Sabtu, 13 November 2010

Kobra


Tokomu menjual aneka taring yang tampaknya lebih manjur daripada taringku, namun kau tak mampu menjawab ketika seorang pelangganmu bertanya, “Mana yang paling baik untuk mematikan seekor kuda hitam?”

Ketahuilah, sangat jarang aku mematuk, sebab aku tak mau taringku ternoda oleh darah, dan aku lebih senang memuntahkan bisa ke siapa saja yang memaksaku berdiri tegak dan mengagumi leherku mengembang serupa perisai.

Kecuali cerpelai, yang sangat suka membaca, sesiapa akan buta jika matanya terkena oleh semburan bisaku, tapi ia selalu berhujah bahwa bekas lawan yang kutaklukkan tak pernah buta, mereka sekadar lupa betapa aku suka memangsa sesamaku.

Sungguh mati, aku tak sengaja memangsa mereka, sebenarnya aku hanya mengasihani mereka, sebab mereka hanya suka melata, dan sesiapa yang melata hanya menjadi bayang-bayangku, kembaranku, yang hanya akan menghalangi jalanku ke kota.

Percayalah, aku melenyapkan bayang-bayangku dengan bersembunyi dalam liang jika hari terlalu terang, bergelung seperti bulan gerhana sempurna, atau, jika terpaksa, dengan menelan sesiapa yang bersikeras menjadi kembaranku, betapapun tampan-jelita ia.

Dari si cerpelai diam-diam aku belajar menari tanpa henti, untuk memikat bakal kekasih, yang tak mampu lagi melihat lukisan gaya baru pada kulitku, sampai suatu hari, di sebuah padang terbuka, ketika aku berusaha menirukan lompat-liuknya yang tinggi dan piawai, si rajawali menyambarku dan membawaku terbang ke angkasa.

Tak sanggup membunuhku, raja kaum penerbang itu menjatuhkan aku ke bumi yang tak kukenal, rusukku remuk-redam (namun telah kupatahkan sebilah sayapnya), dan sejak itu aku tak mampu lagi berdiri tegak atau menaklukkan sesamaku, dan aku hanya sanggup memburu tikus dan kadal dan terwelu, sampai seorang penyair menangkapku.

Ia memaksaku menari dengan bunyi serulingnya, meski aku sebenarnya hanya berupaya berdiri dengan susah payah, meliuk-liuk di dekat wajahnya, untuk sekadar menggirangkannya belaka, sementara aku memandangi bibirnya yang seperti bayangan bulan sabit muda di hutan dahulu.

Sesekali ia memeras bisaku dan membawanya ke tokomu, dan aku sedikit terbebas dari birahi (sungguh, kami sering berpentas di depan tokomu, terkadang juga bersama sesamaku yang asing, yang dibawa penyair lain, dan kami suka bertukar isyarat kenapa kami bisa menjadi bintang di kota yang sedih ini).

Siang tadi kulihat sang cerpelai berbelanja ke tokomu, ia bersepatu dan berpakaian rapi, dan ia memborong banyak sekali taring, bisa dan kulit berwarna hijau lumut, dan di ujung jalan ia mengambil seekor kuda hitam dari tambatan, yang di pelananya sudah duduklah istrimu, sungguh, aku tak berdusta.

Ketika kuceritakan semua ini, taringku sudah berkarat, lidahku mungkin tak bercabang lagi, dan gelungku bukan lagi lingkaran sempurna, namun jelaslah bahwa semua peribahasa sudah kedaluarsa, pun sia-sia belaka jika kau menuduhku penggoda atau pendusta, dan ternyatalah tokomu lebih layak disebut menara gading atau perpustakaan.

Malam ini pada lidahku akan kaudapati sebutir manikam biru berkilauan, ambillah, jangan takut, kau bukanlah musuhku, sungguh, ketika sang cerpelai gugur di sebuah hotel di tengah kota terbelit atau terpatuk oleh istrimu, tapi janganlah kauburu sang penyair yang sedang membeli nasi gurih dan Kitab Lebah Ratu santapanku, sungguh, ia hanya hendak menggirangkanku sekali ini saja.

(Buli-Buli Lima Kaki, hal. 18-21)

Rabu, 10 November 2010

Si Buli-Buli


Sejumlah pembaca blog ini (termasuk yang sudah berada di Twitterland) bertanya kepada saya, kenapa tak ada tempelan baru di majalah dinding saya ini. Saya memohon maaf kepada anda sekalian. Dua-tiga bulan ini saya, bersama sejumlah teman, memang sibuk mempersiapkan dan menyelenggarakan sebuah biennale seni pertunjukan internasional. Dan sekarang ini harus pula saya katakan bahwa di sela-sela kesibukan yang begitu menyita waktu dan tenaga saya itu, saya menyempatkan diri merampungkan buku puisi saya, Buli-Buli Lima Kaki. Memang sejak akhir tahun lalu saya merasa bahwa buku puisi ini harus terbit sebelum Desember 2010.

