Minggu, 18 Januari 2009

Padma Manusia (1)


Hanya ada dua jenis makhluk dalam kanvas Jumaldi Alfi di pameran ini yang segera kita yakini wujudnya: teratai dan manusia. Selebihnya adalah benda-benda, atau lebih tepat anasir, yang tak mudah takluk kepada mata kita.

Teratai itu, misalnya, biru dan tampak hidup meski tak berdaun. Kelopaknya mekar wajar sebagaimana padma biasa, Nelumbo nucifera atau Nymphaea sp. Namun kita segera curiga: benarkah ia teratai? Tangkainya seutas tali yang lentur menjulur dari sebuah pinggan yang terisi cairan kuning. Sekilas pandang, ia berada pada sebuah ruang berdinding kuning tua dan berlantai kehijauan. Tapi sungguhkah ini sebuah ruang? Di bagian kiri kanvas, kita melihat gumpalan merah tua: seperti kaktus, balon, pantat, atau apa lagi? Di bagian atas, gumpalan hitam: cairan yang meleleh pada dinding, atau kabut yang hendak jatuh di tengah ruang.

Alfi mengganggu proses pencerapan kita dalam dua langkah. Mula-mula ia memaksa kita menerima “teratai” itu. Ingatan dan pengetahuan kita tak mungkin membuat kita menamai benda itu sebagai “mawar” atau “payung” misalnya. Tapi ia bukan “teratai” yang sempurna, bukan pula yang cacat. Sosok itu cuma ganjil: ia membengkokkan citra kita tentang si bunga. Lalu, pada langkah kedua, Alfi membuyarkan tangkapan trimatra kita. Gumpalan—atau sebut saja leleran, jika kau keberatan dengan kesan volumetriknya—merah tua dan hitam itu mengacaukan kesan latar depan dan belakang.

Teratai: kembang yang disucikan dalam khazanah Hindu dan Buddhisme. Alas duduk Wisnu dan Buddha. Bentuk dasar Borobudur dan pelbagai seni rupa keagamaan. Sulit saya menolak simbol warisan ini ketika saya menemukan teratai atau sosok-mirip-teratai dalam sejumlah lukisan Alfi. Apalagi lukisan yang barusan kita perbincangkan berjudul Spirit, judul yang membebani kita dengan perkaitan erat antara citra (teratai) dengan konsep (ruh, jiwa, semangat, arwah). Dengan ragu-ragu kita bertanya: jika Alfi mengulang-ulang citra (mirip) teratai itu, apakah ia tengah mendedahkan “ada” sebagai bagian dari “kosong”, “hadir” sebagai mata rantai “jelma” dan “moksa”?

Namun teratai Alfi boleh juga dianggap sebagai teratai main-main. Jauh dari keagungan dan kesucian. Mana ada itu teratai bertangkai benang, tumbuh dari air di baskom, kecuali jika si pelukis memanjakan sifat kanak-kanak atau isengnya? Marilah kita bersikap rileks belaka: lukisan Alfi hanya mirip lukisan, namun lebih dekat kepada corat-coret. Ia mengulangi terus citra teratai, dalam pelbagai warna, wujud, dan ukuran, lantaran ia menyukainya. Seperti bocah yang belum bosan kepada mainannya. Atau seperti penyair yang gemar menggunakan kata “kucing” atau “pisau”. Suatu kali teratai Alfi begitu kecil dan lembut, hampir lolos dari tatapan mata (Tanpa Judul); kali lain, begitu besar dan kasar, menjajah mata (Homage to The Unknown Artist—Kippenberger).

Corat-coret: namun benarkah si pelukis benar-benar spontan, edan, nakal, dalam mendedahkan dirinya? Journey 1-3, misalnya, sepintas terlihat sebagai coreng-moreng pada dinding: warna kusam atau pucat, sekalian dengan bercak seperti lumut atau jamur, leleran air dan noda, dan kelupas laburan, lalu coretan (atau torehan) kata dan tanda yang tak jelas artinya. Tapi, setelah kita mengatasi rasa jengkel kenapa lukisan bisa centang-perenang demikian, kita tahu Alfi seperti membatalkan—atau menyesali, katakanlah menyetimbangkan—kekacauan bentuk itu dengan semacam tertib. Dalam Journey 2, misalnya, kita dapati teratai, lalu sketsa perempuan mendeprok dalam anatomi yang baik.

