Kamis, 21 Mei 2009

Intermezzo: Sastra Dunia?


Kawan, kudengar lagi sejumlah sejawatmu menganjurkan kita, para warga sastra, untuk menyoalkan sastra dunia; menyoalkan secara positif tentu. Apa yang bisa petik dari sastra dunia, apa yang bisa kita berikan kepada sastra dunia. Tapi, saya kira, yang mereka maksudkan sebagai sastra dunia itu adalah best-selling books belaka. Sastra dunia yang mereka tunjuk-tunjuk itu, tanpa mereka sadari, ternyata sempit sekali.

Dan kisaran buku laku sastra dunia yang mereka aspirasikan itu sungguh jauh lebih sempit lagi. Yaitu buku-buku menurut pasar Amerika Serikat, yang juga mengimbas ke sejumlah toko buku di Jakarta dan Singapura. Misalnya saja, karya pemenang Nobel asal Amerika Selatan atau Turki. Atau nama-nama yang juga sempat berbau harum karena tersangkut “wacana pascakolonial”—seperti para penulis asal India, tapi jelas bukan Danilo Kis. Juga bukan, misalnya, Roberto Bolaño, yang saya kira tak akan laku di negerimu.

Nama-nama yang hanya muncul di jurnal-jurnal dan majalah-majalah kecil dan buku-buku keluaran penerbit kecil dan university press, sudah pasti tak masuk tangkapan para “pengagum sastra dunia” itu.

Pasar tentu tidak jelek, tapi perlu kita curigai habis-habisan perangainya. Di negeri di mana saya tinggal sekarang, banyak sekali yang mestinya bisa laku tapi ternyata tidak. Misalnya saja Le Clézio, yang barusan memenangkan Nobel, jelas tiada bergema. Para pemenang Premio Rómulo Gallegos dan Prix Goncourt juga tidak berbunyi. Banyak pemenang Booker Prize juga cuma numpang permisi. Kesimpulan saya: sastra dunia itu ditentukan oleh pasar, tapi pasar juga terbagi-bagi menurut wilayah bahasa dan sejarah sastra terkait. Tidak ada pasar dunia, dalam arti pasar yang bisa bertukar-seimbang mata jualan sastra di masing-masing ranah bahasa-bahasa eks-imperia, jangankan bahasa-bahasa di luar itu.

Sastra dunia itu luas tak terhingga, Kawan. Dan kalau kita pasrah kepada pasar, maka kita akan perlahan membutakan diri. Sebab, dalam apa yang bernama sastra dunia itu lebih banyak yang tersembunyi. Yang di pasar itu cuma puncak gunung es. Untuk mencari tubuh gunung es itu, sebagian saja, sebagian kecil bahkan, kita memerlukan cara dan muslihat tersendiri (esok kita diskusikan soal ini). Di tanah air kita, di mana universitas sangat terbelakang dan perpustakaan sejati tak kunjung ada, kita semakin tumpul dalam mencari apa-apa yang tersembunyi itu.

Singkatnya, engkau harus menemukan sastra dunia menurut kebutuhanmu sendiri. Jangan jadi pengagum, jadilah pencuriga. Kalau engkau mengelirukan sastra dunia dengan best-selling books, engkau seperti katak hendak jadi lembu. Kita harus menyempitkan sastra dunia, tapi menyempitkannya dengan sadar, lebih tepatnya menentukan fokus perhatian setajam-tajamnya—memilih model-model yang bisa tunduk ke dalam aspirasi sastra kita. Dan model-model itu bisa jadi datang dari nama-nama—tepatnya, karya-karya—tersembunyi, yang tidak ada di pasar; bisa juga sesuatu yang sama sekali ada di bawah hidungmu, di kampung sendiri dan kampung-kampung tetangga, yang sayang sekali tak pernah kautengok.

Dan akhirnya, Kawan, janganlah memproyeksikan dirimu ke sastra dunia. Maksudku, janganlah memantas-mantaskan dirimu berdiri di sebelah para penulis best-selling itu. Karyamu yang cemerlang adalah karya yang kaubuat ketika engkau memusatkan diri kepada bahasamu, materimu yang paling dasar. Jangan jadi pengagum, karena pengagum itu hanya berjarak seujung rambut dengan pengekor. Sudah ada sejumlah sahabatmu yang menjadi pembuntut novelis Kolombia itu; ada, misalnya, sejenis pengulas sastra yang kepalanya dipenuhi karya si Kolombia (tentu lewat terjemahan Indonesia), sehingga ia tergelincir oleh sastra dalam bahasanya sendiri: ia tidak sanggup membaca—atau ia memang tidak pernah membaca.

Maksudku, betul-betul membaca. Bukan membolak-balik halaman buku. Maka, untuk sementara ini, mari kita bunuh si sastra dunia.