Minggu, 20 September 2009

Darah


Para penyair, bahkan penyair terkini, barangkali gemar sekali mengatakan bahwa mereka menulis berdasarkan ilham. Tapi kita tidak tahu apakah mereka berdusta atau tidak. Kita hanya tahu apakah mereka mengerjakan puisi atau tidak, apakah mereka bergulat dengan bahasa atau tidak. Yang jelas, tidak ada Tuhan atau dewa-dewa yang bicara kepada mereka, membisikkan apa-apa yang harus mereka tuliskan ke atas kertas kosong. Satu-satunya bukti yang kita punya adalah puisi mereka.

Hanya dengan puisi itulah kita bersoal-jawab. Sebuah puisi adalah sebuah artefak, yang membuat kita bisa menciptakan sejenis “arkeologi pengetahuan.” Sebuah puisi memang tidak membawa berita, tapi membimbing kita ke sebuah lingkungan bahasa. Puisi itu, secara tersirat atau tersurat, mengatakan seluruh kekayaan yang dimiliki bahasa yang bersangkutan, dan bagaimana kekayaan yang demikian menciptakan—maafkan saya, jika saya gunakan istilah berikut ini—“kepribadian” si pembuatnya. (Atau, secara terbalik: bagaimana kekayaan tersebut justru tak berguna apa pun, kecuali memiskinkan si penyair, yang percaya belaka kepada ilham.)

“Kepribadian” itu tidak datang dari pertapaan di gua-gua atau lingkungan pergaulan lisan yang membangga-banggakan pencarian romantik penyair. Jika seorang penyair menjadi mabuk di bawah bulan purnama, terbuai di depan ombak samudera raya, terngeong di depan lanskap kota besar, atau terhisap oleh kekosongan angkasa luar, boleh dikatakan bahwa ia mabuk dan terbuai sebagai manusia biasa saja, artinya sesiapa boleh saja mengalami “pengalaman batin” semacam itu—pengalaman yang belum pasti akan menjadi sebuah artefak kata-kata. Seandainya seorang penyair melihat darah tumpah di jalanan, maka soalnya apakah ia mampu membuat apa yang dilihatnya menjadi darah kata-kata.

Nyatanya, untuk membuat darah kata, daging kata, dan tubuh kata, si penyair harus memencilkan diri ke dalam ruang studinya. Ia masuk ke dalam lingkungan bahasa, tepatnya lingkungan tulisan, yang memberikan kepadanya bentuk-bentuk pengucapan yang mungkin. Bila ia mengolah yang mungkin ini, ia bisa pula menemukan yang mustahil—yang membuatnya bergerak lebih cepat ketimbang rekan-rekannya. Dan boleh jadi ia akan malu menyebut dirinya sebagai pembaharu, sebab sejarah-sejarah sastra di dunia ini adalah lautan pembaharuan. Ia tahu, jargon “pembaharuan” hanya membatasi geraknya. Sebab ia ingin leluasa bergerak ke depan, ke belakang, ke samping, ke atas dan ke bawah.

Adapun lingkungan bahasa itu dalam artinya yang pertama tentulah lingkungan bahasa yang membesarkannya—bahasa ibu, atau bahasa nasional. Namun lingkungan ini tidak dibatasi oleh benteng-benteng apapun. Lingkungan ini selalu ditembusi—alhamdulillah!—oleh aneka artefak, jasa, bahasa, isyarat, makna, citraan, dari mana saja, dari seluruh buana. Di ruang studinya, sambil meragukan setiap kata dan frase yang mengejarnya, yang membuat ia mengerjakan puisinya, ia sesungguhnya bercakap-cakap dengan lingkungan sastra seluas mungkin yang bisa dijangkaunya. Tapi dengan itu pula ia menetapkan seberapa jauh ia bisa menguji model-model apa yang mungkin dan yang mustahil.

Ironis sekali—bahwa ketika kita pembaca merasa menemukan “kepribadian” si penyair dalam puisinya, ia justru terus-menerus meragukan kepribadiannya sendiri. Berhadapan dengan jejaring tulisan yang menantangnya secara terus-menerus, ia justru kembali kepada kepada kekuatan bahasa itu sendiri, kepada kata dan frase yang menuntut gerak sendiri, kepada “nafsu” mereka untuk berbenturan—dan berjalin-kelindan—dengan kata dan frase yang lain. Ia bukan bersikeras mempertahankan kepribadian sendiri. Ia mengerjakan puisi, tidak untuk menunjukkan ke-aku-annya, tetapi untuk melenyapkan sosok pribadinya sendiri. Supaya pembaca nanti melihat bukan darahnya, darah pribadinya, tapi darah kata-kata.