap seni rupa atas tak berarti pemihakan buta ke seni rupa bawah, sedangkan kritik terhadap pandangan hirarkis bukanlah berarti tak pentingnya karya atau kumpulan karya keseorangan. Pengetahuannya yang luas tentang pelbagai khazanah membuat ia tak terjatuh ke dalam “hermeneutika kecurigaan”, yakni "metoda" yang banyak diamalkan oleh kaum pluralis setelah ia.

Jumat, 12 September 2008

Delapan Sketsa tentang Pluralisme (4)

BERLIN—JAKARTA—NEW YORK

Di Martin-Gropius-Bau, Berlin, pada musim semi 1993, saya kunjungi pameran besar “American Art in the 20th Century”. Tentulah saya tak mengharapkan seni rupa Amerika terwakili seluruhnya, tetapi saya ingin menyaksikan apa yang inti dan yang puncak dari modernisme Amerika. Yakni, kurang lebih sebuah pelaksanaan dari apa yang dikatakan kritikus Clement Greenberg tentang pencarian dan penggalian seni ke dalam esensinya sendiri, yang klimaksnya adalah “punahnya dengan sempurna isi ke dalam bentuk sehingga karya seni tak dapat diringkaskan baik seluruh maupun sebagian ke dalam apapun yang bukan karya itu sendiri.” Demikianlah, klimaks itu tercapai melalui Ekspresionisme Abstrak: saya bisa memahaminya (secara intelektual) dan belum mencerapnya (secara inderawi), kecuali mungkin Rothko dan Pollock. Dan setelah itu terjadilah serangkaian antiklimaks: Pop Art, seni konseptual, seni instalasi, seni video, dan kemudian Cindy Sherman dan Jeff Koons. Arthur C. Danto bicara tentang akhir seni: “Seni sudah menjelajah sejauh ia yang mampu dalam mencari identitas falsafinya: kinilah tugas filsafat agar menyatakan identitas itu dalam rumusan yang tepat.”

Di Indonesia, pada awal 1990-an, sejumlah orang, termasuk saya, termakan oleh arus serangan terhadap Barat yang konon serba tunggal, universal, homogen, dan dominan. Maka di Berlin itu saya bayangkan, bahwa jaringan museum di Amerika Serikat bahu membahu dengan kaum kritikus dan akademi dalam menebarkan jenis seni rupa yang mencerminkan klimaks-antiklimaks pencarian-pertarungan formalisme-antiformalisme. Saya bayangkan museum “puncak” seperti MoMA dan Whitney menjajakan puncak evolusi seni modern yang demikian.

Tentu saja saya keliru. Di kemudian hari, saya saksikan sendiri bahwa dua museum di New York itu benar-benar berbeda dari apa yang pernah saya bayangkan. MoMA bukan hanya mewadahi banyak lukisan yang tak cocok dengan pandangan Greenbergian, tapi juga barang “bukan seni” seperti mobil, helikopter, kursi, ember, vacuum cleaner, poster, misalnya. MoMA bukan pembela aliran New York—Ekspresionisme Abstrak dan antitesisnya, Pop Art. Sementara, banyak koleksi Whitney yang sama sekali tak mencerminkan pencarian formalisme: misalnya regionalisme Thomas Hart Benton dan John Stueart Curry, juga “realisme Amerika” Ben Shahn, Andrew Wyeth, Paul Cadmus.

Museum bisa menyemarakkan paradoks dan keserbaragaman dalam dirinya—meski ia dituntun oleh kriteria yang ketat juga. Ia ternyata bukan benar-benar ujung tombak dari modernisme Amerika. Museum bukan ruang homogen; jadi, mereka yang membidiknya sebagai benteng penunggalan pandangan seni rupa pastilah keliru sasaran. Ia bukan sebuah pulau terpencil: lihat, ruang-ruangnya adalah pantulan terbalik dari ruang-ruang di luar, sehingga seni rupa tak terpisah dari rupa-rupa lain. Ia, dari sudut pragmatis, berfungsi setara dengan kantor pos, stasiun, sekolah, restoran, universitas, gedung pengadilan, pusat belanja, pelabuhan udara, dan seterusnya, sehingga tersebar hampir rata ke seluruh negeri.

Di sana, pluralisme, multikulturalisme, political correctness, postmodernisme dibicarakan, dijalankan dengan kemantapan lembaga yang bukan main. (Inikah kontradiksi internal dalam kapitalisme mutakhir? Cara sang sistem untuk memperbarui diri terus-menerus?) Di tanah air saya, pluralisme diuar-uarkan dengan semangat baru terbangun dari mimpi. Kaum puluralis kita hanya “idealis,” sebab mereka tak punya dasar kelembagaan di sini. Hanya satu orang yang menegakkan pluralisme dalam kaitan dengan perbaikan kelembagaan, khususnya pendidikan seni rupa. Dialah Sanento Yuliman.

