Kamis, 16 April 2009

Padma Manusia (2)



Menumpuk dua bidang lukis, itu juga cara Alfi mengusik kita. Camkan Fight atau Gelut, misalnya. Bidang belakang yang terisi dua kerucut gunung hitam tipis mengambang di atas warna merah muda, sekonyong-konyong ditimpa dengan bidang depan putih: dua makhluk coklat dan hitam tengah bergulat, kaki salah satunya menjulur sampai ke bidang belakang. Dua pegulat ini tak meyakinkan sebagai manusia, mungkin mereka iblis, yang bagaikan bersaudara dengan sosok bayangan di bidang belakang. Kontras antara putih dengan merah muda, antara kepejalan dengan kemayaan, antara keorangan dengan kehantuan, mendedahkan sekali lagi daya yang meneror mata kita.

Jika Escher dan Margritte suka mengganggu dunia dengan karya mereka (yang pertama mengaduk perspektif, yang kedua mengacaukan lukisan dengan apa yang terlukis), maka Alfi merepotkan karyanya dengan bagian dari karyannya sendiri. Namun, pantaskah kita bertanya mana yang bagian dan mana yang seluruh? Dengan kata lain: karyanya hanya mirip lukisan, atau pura-pura menjadi lukisan.

Terkadang Alfi membiarkan kita hanyut dalam kekosongan. Tampaklah manusia terbaring di awan pada Melayang 1, tapi ia baru setengah selesai: ia kecil dan hilang-hilang timbul pada bidang gambar. Ia tak berjantina, maka kau boleh menyebutnya parodi terhadap sosok Odalisque atau Olympia, bahkan Wisnu dan Buddha terbaring yang terkenal itu. Sedangkan awan itu bukan awan, melainkan semacam ornamen yang belum rampung, mungkin motif ukiran Cina atau mega mendung batik Cirebon, boleh juga teratai yang bermetamorfosis. Semuanya dibiarkan tak lengkap, samar-samar, termasuk kerucut gunung yang tak meyakinkan itu, menyarankan bahwa apa yang kita lihat hanya maya jika bukan tipuan, menonjolkan rasa rawan, giris, kosong.

Lukisan ini mestilah berpasangan dengan Melayang 2, yang mencoba mengimbangi kehampaan itu dengan coreng-moreng tipis: warna dasar abu-abu dengan bercak (laburan, tempelan) kemerahan, kebiruan, hitam dan putih, lalu garis-garis lurus yang tak bersistem. Kita berusaha mencari-cari fokus di sini: sosok terbaring atau terbang itu seperti terputar 90 derajat, dan “melayang” atau “mengambang” pun menjadi “terikat”, “meleleh”, “berkubang”, atau “bertabrakan”. Rasa kosong itu adalah bagian dari disharmoni—atau sebaliknya. Tapi mungkin kita girang menemukan sejumlah sosok teratai, yang mengikat kita kembali dengan “nada dasar” himpunan lukisan Alfi.

Sesekali saya heran kenapa pelukis ini bisa juga cenderung kepada keheningan, kekhidmatan, dan kekosongan, seperti lelah dengan disharmoni dan keriuhan yang dikejarnya sendiri. Saya tersadar, ia mencoba melintasi titik jenuh (neo-)ekspresionisme: seakan ia mencoba mempercayai lagi tubuh yang nyaris habis atau remuk-redam termakan jerit, kesakitan dan histeria dalam kanvas Van Gogh, Munch, Dix, Bacon, De Kooning, dan Baselitz.

Kanvas Alfi mendedahkan rasa bosan dan lelah terhadap kegilaan itu. Tubuh harus diselamatkan, tapi layakkah ia dipercaya lagi? Itulah tubuh yang sulit menempatkan diri di antara benda-benda: atau materi inilah yang menolak takluk kepada kesadaran tubuh. Maka manusia—tubuh lengkap atau anggota tubuh—menjadi secebis sosok maya mirip kabut, bayangan, atau eter. Sosok yang mendekat atau hendak lenyap kepada hening dan kosong (dan dalam hal ini, Alfi mengingatkan kita kepada Francesco Clemente). Mungkinkah si teratai—satu-satunya organisme selain Homo sapiens sapiens—membantu kita sampai kepada ambang pembebasan ini?

Satu-satunya manusia yang meyakinkan dan layak dipercaya adalah diri Alfi, wajahnya sendiri. Diakah seorang Narsisus, pecinta diri yang gagal menyelamatkan manusia lain? Mungkin ia hanya peraih sisa kesempurnaan: anatomi dan faal seperti apa adanya, sewajar manusia. Wajahnya sahih, pejal, digambar dari samping, namun sungsang (mestinya tengadah, bukan?), terdesak kekosongan dan keluasan, mematung oleh nyala api putih atau kuncup teratai (Hang Down). Namun, sebagaimana Chatchai Puipia dan Agus Suwage, Alfi juga mendedahkan wajahnya yang mencoba memandang kita antara gamang dan garang, antara takut dan menakutkan, antara rela dan terpaksa, antara semangat dan sekarat. Seutas tali menusuk tembus telinganya, sementara di latar belakang kuntum-kuntum teratai seperti menjelma kobaran api (Kepala Dingin).

Dan Alfi melukis potret dirinya tanpa bola mata, menyarankan betapa sulitnya memandang, mencerap dunia kita. Hanya sekali ia melotot, (nah, kali ini biji matanya sempurna), wajahnya mencoba riang sekaligus ironis, seperti Groucho Marx, tapi dagunya terpotong, seakan ia hanya muncul sejenak di antara tenggelam yang kekal (Journey 10). Selebihnya, ia menggambar wajahnya seakan selubung, topeng, selaput, yang sekadar mampir pada dirinya, aku-nya: dan dua lukisan ini segera dicoret-moretnya pula, dan disandingkannya dengan foto dirinya dari samping dan belakang (seri Narsisofobia). Jelas ia bukan seorang Narsisus: ia justru pencuriga, pengkhianat diri. Ia melihat wajahnya sebagai derau (“noise,” begitu ditulisnya di kanvas), sumbang di antara rupa-rupa di dunia ini. Lalu dengan menyangkutkan dua lukisannya pada bidang kayu, ia seperti mengolok-olok karyanya sendiri.

Demikianla ia berbuat serong dengan—atau terhadap—karyanya sendiri. Ia memenuhi kita hanya dengan padma dan manusia ketika kita hampir menyerah kepada kalibut. Ia melukis: ia menodai lukisan: ia memurnikannya lagi. Didesaknya kita dengan coreng-moreng lalu ditariknya kita ke dalam hening dan kosong. Jumaldi Alfi Chaniago adalah paradoks itu sendiri: teratai yang menjelma api menjelma awan menjelma bayang-bayang. Wajah yang bersikeras menghibur namun juga mencacati diri. Tubuh yang berusaha utuh seraya meleleh. Belum juga lelah.