Sabtu, 16 Agustus 2008

Wajah


Pelukis Sudjojono pernah mengatakan bahwa lukisan adalah "jiwa nampak" si pelukis. Demikianlah, apapun yang tersaji di atas kanvas--alam benda, pemandangan, manusia, bahkan kekosongan--tak lain daripada jiwa pelukis yang menyajikan diri. Garis dan barik, bentuk dan warna di situ bukan hanya cap jari, namun juga rekaman emosi, atau lebih dalam (atau lebih tinggi) lagi, rekaman aspirasi. Pelukis tidak meniru realitas, melainkan menciptakannya lagi berdasarkan getar jiwanya.

Salah satu kekuatan dari para pelukis "jiwa nampak" (Sudjojono, Affandi, Hendra Gunawan, misalnya) adalah kemahiran mereka melukis potret diri. Mahir: piawai, lancar, cekatan, "di luar kepala." Mereka melukis wajah mereka sendiri tanpa bantuan apapun. Mereka mengutip wajah sendiri dari ingatan, atau memetiknya dari udara. Kalaupun mereka memerlukan bantuan peralatan, itu pun mereka dapat dari cermin belaka. Wajah itu, yang sudah mengalir dalam jiwa, seakan lahir kembali di ujung jemari sendiri, dan mendarat ke kanvas. Dengan demikian, "jiwa nampak" bukan hanya kredo kesenian, tapi juga teknik dan aspirasi.

Setengah abad setelah generasi Sudjojono, para pelukis tidak merasa perlu--atau tidak mampu?--lagi melukis potret diri dengan kredo (dan teknik) "jiwa nampak". Tentulah masih banyak yang melukis potret diri, tapi semua hanya dengan "mengeblad" foto sendiri--dengan cara grid, dengan tembakan proyektor, atau dengan cetakan digital. Bagi para seniman ini, tentulah "jiwa nampak" hanya laku lirik-romantik yang sudah usang belaka. Kesenian mereka mungkin akan disebut seni konseptual, karena, konon, konsep lebih penting ketimbang kemahiran; atau seni "post-auratic", karena subyektivitas, jiwa, pribadi, hanya ilusi belaka.

Antara Sudjojono dan Agus Suwage, antara Affandi dan Dede Eri Supria sesungguhnya terbentang jalan ketiga. Karena kemahiran memang tidak harus dihubungkan dengan "jiwa nampak" atau aura seniman jenius. Jika zaman pascamodern memang sedang berlangsung, maka seorang pelukis bisa menciptakan banyak karakter, banyak jiwa, banyak wajah bagi dirinya sendiri. Dan saya masih berharap, ia bisa memetik wajahnya yang beraneka itu dari udara, dengan ketrampilan sekaligus wawasan yang memadai. Seniman tidak bisa menjadi pemikir, kecuali di dalam-dan-dengan karyanya sendiri.

Tidak banyak peluang untuk menempuh jalan ketiga. Juga bagi kaum penulis. Lebih sedikit lagi waktu tersedia untuk menyatakan "gejolak jiwa" yang layak dilihat atau didengar oleh khalayak, betapapun kecilnya khalayak itu. Namun penulis halaman blog ini percaya, bahwa ia punya wajah yang berubah-ubah--sepuluh, atau seribu wajah (seperti Dasamuka yang malang itu)--yang sebagian bisa tampil di sini. Wajah yang hendak ditampiknya, tapi yang selalu dilukisnya dengan berbagai gaya yang pernah ada dalam sejarah seni rupa.

Ketika melukis--menulis--ia selalu mendengar bisikan, "Caveat emptor. Caveat emptor." Ia sungguh ragu apakah ia penjual atau pembeli.