Merampungkan adalah menyunting, menulis-ulang sejumlah puisi (mungkin juga masih menulis puisi baru pada saat-saat terakhir, sebelum mengetuk palu, “Nah kau harus rampung di titik ini!”), menentukan urutan, mengelompokkan ke dalam bagian. Buli-Buli Lima Kaki, yang terdiri dari 55 puisi, saya rampungkan pada akhir Juli 2010: 53 puisi adalah yang saya tulis sepanjang 2008-2010; dua puisi muncul dari tumpukan map saya, dari tahun 1994 dan 1995—yang satu rupanya pendahulu dari puisi-puisi saya yang “berperihal” binatang, yang kedua masuk ke dalam kuartet-puisi tentang—atau “parodi” dari kisah—Yeshua, si lelaki dari Nasara. Buli-Buli Lima Kaki—judul ini saya pastikan pada pertengahan Agustus, setelah menanggalkan sejumlah calon-judul lain—terdiri dari lima bagian—lima kaki—yang masing-masing berisi 11 puisi. Setiap bagian muncul dengan jalinan-motif tersendiri, jalinan-suara tersendiri.

Selepas akhir Juli, saya bekerja dengan Ari Prameswari untuk mencapai bentuk dan desain buku yang terbaik bagi Buli-Buli Lima Kaki. Sejak kurang-lebih 20 September, setiap hari saya melihat sebuah instalasi anggitan Joko Dwi Avianto di dekat pintu masuk Teater Salihara, “seekor gajah”, yang terbuat dari bambu apus. Pelan-pelan saya menyadari bahwa si gajah ini memang ditakdirkan untuk menghuni juga kulit buku saya; ya, memang sudah lama saya menginginkan adanya citra binatang yang tidak biasa untuk buku puisi saya. Ketika rancangan kulit buku menjelang selesai, saya hampir bersorak menemukan bahwa si gajah itu adalah juga buli-buli berkaki lima—belalainya adalah salah satu kakinya. Anda bisa melihatnya sendiri di gambar kulit depan yang terpampang di sini.

Buli-Buli Lima Kaki diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, yang pernah menerbitkan buku puisi saya terdahulu, Jantung Lebah Ratu (2008). Anda bisa mendapatkannya di toko-toko buku di sekujur Nusantara paling cepat akhir November ini. Empat puluh empat puisi dari Buli-Buli Lima Kaki adalah puisi yang belum pernah terbit sama sekali. Sambil menunggu si buku keluar dari percetakan, saya ingin mengumumkan sejumlah puisi yang belum terbit itu di majalah dinding ini.

Senin, 22 Februari 2010

Budi (2)


Kurator pameran ini, Rizki A. Zaelani, menulis bahwa karya patung dan lukisan Budi Kustarto “tak dihasratkan memenuhi artinya secara penuh”, atau “hadir dalam ‘ketidak-menyeluruhannya’”, dan inilah cara untuk “merayakan penundaan makna” untuk “proses penghayatan”. Bagi saya, penundaan itu adalah untuk mempertanyakan kembali hubungan antara seni lukis dan forografi, antara tubuh dan representasinya, antara gagasan dan bentuk seni. Untuk kesekian kali, kita harus bisa menghayati setelah dan hanya setelah berpikir; di sini penghayatan tiada lain ketimbang second thought, third thought, dan seterusnya. Menghayati setelah berpikir tampaknya adalah frase yang bertentangan dalam dirinya sendiri, contradicitio in terminis, sebab dalam proses yang wajar, yakni proses yang dialami orang ramai, yang terjadi adalah menghayati dahulu dan berpikir kemudian.

Jauh setelah Chuck Close dan Gerhard Richter, kita memerlukan keberanian baru dalam mencerna realisme fotografis. Apa yang tampak biasa-biasa saja, ternyata menyembunyikan apa yang luar biasa, entah itu teknik, pelapisan makna, atau sesindiran akan sejarah seni rupa itu sendiri. Apapun yang terjadi, tampaknya nyali demikian cukup banyak tersedia kini, di ruang ini. Apalagi karya-karya lukisan dan patung yang kita hadapi sekarang seperti membuat kita berjalan di daerah perbatasan, twilight zone—antara gagasan dan bentuk, antara keserentakan dan pengendapan, antara keseharian dan penjarakan. Pada masa kemarin, mungkin seni kontemporer berusaha menyatukan dua kontras itu; pada hari-hari ini, seni (masihkah kontemporer?) mungkin justru memelihara polaritas tersebut, sebagaimana terlihat dalam karya-karya Budi Kustarto. Kita masih jauh dari kesimpulan, juga nanti kiranya, ketika kita beranjak keluar dari ruangan ini. Saya ucapkan selamat kepada sang seniman, yang telah menantang kita dan seluruh perbendaharaan kita; juga kepada galeri Nadi, yang sepanjang riwayatnya sampai hari ini, telah mempertemukan pasar dan wacana. Terima kasih.

