Selasa, 05 Januari 2010

Pantai Harapan (1)


Selepas pintu tol Ciawi kami tahu bahwa kami sama sekali tidak meninggalkan kalibut. Dan malam tahun baru tidak akan menjadi saat buat meneropong diri sendiri. Pastilah kami akan bertemu dengan sejumlah besar orang berusia muda-teruna kiranya, yang juga ingin merayakan pergantian tahun dengan pesta raya di sejumlah titik di pantai selatan itu—dengan lengking serunai atau klakson, pun dengan petasan dan kembang api. Sudah bertahun-tahun saya tidak melewati jalan ini, yang sebagaimana jalan-jalan antarkota (yang dalam peta disebut jalan negara) lain di Pulau Jawa, tidak menjadi lebih baik dalam dua dasawarsa terakhir (barangkali lebih lama lagi—jadi ke manakah perginya uang para pembayar pajak?). Barisan kendaraan terpaksa merayap, antara lain karena jalan ini harus melewati pasar-pasar di Cigombong, Cicurug dan Parungkuda. Kami bercanda dan bicara ringan saja supaya tidak merasa bosan. Toyota Yaris kami tentu tidak buruk, tapi tentu hanya sebuah mobil-kota, yang harus berpayah-payah untuk perjalanan selama itu. Dari jok belakang, Pipip, yang bukan kanak-kanak lagi, bercerita tentang Borat, si lelaki gawat Kazakhstan dalam sebuah film.

Sebelum Cigombong kami berbelok ke timur, menyusuri jalanan desa ke sebuah restoran di tengah sawah berundak. (Restoran ini gencar sekali mengiklankan dirinya dengan jejeran spanduk-berdiri selepas Ciawi.) Sayang sekali acara santap siang dengan menu Sunda ini bukan rehat yang menyenangkan, karena kami harus menunggu sampai sejam untuk siapnya sajian. Tapi rasa kenyang ini cukuplah untuk perjalanan tiga-empat jam berikutnya ke pantai harapan. Tidak jauh dari Pelabuhan Ratu mestinya, ke arah barat. Di mana laut dan perbukitan curam bertemu.

Sebelum Cibadak, kami memberanikan diri berbelok ke barat atau barat daya. Jalan berkelok-kelok, melewati punggungan bukit terjal. Namun dengan ini jarak bisa jauh diperpendek dan waktu dihemat. Mestinya saya pernah melewati jalan ini bertahun-tahun lalu, untuk sampai ke lembah Sungai Citarik—untuk berarung jeram dengan teman-teman. Kali ini kami cukup heran bahwa hamparan luas punggung bukit sebelum Cikidang banyak ditanami kelapa sawit. Kebun teh hanya muncul sesekali, dan juga kebun karet. Jalanan cukup sepi, meski banyak tikungan tajam berbahaya, dan tak sedikit kendaraan yang berpapasan dengan kami melaju dengan pengemudi yang lebih banyak menggunakan dengkul ketimbang kepala. Di pinggir-pinggir jalan banyak sekali pohon durian, yang lebat berbuah. Gerimis turun sepanjang jalan. Ketika melihat teluk dengan muka air yang berkilau-kilau nun di bawah sana, kami mengira kami akan sampai. Ternyata tidak.

Di jalan raya Pelabuhan Ratu, tidak lama setelah kami melewati Tenjo Resmi, wisma kepresidenan yang tampaknya sudah terhapus dari ingatan khalayak, masih berdiri restoran Padi-Padi, yang saya kunjungi 13 tahun lalu. Dulu restoran ini ramai sekali (karena, saya ingat, hidangan lautnya sangat mengesankan; juga, dulu, di sini banyak dipertontonkan ikan-ikan eksotik, antara lain ikan sebesar betis asal-Amazon yang bisa menjalarkan arus listrik), sekarang ia gersang dan sepi pengunjung. Berlomba dengan sepeda motor dan angkot, jalan raya menyempit kurang-lebih lima kilometer setelah pintu gerbang hotel Samudra Beach tanpa kami sadari. Peta buatan Indo Prima Sarana berskala 1:400.000 ternyata sungguh mengelabui. Sejak menjelang Cisolok sampai tempat tujuan, apa yang disebut jalan propinsi ternyata hanya semacam jalanan desa beraspal kasar, yang tak cukup lebar untuk dua mobil. Banyak rumah menempel pada bibir jalan. Tidak sedikit warung penjual durian dan rambutan. Kami mencari-cari restoran santapan laut yang meyakinkan (untuk makan malam nanti atau makan siang esok), betapa mata kami ragu pada semuanya. Tapi kami belum patah arang dengan si pantai harapan, yang sepintas terdengar—atau terlihat—seperti dalam lagu pop dari tiga-empat dasawarsa lalu.