Coreng-moreng itu mungkin upaya untuk mengganggu keseriusan lukisan, untuk merampas kita dari apa yang dianggap baik dan benar dalam kanvas. Tapi bukankah upaya demikian sudah menjadi salah satu arus penting dalam khazanah seni rupa dunia mutakhir? Tak sulit mengenali jejak, misalnya, Cy Twombly dan Jean-Michel Basquiat dalam Alfi. Torehan, corengan, leleran warna dan tetanda—baik yang terdorong kegilaan dan kepekaan urban dari Basquiat, maupun yang dilandasi sikap hati-hati dan pencarian ke masa klasik dari Twombly—terbawa nyata dalam karya pelukis kelahiran Lintau, Sumatera Barat, 1973 ini. Namun, kita segera melihat bedanya. Dibandingkan Basquiat, ia lebih hemat dalam mencorat-coret, juga warnanya lebih pucat dan teduh. Ia juga menolak kecenderungan monokrom dan “minimalisme” Twombly.

Dalam coreng-morengnya, terasa Alfi memainkan kesan tiga matra—hal yang tak terdapat dalam Twombly dan Basquiat. Sosok padma dalam Journey 9 dan tangan dalam Journey 4 sangat berkesan volumentrik: dan kita mungkin menuntut apa tak sebaiknya warna yang dominan itu menjadi latar belakang. Beranjak ke sejumlah lukisan lain yang sedikit banyak juga belepotan, kian terasa bahwa kombinasi warna dan garis itu tergarap sungguh-sungguh demi kedalaman dan keteduhan tertentu.

Warna biru (Journey 9), merah-oranye (Journey 7), coklat-ungu (Bijak) yang hemat barik itu mungkin saja memberi kita tamasya warna yang sama dengan lukisan abstrak. Namun begitu terhanyut dalam tualang itu, kita segera bertanya apa yang kita lihat sebenarnya. (Kau berkata, lukisan abstrak membuat kita terseret sepenuhnya, tanpa bertanya perihal representasi dalam kanvas.) Itu pojok dinding, begitu kita berkata barangkali tentang Journey 7, karena tiga garis bertemu, dan kita mengenali perspektif. Namun kesan ini segera longsor manakala kita menyadari adanya sehelai benang putih sungguhan terentang mahalurus. Lalu, segi tiga ceper yang hitam kabur—ah, tidak, ia bervolume juga, dan membungkus sosok (seperti) orang jongkok.

Ruang yang dikacaukan dengan bidang dan garis, demikianlah kita dapat berkata tentang watak lukisan Alfi. Pandang Homage to The Unknown Artists—O’Keefe, misalnya: wujud wungkul seperti patung—atau mekar seperti kembang (alegori terhadap si Georgia, bukan?)—berwarna kelabu, namun segera kebungaan atau kepatungan ini batal oleh garis merah lurus di tengahnya, lalu oleh gambar mirip tangga di puncaknya.

Lebih lanjut lagi, wujud-mirip-patung ini boleh jadi nampak seperti tempelan kertas pada latar belakang, alas, yang hitam transparan. Pada Bertepuk Sebelah Pantat, dua bokong beradu, tapi kita boleh mengira itu cuma gambar pada dinding. Ataukah pantat yang juga tampak sebagai dengkul itu terbuat dari semacam angin atau kabut yang segera lenyap? Dan rasa penasaran kita berkepanjangan lantaran terlihat sebuah telapak tangan putih yang membayang tipis entah di latar depan atau latar belakang. (Bersambung)

Selasa, 06 Januari 2009

Bukan Hanya Seni dan Birahi

(ditulis atas permintaan majalah Esquire Indonesia; dimuat pada edisi Januari 2009)

Kepada saya ditanyakan bagaimana masa depan kesenian kita jika kita jadi memiliki UU Pornografi yang karut-marut itu.

Benar, kesenian akan terkena dampak, namun kaum seniman pertama-tama tidaklah hendak membela kepentingan mereka sendiri. Mereka adalah warga negara yang menyadari bahwa dengan undang-undang itu, kreativitas bangsa kita akan terancam, kalau bukan susut sama sekali.

Kaum seniman berpendapat bahwa UU Pornografi tidak mencerminkan kesadaran hukum maupun tertib-hukum di satu pihak, dan mengabaikan kesadaran budaya di lain pihak.