(Tulisan di atas adalah sambutan pembuka saya untuk pameran Budi Kustarto di Galeri Nadi, Jakarta, Maret 2005. Berbentuk ketikan dengan coretan tangan, tulisan itu saya temukan kembali belum lama ini di antara tumpukan berkas yang sudah lama tak tersentuh.)

Senin, 15 Februari 2010

Budi (1)


Sering saya bertanya-tanya, di manakah kini ketrampilan menggambar wujud, khususnya tubuh dan wajah manusia, lebih khusus lagi wajah sendiri. Memudarnya ketrampilan ini, dari satu sisi, pernah dipercayai sebagai pudarnya aura seniman-pencipta; dan, dari sisi lain, adalah makin kerasnya ejekan terhadap seni lukis (beserta “seni murni” yang lain). Memang kita masih melihat potret diri, misalnya yang dibuat Agus Suwage dan, pada masa sebelumnya, tubuh manusia pada kanvas Dede Eri Supria. Tetapi kedua pelukis ini menyalin—atau “mengeblat”—foto, sungguh lain dari Sudjojono, Trubus, atau Affandi, misalnya, yang mencuri langsung dari dunia nyata.

Tapi konon kini tak ada lagi dunia nyata: semua hanya jalinan tanda, jalinan simulakra. Konon kini seniman hanya mengutip, bukan mencipta. Di mana-mana modernisme telah dikutuk, juga di tanah air kita: tak sedikit yang berkata bahwa pengarang (pencipta) telah mati (saya tambahkan: kecuali hak ciptanya, seluruh laba yang tumbuh dari karyanya). Kaum senirupawan kini, seraya menyebut dirinya perupa, mencibir jiwa tampak, cap jari, dan orisinalitas, tapi sayang sekali mereka tetaplah individu yang tak tergoyahkan di tengah medan sosial seni. Tidakkah semua itu lebih menyatakan hilangnya ketrampilan, craftsmanship, ketimbangan penentangan terhadap modernisme yang pernah berkuasa itu?

Atau mungkin seni selalu harus diletakkan dalam tanda kutip: suatu ranah yang batas-batasnya harus selalu dicairkan, bukan dibekukan. Sang perupa selalu dihantui materialitas: dan materi itu, medium seni itu, selalu tak cukup sebagai representasi realitas: ia harus menjadi realitas itu sendiri. Berbeda dengan sastra, misalnya: kaum sastrawan tak bisa keluar dari mediumnya; apa yang disebut realitas hanya—dan melulu—hadir dalam rumah penjara bahasa, the prison house of language. Tetapi seni rupa menolak untuk tinggal di dalam batasnya sendiri: ia ingin melebur ke dunia; meski tetaplah ia kecil, dan paling banter ia hanya akan bersifat setengah-publik saja.

Karya-karya Budi Kustarto seakan menggemakan kembali pelbagai pertanyaan di atas. Tubuh dirinya yang berwarna tunggal, hijau, melayang di ruang kosong—sepintas-lalu seperti hasil foto yang dimanipulasikan secara digital. Di sini ukuran dan tempat pajang menjadi sangat penting. Setara dengan itu barangkali adalah sejumlah bilbor iklan yang menampilkan tubuh dan wajah (yang juga telah dimanipulasikan), tetapi yang tak lagi mengejutkan kita. Berbagai patung dan lukisan Budi Kustarto tampaknya masih berusaha mengejutkan kita dengan repetisi bentuknya—berbagai variasi dari potret dirinya. Namun kualitas kehadiran dirinya yang terlalu biasa, meski ia telanjang, malah menipiskan upaya kejut-mengejutkan itu. Maka repetisi pun dalam kekaryaan Budi Kustarto mungkin menjadi meta-ironi, yaitu ironi tentang ironi, ya, sebab sudah terlalu banyak yang membuat ironi dengan mencibir diri sendiri, misalnya saja yang kita lihat pada sejumlah potret diri Agus Suwage dan Chatchai Puipia dan para epigon mereka. (bersambung)

