Senin, 01 Februari 2010
Gema Para Penari
Menonton sebuah pentas yang baik, kita seperti mengosongkan diri. Ketika pertunjukan selesai, kita merasa lega luar biasa. Tapi sekaligus juga merasa kurang: kenapa ia, pentas itu, harus berakhir sekarang, kenapa tidak bertambah lagi. Kita merasa lapar, lapar akan sosok-sosok penampil itu lagi, juga semuanya—tata gerak, tata cahaya, tata musik. Mengalami sebuah pentas tari yang baik ibarat mengalami persetubuhan yang tulus. Setelah orgasme, kita merasa kosong. Dan diri yang kosong bukanlah diri yang percuma. Kekosongan itu akan terisi lagi oleh gema, bayangan, rasa—tilas dari dia yang kita pergauli. Kita merasa lega, tapi tiba-tiba merasa sedikit was-was, benarkah dia masih akan bersama kita lagi. Kekasih kita. Pentas yang baru saja kita saksikan.
Pengalaman itulah yang saya dapat akhir Januari lalu ketika menatap pentas kelompok ODC/Dance yang datang dari San Francisco, di sebuah teater blackbox di Jakarta Selatan. Ketika saya menuliskan kalimat-kalimat ini, lelaku para penari masih bergema, dan masih akan bergema pada hari-hari mendatang. Seperti halnya ketika saya usai menonton pentas Henrietta Horn dan Min Tanaka beberapa tahun lalu di Jakarta. Engkau dapat mengatakan bahwa kesan saya bersifat sangat pribadi. Mungkin engkau benar. Sebab, bagi saya, kita selalu menilai dalam perbandingan. Bertahun-tahun ini, setelah menonton sejumlah karya tari kita, saya berkesan bahwa para koreografer kita (juga para penari kita) tertarik-tarik oleh semacam avantgardisme di satu sisi, dan sejenis klasikisme di sisi lain; yang pertama, cenderung “mengotori” (barangkali padanan untuk “mendekonstruksi”) tarian; yang kedua, menarik tarian ke dalam pakem dan kebekuan. Atau, dengan kata lain: yang pertama berambisi meleburkan tarian ke dunia sehari-hari; yang kedua, menjadikan tarian cuma alibi bagi masa lampau.
Mode dan tren datang dan pergi, tapi Brenda Way, sang koreografer, memberi kita tiga nomor tari yang bertolak dari balet. Balet, khazanah lama itu, di tangan Puan Way, menjadi bukanlah sekadar balet, tapi sajian yang hidup. Saya katakan sajian, karena nomor-nomor itu tidak berpretensi untuk menyodorkan gagasan mentah, katakanlah gagasan “filosofis” (yang, mohon maaf, sering menghantui para koreografer kita). Koreografi Puan Way pada dasarnya adalah desain yang mengolah daya penari sebaik-baiknya, sementara itu para penari dapat memaksimalkan tubuh mereka dengan desain itu. Tarian dapat bergerak ke mana saja, termasuk merengkuh gerak sehari-hari, namun selalu kembali kepada disiplin dan tertib bentuk. Tertib: bukan sekadar aturan, tapi juga alas bagi penari untuk mengudar berbagai gerak musykil dan berbahaya. Desain tentu saja mengandung kepekaan akan unsur-unsur penunjang seperti cahaya dan musik. Tentang penggunaan musik, misalnya, saya catat: musik bukan hanya pakaian, tetapi juga bagian, dari raga tari. Terhadap musik, Puan Way juga dapat bersifat ironis, terhadap musik Laurie Anderson, misalnya. Ini terjadi pada nomor kedua, Unintended Consequences, yang buat saya adalah nomor terbaik pada malam itu: rancangan gerak khaotik yang secara perlahan, dengan percepatan yang terjaga, menuju rampak, rampak asimetris, dengan seorang penari yang seakan meloncat ke langit gelap pada penghujung.
Gema pertunjukan yang baik sering membuat kita gundah: kita merasa bukan hanya kehilangan para pementas, tapi juga was-was kapan kita mendapat pentas setingkat itu lagi. Itulah sebabnya kita merasa kosong—mengosongkan diri, seakan sehabis menempuh persetubuhan yang lembut sekaligus bergelora. Atau, kita terus bertanya-tanya, jangan-jangan lingkungan kesenian kita terlalu banyak bermimpi tentang pembaharuan dan karya besar, sehingga kita jarang sekali mendapatkan kesenian yang wajar, bersih dan genap—sesuatu yang baru saja diberikan Brenda Way dan kawan-kawan.