Bila anda mengira seniman adalah orang yang suka mengumbar kebebasan diri-pribadi demi mencapai ketinggian mutu karyanya, maka anda keliru besar. Memang sudah lama kita dijajah oleh citra romantik bahwa seniman adalah (untuk mengutip kata-kata Chairil Anwar) semacam binatang jalang.

Sebaliknya, kesenian adalah sebuah disiplin. Tidak ada sastrawan yang akan menghasilkan sastra bermutu tinggi jika dia tak mempelajari hukum-hukum bahasa. Tidak ada pelukis yang mampu melukis cemerlang jika dia tak menguasai anatomi tubuh manusia. Dan tidak ada film yang enak ditonton jika sutradaranya mengabaikan teknik sinematografi.

Sebagaimana ilmuwan, seniman juga bersandar pada etika dan tradisi yang dibangun para pendahulunya. Mereka harus berdisiplin, supaya dapat menghasilkan bentuk yang terbaik. Mereka bereksperimen, untuk memecahkan kebekuan. Bila ilmu membuat kita lebih baik memahami alam, maka seni membuat kita lebih berani mengolah kehidupan.

Demikianlah, kesenian bukan hanya ekspresi pribadi si seniman, melainkan juga ekspresi sosial. Bersama puisi Chairil Anwar, bahasa Indonesia kita menjadi modern, menjadi bahasa yang hidup di abad 20. Bersama lukisan Affandi dan Sudjojono, kita melihat kembali perjalanan kebangsaan kita yang penuh godaan. Bila kita tak tak sempurna, kesenian tidak malu-malu mengungkap kembali cacat kita. Bila kita memang gemilang, kesenian menyajikannya kembali dengan tak terduga-duga.

Sementara itu, kesenian yang berakar ke masa lampau juga terus hidup, menjadi inspirasi bagi seni modern kita yang mendunia, sekaligus membuktikan bahwa puak-puak pendukungnya menyumbang tanpa henti dalam proses menjadi Indonesia.

Jika tidak ada bangsa tanpa kebudayaan, apa jadinya jika kita memiliki sebuah undang-undang yang justru menggerogoti sumber-sumber penciptaan budaya itu sendiri?

Itulah sebabnya kaum seniman dalam tiga tahun terakhir ini menyatukan diri ke dalam barisan yang menolak UU Pornografi.

Sungguh sukar dipercaya, para penyusun UU Pornografi sudah menjadi pornografer itu sendiri tanpa mereka sadari: mereka menciptakan situasi—atau mengangan-angankan—bahwa pornografi bisa muncul dari mana-mana kapan saja, bahkan dari khazanah yang tidak memungkinkan adanya pornografi. Tengoklah pasal 14, misalnya.

Menurut pasal tersebut, apa yang disebut “materi seksualitas” dapat dibuat, disebarluaskan, dan digunakan demi kepentingan seni dan budaya, adat istiadat dan ritual adat tradisional.

Sementara itu, dengan mengacu pada pasal-pasal lain, pasal 1 misalnya, kita dapat mengatakan bahwa apa yang disebut “materi seksualitas” itu tiada lain dan tiada bukan ketimbang pornografi itu sendiri.

Apakah yang kiranya mereka bayangkan sebagai materi seksualitas itu ketika merancang pasal yang menggelikan itu? Tubuh manusia telanjang dalam lukisan kontemporer? Adegan maha-mesra jantan-betina dalam sepotong novel? Lenggak-lenggok penari perempuan di atas panggung? Upacara pendewasaan dari sebuah puak di Indonesia Timur? Bahu terbuka sang mempelai dalam upacara perkawinan Jawa?

Demikianlah, para legislator itu telah merendahkan kaum seniman dan mereka yang menjalankan budaya daerah sebagai pengguna “materi seksualitas” alias pelaku pornografi—meski mereka harus dikecualikan dari warga negara biasa yang dianggap menjalankan pornografi tanpa alasan.

Tentu saja, para legislator itu telah keliru besar. Seorang pelukis, misalnya, yang menggarap anatomi—dan untuk ini ia harus menggunakan model telanjang, yakni proses yang wajar saja dalam sejarah kesenian di mana-mana—tidak dapat dikatakan menggunakan materi seksualitas. Persis seorang dokter, yang juga berurusan dengan ketelanjangan ketika bersoal-jawab dengan pasiennya.

