Minggu, 04 Oktober 2009

Darah (2)


Bertahun-tahun lalu saya menyadur sebuah sajak karya Kryzysztof Karasek. (Sajak itu, pernah termuat di sebuah harian Yogyakarta, juga di sebuah antologi stensilan terbitan Dewan Kesenian Jakarta, yang saya temukan kembali baru-baru ini.) “Darah Kata,” demikianlah judul sajak itu. (Saya tak berhasil menemukan kembali terjemahan Inggris sajak si penyair Polandia itu, yang termuat di jurnal Partisan Review sekitar akhir 1980-an.)

Menurut sajak saduran (yang berbentuk puisi-prosa) itu, “Darah kata menghilang jika darah sebenarnya tumpah ke jalan-jalan.” Lebih lanjut lagi, jika darah kata menghilang, maka buku-buku pelajaran menjadi pucat, dan koran-koran menderita anemia.

Saya tertegun membaca kembali baris-baris itu. Dulu (ketika usia saya masih sangat muda), barangkali, ketika menyadur sajak itu, saya mengira bahwa “perjuangan” lebih penting daripada “kesenian,” dan bahwa “realitas” lebih kuat ketimbang bahasa. Kini saya menganggap darah kata tidak lebih lemah ketimbang degup darah dari tubuh kita.

Menurut sajak saduran itu lagi, “Betapa tak indah darah kata itu, sebab ia telah menghidupi puisi dan tata bahasa.” Pada bagian akhir, sajak itu menganjurkan, “Belajarlah mengendus bercak-bercak darah yang membekasi halaman-halaman buku sejarah dan buku tata bahasamu. Belajarlah membaca jeritan-jeritan kalimat yang ditindas, kalimat-kalimat yang pernah berkobar oleh aliran darah kata.”

Kini, pada waktu membaca puisi atau tulisan apapun yang menderita kurang-darah, kita bisa menyimpulkan bahwa si penyair adalah dia yang terbelah oleh bahasa dan realitas, oleh kata dan pengalaman. Dia mengira bisa memperalat bahasa demi menyampaikan keharuannya; dia mendesakkan perihal pribadinya sebagai perihal umat manusia. Tapi jika demikian halnya, maka dia pun terbunuh oleh bahasa; keharuannya adalah milik dia sendiri, dan degup darahnya tak kunjung menjadi darah kata.

Jika darah sejati tumpah ke jalan-jalan, maka keharuan saja tidak cukup. Di tengah leluka umat manusia, di depan darah yang menjalar ke kaki kita, kita menunda puisi dan menyingsingkan lengan baju. Jika saatnya tiba, kita mencari puisi lagi untuk menghayati leluka umat manusia. Untuk itulah puisi memerlukan darah kata, darah yang hanya bisa dihidupkan jika kita tak memperalat bahasa, hanya jika si penyair menyelami kembali tradisi sastra, yang hadir jauh lebih dahulu ketimbang dia.

Ketika si penyair memandang masa mudanya, dia pun perlahan-lahan tahu bahwa darah kata tak bertentangan dengan darah yang tumpah di jalanan. Mungkin dia merasa bersalah tak bisa terlibat dalam semua momen bersejarah di dunia ini. Tapi dia menyimak dalam-dalam—untuk mengutip Karasek—“kalimat-kalimat yang ditindas,” seraya mengabaikan diri-penyairnya dan hidup belaka sebagai orang ramai, dan, pada saat yang semestinya, pulang ke laboratorium untuk menemukan—menghidupkan—kembali darah kata.