Senin, 01 Februari 2010

Gema Para Penari


Menonton sebuah pentas yang baik, kita seperti mengosongkan diri. Ketika pertunjukan selesai, kita merasa lega luar biasa. Tapi sekaligus juga merasa kurang: kenapa ia, pentas itu, harus berakhir sekarang, kenapa tidak bertambah lagi. Kita merasa lapar, lapar akan sosok-sosok penampil itu lagi, juga semuanya—tata gerak, tata cahaya, tata musik. Mengalami sebuah pentas tari yang baik ibarat mengalami persetubuhan yang tulus. Setelah orgasme, kita merasa kosong. Dan diri yang kosong bukanlah diri yang percuma. Kekosongan itu akan terisi lagi oleh gema, bayangan, rasa—tilas dari dia yang kita pergauli. Kita merasa lega, tapi tiba-tiba merasa sedikit was-was, benarkah dia masih akan bersama kita lagi. Kekasih kita. Pentas yang baru saja kita saksikan.

Pengalaman itulah yang saya dapat akhir Januari lalu ketika menatap pentas kelompok ODC/Dance yang datang dari San Francisco, di sebuah teater blackbox di Jakarta Selatan. Ketika saya menuliskan kalimat-kalimat ini, lelaku para penari masih bergema, dan masih akan bergema pada hari-hari mendatang. Seperti halnya ketika saya usai menonton pentas Henrietta Horn dan Min Tanaka beberapa tahun lalu di Jakarta. Engkau dapat mengatakan bahwa kesan saya bersifat sangat pribadi. Mungkin engkau benar. Sebab, bagi saya, kita selalu menilai dalam perbandingan. Bertahun-tahun ini, setelah menonton sejumlah karya tari kita, saya berkesan bahwa para koreografer kita (juga para penari kita) tertarik-tarik oleh semacam avantgardisme di satu sisi, dan sejenis klasikisme di sisi lain; yang pertama, cenderung “mengotori” (barangkali padanan untuk “mendekonstruksi”) tarian; yang kedua, menarik tarian ke dalam pakem dan kebekuan. Atau, dengan kata lain: yang pertama berambisi meleburkan tarian ke dunia sehari-hari; yang kedua, menjadikan tarian cuma alibi bagi masa lampau.

Mode dan tren datang dan pergi, tapi Brenda Way, sang koreografer, memberi kita tiga nomor tari yang bertolak dari balet. Balet, khazanah lama itu, di tangan Puan Way, menjadi bukanlah sekadar balet, tapi sajian yang hidup. Saya katakan sajian, karena nomor-nomor itu tidak berpretensi untuk menyodorkan gagasan mentah, katakanlah gagasan “filosofis” (yang, mohon maaf, sering menghantui para koreografer kita). Koreografi Puan Way pada dasarnya adalah desain yang mengolah daya penari sebaik-baiknya, sementara itu para penari dapat memaksimalkan tubuh mereka dengan desain itu. Tarian dapat bergerak ke mana saja, termasuk merengkuh gerak sehari-hari, namun selalu kembali kepada disiplin dan tertib bentuk. Tertib: bukan sekadar aturan, tapi juga alas bagi penari untuk mengudar berbagai gerak musykil dan berbahaya. Desain tentu saja mengandung kepekaan akan unsur-unsur penunjang seperti cahaya dan musik. Tentang penggunaan musik, misalnya, saya catat: musik bukan hanya pakaian, tetapi juga bagian, dari raga tari. Terhadap musik, Puan Way juga dapat bersifat ironis, terhadap musik Laurie Anderson, misalnya. Ini terjadi pada nomor kedua, Unintended Consequences, yang buat saya adalah nomor terbaik pada malam itu: rancangan gerak khaotik yang secara perlahan, dengan percepatan yang terjaga, menuju rampak, rampak asimetris, dengan seorang penari yang seakan meloncat ke langit gelap pada penghujung.

Gema pertunjukan yang baik sering membuat kita gundah: kita merasa bukan hanya kehilangan para pementas, tapi juga was-was kapan kita mendapat pentas setingkat itu lagi. Itulah sebabnya kita merasa kosong—mengosongkan diri, seakan sehabis menempuh persetubuhan yang lembut sekaligus bergelora. Atau, kita terus bertanya-tanya, jangan-jangan lingkungan kesenian kita terlalu banyak bermimpi tentang pembaharuan dan karya besar, sehingga kita jarang sekali mendapatkan kesenian yang wajar, bersih dan genap—sesuatu yang baru saja diberikan Brenda Way dan kawan-kawan.