Jumat, 05 September 2008

Delapan Sketsa tentang Pluralisme (3)

KE KANCAH INTERNASIONAL

Sejumlah galeri atau “rumah seni” tumbuh sejak akhir 1980-an sampai pertengahan 1990-an: di sana konon kesenian “alternatif” dipamerkan. Barangkali itu benar, jika bandingannya adalah boom seni rupa—yang lebih tepat disebut boom lukisan—yang menurut Sanento Yuliman juga membawa mendung-pengiring, yaitu pemiskinan, pendusunan, pemingitan, pemusatan, serta ketiadaan pola-dan-acuan. Namun, saya curiga, yang alternatif itu mengambil manfaat dari boom juga, yakni menyeret orang muda kaya baru untuk membeli “lukisan alternatif” yang pasti lebih murah harganya ketimbang “lukisan baku” yang dijajakan dalam lelang dan galeri “konvensional.”

Galeri “alternatif” itu pun tak banyak jumlahnya. Dan masih menancap di kota-kota besar Jawa, di mana kegiatan seni rupa modern sudah “mentradisi.” Kita belum mendengar kegiatan semacam ini tumbuh di luar Jawa. Gerak menjauh dari pusat, alternatif terhadap khazanah seni rupa yang membeku? Mungkin ya, setidaknya untuk sementara. Meski galeri-galeri tersebut, misalnya Lontar dan Cemeti (dan dulu C-Line) tak berbeda satu sama lain: perupa yang sama, bergantian pameran dari yang satu ke yang lain. Sementara itu, Taman Ismail Marzuki meluruh, bukan sebagai akibat serangan kaum pluralis, melainkan karena ia jadi korban dari salah-urus, salah-perencanaan, dan kecerobohan para pengurusnya dan pemerintah daerah sekaligus. Bukankah ini satu bukti lagi bahwa kita tak sanggup memelihara lembaga? (Banyak kaum pluralis yang masygul, saya kira, ketika Ruang Pamer Utama, Teater Arena, Teater Tertutup dan Teater Terbuka, dibongkar; konon di bekas lahan itu akan tumbuh gedung-gedung pertunjukan dan pameran supermodern.)

Galeri “alternatif” agaknya menjadi salah satu pintu, bagi senirupawan mutakhir kita, untuk hadir ke dunia internasional. Dahulu, kaum senirupawan kita sibuk dengan memperebutkan dan memperbarui pengakuan nasional—melalui biennale, triennale, pameran tunggal di Jakarta, pelbagai penghargaan senirupa, dan sebagainya. Kini, kaum perupa kita dengan enak menjadi bagian dari lalu lintas internasional. Ada yang mengira bahwa galeri “alternatif” melakukan diplomasi yang pintar dengan kaum kurator luar negeri. Nyatanya, tidak. Sejumlah seniman baru muncul—atau lebih baik dikatakan membesar, karena mereka sudah aktif berpameran jauh sebelumnya—lewat galeri tersebut, seiring dengan munculnya “pusat-pusat” internasional baru yang kuratornya mencari pergaulan dan infomasi “alternatif.” Dengan kata lain, pluralisme internasional—pengakuan akan keserbaragamanan seni rupa di setiap negeri—mendorong tumbuhnya ragam seni rupa baru dalam negeri. Ragam ini secara aneh sering dinamai “seni rupa kontemporer.”

Ukuran nasional tak penting lagi? Demikianlah memang, di lingkup negeri sendiri. Tisna Sanjaya, Agus Suwage, Heri Dono, Nyoman Erawan, Arahmaiani, misalnya, tak terlihat berkerut dahi dengan tempat mereka dalam kancah seni rupa nasional, berbeda dengan angkatan-angkatan sebelumnya. Sejawat mereka yang jadi dosen di akademi seni rupa juga tak mempertahankan mazhab tertentu, berbeda dengan guru-guru mereka. Dan kecuali kriteria “alternatif,” Cemeti atau Lontar menampilkan jenis apa saja, tak menegaskan ciri satu sama lain, jauh berbeda dengan Galeri 291 Alfred Stieglitz atau Leo Castelli pada masanya, misalnya, yang memelopori corak tertentu. Juga tak ada lagi penghargaan untuk karya-karya terbaik, seperti yang pernah dilakukan Dewan Kesenian Jakarta, sumber kontroversi di antara kaum seniman.

Paradoksnya: lingkup nasional justru penting pada pameran internasional. Lantaran pluralisme mengandung kepatutan politik (political correctness) sekaligus kemudahan mengelola atas dasar “perserikatan bangsa-bangsa,” para kurator internasional masih menjadikan negara-bangsa sebagai titik tolak. Seniman yang diundang mesti mewakili negeri-bangsanya, bukan satuan lain, meskipun semangat pluralis mereka mestinya bisa menghadirkan “perwakilan” dari satuan yang tak berdasarkan negara bangsa, misalnya puak, etnisitas, atau kelas sosial.

