Senin, 29 Juni 2009

Intermezzo: Catatan Tigor Ioannes Hutahaean (1)


Pulang dari forum baca-puisi—atau pertemuan penyair—di Guadalajara dan Belo Horizonte, penyair Tigor Ioannes Hutahean menulis di catatan hariannya. (Seperti biasa, setelah penerbangan panjang, asam lambungnya naik, mengganggu pankreasnya dan membuat migrennya kambuh berat, dan ia sudah tiga hari ini banyak berbaring di tempat tidur sambil melengketkan diri pada saluran Animal Planet di televisi. Makanan utamanya adalah pangsit kuah dan tahu baso yang dipesannya dari Bakmi Gajah Mada; ini sudah tentu makanan yang keliru bagi penderita tukak lambung kronis.) Ia tidak ingat tanggal dengan baik, ia hanya merasa hari itu hari Sabtu. (Adapun kita juga tidak tahu sudah berapa lama ia tiba kembali di tanah air; tapi kita tahu penanggalan—18 Agustus sebuah tahun kabisat—ketika ia menulis catatan di bawah ini):

Manuel Lazaro Blanco, teman yang paling menjengkelkan. Ia pantas dipanggil musuh. Atau iblis. Bahkan anjing. Aku hampir meninju mukanya ketika ia berkata bahwa Ubud termasuk desa paling membosankan di dunia. Ia nyaris meludahiku ketika kubilang Cuba Libre bagiku terasa seperti kencing kuda. Sayang ia penyair yang cemerlang. Dan ia tampan pula: dari samping ia tampak seperti Kristus (bukan Lazarus!); dari depan, ia mirip Gael Garcia Bernal, tapi dengan rambut kriwil menjuntai ke bahu. Seusai membaca puisi di panggung, cewek-cewek selalu menguntitnya (meski suaranya terlalu ringan, nyaris tak bisa menggemakan puisinya). Pernah aku mengira bahwa para pengagum itu hanya ingin menghisap ototnya, tapi, ternyata beberapa sungguh-sungguh mampu menceritakan kembali sajak-sajaknya (bukan kebetulan, sebuah sajaknya pernah dipakai sebagai pembuka film Anjing Oaxaca garapan Estanislao Schramm, yang melambung tinggi di antara kaum indie). Sayang ia, sekali lagi, penyair cemerlang. Maaf, aku sedikit keliru. Puisinya cemerlang, sedangkan penyairnya sendiri, orangnya maksudku, layak dilupakan. Bagiku, puisinya seperti menggabungkan pengaruh Günter Eich, Amir Hamzah, dan Nicanor Parra. Bagaimana mungkin? Tapi begitulah yang kuresapkan sendiri, paling tidak dalam terjemahan Inggrisnya. (Terima kasih kepada Charles Damien Hass, yang sangat berhasil menerjemahkan Amir Hamzah ke Inggris, terjemahan yang kiranya mencapai para tukang syair seperti Manuel Lazaro Blanco.) Ia, yang lahir dan bermasa kanak di Uruguay dan kini tinggal di wilayah Costa Brava, Spanyol, bagiku tergolong penyair pelanduk. Aku benci sekali bahwa tahun depan kami akan bertemu lagi di Cape Town atau Macau.

Ya, penyair pelanduk. Aku bertanya-tanya siapa penyair pelanduk di negeriku? Aku tiba-tiba tersadar bahwa kaum penyair di negeriku, sebagian besar mereka, dapat digolongkan sebagai burung merak dan bengkarung. Aku harap diriku tidak termasuk ke dalam golongan manapun, sebab aku layak dilupakan. Karyaku pantas dilupakan. Yang aneh, para penyair yang merasa karyanya akan kekal-abadi itu selalu saja cemburu padaku. Setahun ini dua-tiga kubu pengulas bertengkar seru tentang buku puisiku yang terakhir. Percayalah, pujian hanya membuatku mual, dan kecaman hanya membuatku tertawa ngakak seperti iblis terakhir.

(bersambung)