Minggu, 24 Januari 2010

Pantai Harapan (3)


Kusebut pantai harapan berkali-kali (entah sudah berapa kali, sedikit atau sebentar juga tak mengapa) karena dalam banyak kesempatan aku lebih dekat kepada lirik lagu pop—lagu yang agaknya menenggelamkan semua orang sehingga mereka berlaku sewenang-wenang kepada rasa dan bahasa.

Kusebut pantai harapan dalam tulisan yang mencoba tak berpamrih ini (pamrih apa sebenarnya, karena ini cuma sebuah prosa yang agak bergula?), supaya aku terayun-ayun antara yang dangkal dan yang tergali, antara yang sebentar dan yang abadi, antara yang tersentuh dan yang tak terjangkau, antara tenggelam dan mengapung, antara Mooi Indie dan seni yang memihak disharmoni.

Pantai harapan adalah pantai yang pernah kulihat—tepatnya, kualami—tapi yang entah kapan lagi datang. Pantai, atau pantai-pantai, itu tampaknya tak akan kudatangi lagi, tapi—semoga—tidak jarang mereka mendatangiku. Bayangan mereka, ya, hanya bayangan mereka saja. Pantai yang satu mendatangiku jika aku tiba di pantai yang lain, seakan mereka mencerminkan satu sama lain. Kalau aku datang di pantai ini, maka seakan pernah kulihat semua, seakan aku membawa pantai-pantai lain yang sebelumnya. Déjà vu.

Pantai harapan yang pertama adalah apa yang pernah disebut bum dalam masa kanakku. Sebagaimana orang lain di kota kampung halamanku, aku suka pergi ke situ di setiap hari Minggu atau malam bulan purnama. Dari situ kami dapat memandang ke seberang, ke Bali yang entah kapan dapat kami kunjungi. Pantai yang memberi kami kijing, semacam kerang bertentakel di muara sungai, yang lezat bila ditumis, kerang yang kiranya tak terdapat di pantai manapun.

Dari Gilimanuk ke Baleagung adalah jalan raya yang kurang lebih menyusuri pantai barat daya Bali. Pada umur 13 tahun aku menempuh jalan itu bersama teman-temanku di atas sebuah truk berbak terbuka dan sampailah kami di Pura Rambut Siwi, pura yang pertama kali kulihat. Pura kuna yang tegak di atas tebing batu, menghadap ke Lautan Hindia. Ini pun pantai harapan juga, yang bersambung gaung ke pantai-pantai berikutnya, dan inilah yang muncul sekarang—

Di pantai Bandealit di tepi Laut Selatan yang berbatas langsung dengan hutan raya taman margasatwa, aku melihat tapak-tapak kaki harimau kumbang; dan di muara sebuah anak sungai kami para murid-pekemah bisa mengambil kerang-kerangan yang dagingnya bisa kita hisap mentah-mentah.

Dua bulan setelah tsunami aku kembali menyusuri pantai timur Atjeh yang pernah kukunjungi dua tahun sebelumnya. Tak bisa mengenali lagi sebuah titik di Lhok Nga, pusat tamasya di hari Minggu, aku terbawa oleh dua teman terus ke selatan, ke arah Leupung. Di sebuah warung kami berhenti dan aku, dengan hanya bercelana dalam, menyisir tepi jalan menuju ke pantai lepas; terheran-heran aku ketika si teman membuntutiku, “Bung bisa ditangkap polisi syariah,” katanya kemudian.

Di pantai Mbweni, Zanzibar, di mana hotel yang kuhuni merawat sebuah kebun raya kecil dengan 150 jenis palem dan reruntuhan asrama sebuah misi Anglikan dari abad 19, aku suka memandang ke seberang sana, pagi atau sore hari, ke arah pantai timur Afrika; jika hari terang, akan tampak sebayang kerucut Kilimanjaro (yang puncaknya benar-benar kusaksikan dari dekat ketika sang pilot yang membawa kami dari Zanzibar ke Nairobi, berbaik hati merendahkan pesawat kecilnya ke situ).

Di pantai barat Rio de la Plata, di Buenos Aires bagian timur laut, di belakang pelabuhan udara Jorge Newberry, ambang musim gugur. Pandanganku mencari-cari pantai Uruguay di seberang sana, yang tentu saja tak pernah terlihat sampai kapan pun. Hanya gelap malam, dan kapal-kapal besar yang melintasi muara mahabesar yang mengarah ke Samudra Atlantik ini.

Memandang dari Chicago, seorang anak kampung seperti aku akan menganggap Danau Michigan sebuah lautan raya, karena tiadalah pantai seberang yang dapat terjangkau mata. Bertahun-tahun kemudian barulah danau itu benar-benar menjadi danau dalam cerapanku, ketika aku bisa melihat samar-samar kota angin itu, the Windy City, dari pantai sebuah kampus di Evanston, Illinois.

