Ia terbangun oleh suara nyaring tuit-tuit pada ponselnya. Sebuah pesan pendek (“sandek,” ini akronim yang digunakan oleh sejumlah kawan-wartawannya) masuk, dari seorang tetangganya: “Met pagi. Mo upacara?” Tentu maksudnya, “Selamat pagi. Mau ke upacara bendera?” Met dan mo. Kalau benar bahasa menunjukkan bangsa...
Ia tidak datang ke upacara itu. Ia tidak ingin. Ia memang tidak pernah lagi datang lagi ke upacara semacam itu. Terakhir kali ia ikut upacara bendera adalah 17 Agustus 1991, di lapangan parkir Gedung Pertamina di Gambir, ketika ia masih geolog (semua karyawan perusahaan minyak, juga perusahaan asing, harus ikut upacara supaya mereka ber-Pancasila). Sudah lama sekali. Waktu itu wajahnya masih sangat licin dan kampungan, seperti dilukis Rudolf Bonnet. Sekarang wajahnya kasar dan terpiuh, seperti potret diri Oskar Kokoschka.
Malam sebelumnya ia ber-“jogging” di sekitar kompleks rumahnya (sudah berbulan-bulan ini ia berolahraga pada malam hari). Melewati lapangan basket RT, ia melihat sejumlah anak muda petugas keamanan sedang berlatih untuk upacara esok harinya. Ia mendengar lagi: “Lencang kiri!”—“Lencang kanan!”—“Majut jalan!”—“Hormat grak!” Lucu sekali terdengar, dan ia tersandung “polisi tidur.” (Ia ingat, semasa SD ia beberapa kali jadi komandan upacara.)
Ia duduk-duduk di teras, di lantai dua, memandang sekeliling. Bendera-bendera merah-putih berkibar di antara pepohon hijau. Ia merasa bangga dengan kehijauan itu, dengan kebajikan warga dalam menghijaukan permukiman mereka. Pohon-pohon itu sangat layak dipandang. Trembesi, bungur, temurui, belimbing buluh, kamboja. Juga berus-botol, yang ditanamnya sendiri di tubir taman umum di depan rumahnya (pohon itu dibelinya di Jember 11 tahun lalu), meski kembang merahnya belum lagi meledak-mengorak.
Bendera merah putih yang terpasang di rumahnya mungkin sudah berumur 20 tahunan. Warnanya sudah mulai kusam. Ia sendiri yang mengeluarkannya dari dalam laci di lemari kuning di ruang tamu tiga hari sebelumnya. Ia hampir lupa, bahwa 17 Agustus segera tiba. Si penjaga rumahlah yang mengingatkannya, “Jangan lupa pasang bendera, Pak.”
Ini hari Minggu. Hari Kemerdekaan. Maka bangsa yang merdeka, yang sudah bekerja keras dan khusyuk untuk berupacara bendera, harus berlibur pada hari Senin besok. Berbahagialah bangsa yang merayakan Hari Kemerdekaan di hari Minggu! Berbahagialah bangsa besar yang mendapat liburan di hari Senin! Terberkahilah bangsa yang memiliki jumlah hari libur terbanyak di antara bangsa-bangsa lain di planet ini!