Jim Supangkat, kurator kita yang giat di berbagai forum internasional, mendedahkan bahwa modernisme tak pernah tunggal, ada modernisme lain yang tak terlihat selain modernisme Barat. Kawasan dunia sesungguhnya mempunyai multimodernisme, atau modernisme pluralistik, yakni modernisme berdasarkan bangsa, masyarakat, atau kelompok masyarakat. Bagi saya, argumen ini tak mengarah ke dalam, ke tubuh bangsa sendiri, (misalnya untuk memperjuangkan sejarah kriya agar setara atau bersintuhan dengan sejarah seni modern), melainkan ke luar, ke kancah internasional, sebagai sarana negosiasi. Dan yang ditawarkan tetap “seni rupa atas”—saya pinjam istilah Sanento Yuliman—seni modern Indonesia yang berevolusi menjadi seni kontemporer, sebagai bagian seni rupa internasional. Inilah yang saya simpulkan dari buku Jim Supangkat Indonesian Modern Art and Beyond (1997). (bersambung)

Selasa, 02 September 2008

Delapan Sketsa tentang Pluralisme (2)

MEMPERCAYAI DOMINASI

Dengan “heroisme” yang agak memalukan, pada awal 1990-an saya melayangkan kritik terhadap pusat, dalam hal ini pusat yang melestarikan modernisme. Pusat itu boleh jadi lembaga (pusat kesenian bersama organisasi dan jaringannya), yang bagi saya dibentengi pandangan romantik tentang seniman-sebagai-pencipta-agung, pembaruan, dan kebebasan kreatif. Dalam tulisan itu pula saya uarkan, bahwa kita tengah mengalami proses decentering, “arus-arus yang sangat sehat bergerak dengan pasti di luar, yakni arus-arus yang tidak berurusan dengan pusat, apalagi pusat kesenian. Beberapa karya dan kerja kesenian yang muncul dan hidup akhir-akhir ini tidak lagi menganggap sang pusat kesenian sebagai sumber legitimasi. Arus-arus itu muncul tidak dari pusat dan tidak menuju pusat.” Dan sebagai kalimat penutup: “Barangkali periode tanpa pusat telah mulai.”

Sungguh pendapat yang kekanak-kanakan. Sebab pusat itu sendiri tak pernah dominan: ia tak pernah berada di puncak piramida kemasyarakatan. Ia hanya menjadi tempat bercokol bagi sehimpun seniman (yang juga menjadi pengurus dewan kesenian, redaktur koran dan majalah, juri sayembara, dan guru kesenian) yang kebetulan mempunyai kesamaan pandangan—dan bukan konspirasi—dengan sebagian pandangan yang hidup di akademi seni rupa dan fakultas sastra, katakanlah semacam formalisme. Padahal ia sendiri menjadi wadah dari sekian banyak “gerakan perlawanan terhadap elitisme,” misalnya Gerakan Seni Rupa Baru pada pertengahan 1970-an. Namun, sungguh mengherankan bahwa lembaga yang rapuh itu terus dikecam sebagai benteng elitisme dan universalisme oleh kaum pluralis sejak Puisi Mbeling sampai Sastra Kontekstual. Bersama kaum pluralis itu, saya menderita rabun mata: menganggap sang pusat sebagai sumber legitimasi dan kriteria seni, padahal ia cuma gejala pinggiran dalam politik-budaya Indonesia mutakhir.

Saya uarkan pendapat saya yang kelewat polos itu tiga tahunan setelah saya menyaksikan Pameran Pasaraya Dunia Fantasi di Taman Ismail Marzuki—yang boleh dibilang sebagai kelanjutan Gerakan Seni Rupa Baru—yang membuat saya berkesimpulan, betapa mubazir seni rupa(-wan) yang (mencoba) “menurunkan diri” ke budaya massa-populer, jauh setelah Dada, Marcel Duchamp, Pop Art dan Joseph Beuys, kecuali ia sekadar menjadi pengulangan yang kehabisan darah. Saya tak percaya bahwa pameran itu bisa lebih memukau ketimbang Pasar Raya dan Dunia Fantasi beneran yang diparodikannya. Ia hanya menjadi semacam “seni konseptual.”

Saya bukan penyoal “ontologi” kesenian seperti Jim Supangkat dan kawan-kawan; saya hanya mencoba merumuskan pusat yang berkedok “seni modern” padahal hanya mampu menjalankan “seni nasional.” Dengan kata lain, waktu itu saya merindukan “pusat-pusat” lain—kecil-kecil namun tersebar rata—yang bisa menerobos kriteria dan sejarah nasional. Namun pameran itu menyisakan bagi saya pendapat Sanento Yuliman yang tercetak dalam katalog pameran itu—dan pendapat ini selalu diulanginya sampai ia berpulang: yaitu bahwa “kita harus berani menyingkirkan sekurang-kurangnya tiga hambatan pandangan yang merintangi kesadaran sosiologis”: kesatu, “pandangan serba tunggal yang menganggap hanya ada satu tata acuan yang melahirkan satu seni rupa”; kedua, “pandangan yang menggambarkan sejarah seni rupa kita sebagai suatu garis lurus”; ketiga, “pandangan yang mengutamakan seni rupa berpangkal pada artes liberales.” (bersambung)