Di pulau Paros, rumah-rumah putih dan gang-gang kecil di antaranya seperti menampung-abadi cahaya matahari dan biru Laut Aegea, untuk melindungi acara makan siang—dan siesta—yang mungkin terpanjang di dunia. Hampir seperti mimpi, kami yang baru saja saling mengenal di House of Literature, harus segera kembali, melalui Athena, ke tanah air masing-masing (kecuali aku, yang harus ke kota pinjaman di Wisconsin).

Mengendarai sepeda “terpedo” dari Redondo Beach ke Hermosa Beach di California selatan pada awal musim panas, gugup karena masih harus belajar mengerem dengan memutar pedal ke belakang, lebih gugup lagi ketika seorang pengendara mabuk melajukan sepedanya zigzag. Di sisi yang satu, teras sejumlah hotel menempel ke badan jalan sepeda selebar lima meteran itu; di sisi yang lain, pantai Pasifik masih terasa lapang meski ditumpahruahi pelibur akhir pekan. Terbayang juga—kapan kita punya jalur sepeda di antara Kuta dan Canggu, misalnya, atau antara Anyer dan Carita?

Tapi pantai-pantai harapan adalah juga yang berada di masa depan. Barangkali yang akan mengulang pantai-pantai yang barusan kudedahkan ini. Gambar-gambar yang dilukis dengan rasa, dengan bayangan, mungkin pula bukan dengan nahu dan subyek kalimat yang benar.

Sejenak sebelum kami meninggalkan vila di Cibangbang itu, Pipip berkata, “Selamat tinggal, Kuda Laut. Selamat tinggal, fettucini. Selamat tinggal, kedai lezat. Selamat tinggal, ombak. Selamat tinggal, laut biru. Selamat tinggal, nasi goreng. Selamat tinggal, ikan bakar. Selamat tinggal, Tahun Baru. Selamat tinggal, pasir. Selamat tinggal, kelambu dan tempat tidur. Selamat tinggal, katak-katak dan kolam renang. Selamat tinggal....”

Mungkin Pipip sedih dan bahagia sekaligus. Terhadap pantai harapan, kami mungkin jatuh cinta tanpa menyadarinya. Mungkin, ucapan selamat tinggal adalah juga ucapan selamat datang; karena bagi kami, pantai harapan tidak berada di belakang, tapi di depan. Meski kami harus sampai di Jakarta lebih dahulu, dan menyimak lagu-lagu lama lagi.

Kamis, 14 Januari 2010

Pantai Harapan (2)


Kamar yang kami pesan berada di punggung bukit; kami bayangkan jauh hari sebelumnya bahwa dari titik ini kami dapat memandang laut lepas. Gerimis masih terasa deras ketika kami tiba. Dari ruang resepsionis kami harus menempuh kurang lebih enam puluh anak tangga yang meliuk teramat licin. Surup menjelang magrib membuat pendakian ini semakin tidak menggirangkan hati. Tiba di beranda, kami hanya dapat memandangi kerimbunan hijau di sekeliling, sawah kecil nun di sebelah timur dan jalan aspal yang memisahkan kompleks resor yang di perbukitan dan di pantai. Kecuali laut. Menyigi pelan-pelan ke dalam kamar tidur yang agak berdebu dan terasa sesak dan kamar mandi yang kurang melegakan (dan mesin pendingin yang tidak bekerja, padahal udara lembab luar biasa), kami putuskan pindah ke vila di dekat pantai, yang dua kali lebih mahal. Berhemat-hemat tidak akan membawa kami ke surga. Ini Cibangbang, yang harus kami buat masuk-akal untuk liburan tahun baru, biarpun secara singkat belaka. (Mohon maaf, gambar di samping ini bukan plang nama resor yang kami huni.)

Ombak memecah terdengar sepanjang malam, dan pasang membuat garis pantai seperti mendekat ke vila kami. Ini kamar lapang, yang bisa menyetimbangi hamparan luas di depan beranda, hamparan rumput dengan pohon-pohon nyiur dan tanaman perdu, kolam air yang berlumut dan kolam renang di bibir pantai. Dalam gelap malam, hempasan ombak terdengar lebih nyaring. Ranjang kami rendah dan berkelambu, sementara kamar mandi cukup luas dengan pancaran air lebih dari deras. Daya lelampu terpasang sangat terbatas, tak ada pula pesawat televisi—semua ini disengaja agaknya, supaya para tamu terpisah dari dunia luar. Ternyata tidak—paling tidak untuk dua malam menjelang tahun baru itu. Jalan raya masih terlalu dekat, di mana deru kendaraan hilang-hilang timbul. Kemudian, pantai sepanjang teluk dipadati pengunjung, yang datang dari desa-desa dan kota-kota kecil di sekitar Pelabuhan Ratu. Pada puncak malam tahun baru, mereka, yang sudah tumpah ruah sejak sore hari, berjamaah (tanpa imam) membunyikan klakson sepeda motor dan mobil, serta menyalakan petasan dan kembang api. Sungguh, dalam merayakan tahun baru, kota dan desa tak berbeda, Saudara!