Sementara itu, dalam berbagai kebudayaan lokal kita, tubuh itu suci. Itulah sebabnya masing-masing membangkitkan tata cara tersendiri untuk menyajikan kesucian itu. Menyinari dan menyingkapkan bagian tubuh tertentu, misalnya, justru memperlihatkan tubuh manusia sebagai cerminan kuasa ilahi. Sama sekali tidak ada “materi seksualitas” atau anasir pornografis di situ.

Buru-buru saya katakan di sini bahwa seniman bukanlah warga yang tidak bisa berbuat keliru. Mereka tahu bahwa mereka bisa melanggar hukum, namun tentu saja hukum tidak bisa didasarkan secara sewenang-wenang pada prinsip “melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat” (pasal 1).

Apakah kita sudah begitu tumpul—tak mampu melihat lagi perbedaan antara masalah susila dengan hukum? Anak-anak kita dengan bebas membeli rokok dan minuman keras di warung dan toserba; para pelanggar lalu lintas bisa “berdamai” dengan pak polisi; dan para pejabat mencuri uang negara agar mereka bisa tampil mentereng. Semua itu pelanggaran hukum belaka, bukan pelanggaran tata susila. Dan para legislator itu masih juga mengatakan bahwa kita adalah bangsa dengan “kepribadian luhur”?

Saya menjamin bahwa seni tak akan lebur dalam ritual berpura-pura memiliki kepribadian luhur itu. Seperti telah saya katakan, seni membuat kita lebih berani mengolah kehidupan, termasuk mengenali kelemahan kita sendiri. Bertolak dari prinsip bahwa manusia jauh dari sempurna, seni menyatakan kritik dan cara pandang baru terhadap kehidupan. Dengan demikian, seni juga memelihara kreativitas sosial kita.

Karena itulah kaum seniman juga berjuang untuk tertib-hukum. Sebab hanya tertib-hukum yang menjamin kebebasan sipil, dan hanya kebebasan sipil yang menjamin kreativitas di segala bidang bidang. Karena itulah mereka menyatukan diri ke dalam barisan yang menentang UU Pornografi.

Para legislator itu tampaknya berhasil meyakinkah masyarakat, bahkan mungkin sebagian besar komponen masyarakat, bahwa siapapun yang menentang UU tersebut adalah mereka yang bejat akhlaknya, mendukung pornografi, dan membiarkan generasi muda terjerumus ke dalam lembah kecabulan.

Jelaslah kaum seniman menginginkan pornografi diberantas sampai ke akar-akarnya—tetapi tidak dengan sebuah undang-undang yang menyemaikan intoleransi, memangkas daya cipta masyarakat, dan membunuh kemajemukan.

Jika saya ditanya apakah UU Pornografi akan memiskinkan kesenian sekarang, maka saya akan menjawab tidak, sebab kaum seniman kita sekarang sudah terbiasa mengatasi keterbatasan, penindasan, dan berbagai belenggu yang lain. Mereka juga sudah piawai menciptakan metafor yang bisa mengatasi setiap sensor dan persekusi.

Jadi, jelaslah mereka tidak memperjuangkan kepentingan kesenian itu sendiri. Mereka tahu, misalnya, bahwa pasal 14 akan merusakkan kebebasan sipil dan kekayaan budaya itu sendiri. Merumuskan sebuah khazanah lokal sebagai memerlukan sarana “materi seksualitas” untuk kelangsungannya adalah etnosentrisme yang membahayakan.

UU Pornografi akan menyemaikan fundamentalisme di mana-mana: akan lebih banyak puak yang atas nama ikatan primordial mengekalkan apa yang mereka sebut nilai-nilai asli untuk melawan negara pembuat hukum yang telah merendahkan—seraya berpura-pura melindungi—“adat istiadat” dan “ritual tradisional” mereka.

Akan lebih marak lagi fundamentalisme yang demikian itu sebab UU Pornografi memberi peluang, berdasarkan pasal 21, bagi peran serta masyarakat dalam mencegah “pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.” Saya pastikan, pasal ini akan mendorong “masyarakat”—yang masih harus banyak belajar tentang hak asasi manusia—mengambil alih peran penegak hukum, dan melakukan “pencegahan” dengan cara yang brutal. Demikianlah, konflik antar-puak, yang bersikeras mengekalkan tata nilai masing-masing itu, akan semakin terbuka.

UU Pornografi bukan sekadar tidak menjamin keadilan, kesetaraan dan tertib hukum. Ia juga perlahan-lahan mematikan sumber-sumber kreativitas kita berdasarkan asas palsu bahwa bangsa kita punya kepribadian luhur. Masya Allah!