Teluk mahaluas di hadapan kami menerima ribuan anak sungai dari pegunungan di hadapannya; di kompleks vila kami sendiri terdapat tiga anak sungai. Anak-anak sungai ini membawa aneka kerakal batuan malihan, yang selanjutnya ditebarkan merata oleh gelombang ke bibir pantai. Bila Pipip asyik menyongsong ombak pada pagi atau sore hari, seraya mengawasinya agar ia tak terlalu ke tengah saya coba mengamalkan diri lagi mengamat-amati aneka kerakal itu dengan naluri lama saya. Semuanya batuan malihan, metamorphic rocks—ini istilah dalam geologi, ilmu yang pernah saya dalami bertahun-tahun lalu. Yakni, batuan sedimenter yang dipanasi magma sehingga berubah rupa maupun komposisi pembentuknya. Sekis, pualam, rijang, misalnya. Pasir pantai berwarna legam, mestinya kaya dengan aneka mineral hitam rontokan dari berbagai batuan itu. Di pantai di hadapan vila kami, terdapat cadas-cadas runcing batuan sekis hijau, yang masih menampakkan sisa pelapisan batupasir. Sedikit ke sebelah barat, terdapat tebing konglomerat menjulang (di mana kadang-kadang terlihat pasangan berpacaran) yang juga sudah termalihkan; dan inilah sesungguhnya arti konglomerat: fragmen-fragmen butiran aneka batuan dalam matriks batupasir. Jalur pengunungan di utara kami, yang membentang sampai ke Ujung Kulon mestinya adalah museum hidup bagi kaum geolog. Tapi kini saya bukan lagi seorang geolog, melainkan turis.

Pantai-pantai yang berbatas langsung dengan perbukitan terjal selalu menarik hati kami. Menyusuri pantai seperti ini adalah seperti memecah diri antara terjun ke keluasan tanpa batas dan meninggi ke puncak yang tak diketahui. Terombang-ambing antara garis lurus cakrawala dan gegaris patah-patah runcing punggung bukit adalah semacam janji untuk memilih salah satu, tapi ternyata kita hanya berada di ambang, mengambang, mungkin berupaya mengembang, tanpa dapat memilih. Demikianlah jika kita berada di pantai Jawa Barat selatan atau Aceh timur, misalnya. Tapi kita agak bersedih barangkali ketika menyusuri apa yang bernama jalan propinsi yang membentang dari Pelabuhan Ratu ke Cibangbang. Seperti sudah saya katakan di bagian pertama, banyak rumah, warung, toko menempel sampai ke bibir jalan, yang membuktikan bahwa jalan raya itu hanya jalan desa biasa yang sekadar diaspal (dan bahwa desa-desa utama di sekujur Jawa berpusat pada himpunan rumah penduduk yang melekat ke badan jalan). Pandangan kita ke arah punggung bukit dan ke laut lepas akan terhalang, dan kita terpaksa mencari ruang sisa di antara deret bangunan untuk melayangkan pandang ke balik sana. Berkendara ke tempat tujuan adalah selalu menunggu di mana lagi, ya, di mana dan kapan lagi pantai dan lereng menampakkan diri. Seakan setiap langkah ke depan adalah menunggu kesempatan itu tiba. Pada sejumlah sejumlah simpang tiga terdapat tanda JALUR EVAKUASI—yang menunjuk jalan ke arah perbukitan. Tanda ini tentu agak membingungkan bagi orang luar seperti kami, tapi segera kami sadar bahwa itu upaya dini untuk menghadapi bencana tsunami (yang semoga tak akan pernah datang). Dan kami sampai juga ke pantai harapan di Cibangbang.

Dalam cahaya remang-remang kamar kami bisa puas bermain scrabble di atas ranjang pada malam tahun baru, sambil mengabaikan pesta klakson, petasan dan kembang api yang berlangsung di sejumlah pantai teluk mahaluas itu.

Selasa, 05 Januari 2010

Pantai Harapan (1)


Selepas pintu tol Ciawi kami tahu bahwa kami sama sekali tidak meninggalkan kalibut. Dan malam tahun baru tidak akan menjadi saat buat meneropong diri sendiri. Pastilah kami akan bertemu dengan sejumlah besar orang berusia muda-teruna kiranya, yang juga ingin merayakan pergantian tahun dengan pesta raya di sejumlah titik di pantai selatan itu—dengan lengking serunai atau klakson, pun dengan petasan dan kembang api. Sudah bertahun-tahun saya tidak melewati jalan ini, yang sebagaimana jalan-jalan antarkota (yang dalam peta disebut jalan negara) lain di Pulau Jawa, tidak menjadi lebih baik dalam dua dasawarsa terakhir (barangkali lebih lama lagi—jadi ke manakah perginya uang para pembayar pajak?). Barisan kendaraan terpaksa merayap, antara lain karena jalan ini harus melewati pasar-pasar di Cigombong, Cicurug dan Parungkuda. Kami bercanda dan bicara ringan saja supaya tidak merasa bosan. Toyota Yaris kami tentu tidak buruk, tapi tentu hanya sebuah mobil-kota, yang harus berpayah-payah untuk perjalanan selama itu. Dari jok belakang, Pipip, yang bukan kanak-kanak lagi, bercerita tentang Borat, si lelaki gawat Kazakhstan dalam sebuah film.

Sebelum Cigombong kami berbelok ke timur, menyusuri jalanan desa ke sebuah restoran di tengah sawah berundak. (Restoran ini gencar sekali mengiklankan dirinya dengan jejeran spanduk-berdiri selepas Ciawi.) Sayang sekali acara santap siang dengan menu Sunda ini bukan rehat yang menyenangkan, karena kami harus menunggu sampai sejam untuk siapnya sajian. Tapi rasa kenyang ini cukuplah untuk perjalanan tiga-empat jam berikutnya ke pantai harapan. Tidak jauh dari Pelabuhan Ratu mestinya, ke arah barat. Di mana laut dan perbukitan curam bertemu.

Sebelum Cibadak, kami memberanikan diri berbelok ke barat atau barat daya. Jalan berkelok-kelok, melewati punggungan bukit terjal. Namun dengan ini jarak bisa jauh diperpendek dan waktu dihemat. Mestinya saya pernah melewati jalan ini bertahun-tahun lalu, untuk sampai ke lembah Sungai Citarik—untuk berarung jeram dengan teman-teman. Kali ini kami cukup heran bahwa hamparan luas punggung bukit sebelum Cikidang banyak ditanami kelapa sawit. Kebun teh hanya muncul sesekali, dan juga kebun karet. Jalanan cukup sepi, meski banyak tikungan tajam berbahaya, dan tak sedikit kendaraan yang berpapasan dengan kami melaju dengan pengemudi yang lebih banyak menggunakan dengkul ketimbang kepala. Di pinggir-pinggir jalan banyak sekali pohon durian, yang lebat berbuah. Gerimis turun sepanjang jalan. Ketika melihat teluk dengan muka air yang berkilau-kilau nun di bawah sana, kami mengira kami akan sampai. Ternyata tidak.

Di jalan raya Pelabuhan Ratu, tidak lama setelah kami melewati Tenjo Resmi, wisma kepresidenan yang tampaknya sudah terhapus dari ingatan khalayak, masih berdiri restoran Padi-Padi, yang saya kunjungi 13 tahun lalu. Dulu restoran ini ramai sekali (karena, saya ingat, hidangan lautnya sangat mengesankan; juga, dulu, di sini banyak dipertontonkan ikan-ikan eksotik, antara lain ikan sebesar betis asal-Amazon yang bisa menjalarkan arus listrik), sekarang ia gersang dan sepi pengunjung. Berlomba dengan sepeda motor dan angkot, jalan raya menyempit kurang-lebih lima kilometer setelah pintu gerbang hotel Samudra Beach tanpa kami sadari. Peta buatan Indo Prima Sarana berskala 1:400.000 ternyata sungguh mengelabui. Sejak menjelang Cisolok sampai tempat tujuan, apa yang disebut jalan propinsi ternyata hanya semacam jalanan desa beraspal kasar, yang tak cukup lebar untuk dua mobil. Banyak rumah menempel pada bibir jalan. Tidak sedikit warung penjual durian dan rambutan. Kami mencari-cari restoran santapan laut yang meyakinkan (untuk makan malam nanti atau makan siang esok), betapa mata kami ragu pada semuanya. Tapi kami belum patah arang dengan si pantai harapan, yang sepintas terdengar—atau terlihat—seperti dalam lagu pop dari tiga-empat dasawarsa lalu.