(Ini bukan puisi, prosa-puisi, atawa sejenisnya. Mohon maaf.)
Tuan-tuan dan puan-puan. Terima kasih. Saya mau permisi dulu. Kuburan saya sudah siap. Si penggali kubur sudah selesai bekerja, dan menggerutu, “Kok dia nggak datang-datang sih.” Para pelayat sudah terlalu lama menunggu, dan mengeluh, “Kok dia nggak mati-mati? Mau ngapain dia?” Ya, ampun, hampir saja saya lupa kalau Maut sudah amat bosan menunggu saya; lihatlah, Dia tak lagi menakutkan, bahkan jubah hitam-Nya sudah mulai pudar. Ah, saya cuma membuang-buang waktu belaka. Sebab anda sekalian terlalu baik buat saya. Tapi sebelum saya dikuburkan, saya mau berterima kasih untuk segala pesan anda, terutama untuk kuliah yang baru saya terima, khususnya tentang ilmu komunikasi dan ilmu sastra. Sebagai seorang murid yang baik, saya harus berkomentar, biarpun nyawa saya sudah di sampai di mulut. Namun, agaknya, kematian saya tidak akan percuma; sebab, dengan dekonstruksi, kita bisa meragukan beda antara eksterioritas & interioritas, sejati & bikin-bikinan, lingkaran dalam & lingkaran luar, hujat & puji, amarah & birahi, esensi & representasi, jejak & kehadiran—dan tentu juga Facebook & the Book of the Dead, dan seterusnya, dan sebagainya. Jadi, kematian saya adalah juga kehidupan yang lain. Kebangkitan. Maka tertawalah, Guru. Sebab jika saya mati, saya tetap saja berada di mana-mana. Kematian saya adalah kehadiran saya: ke manapun anda lari, di situ ada saya. Atau, jika anda menghindar dari saya, justru anda masuk ke haribaan saya. Di mana pun engkau jatuhkan hujan-mu yang harum-sedap malam, itu pasti mengenai saya. Lupakanlah segenap kitab yang pernah kugubah, karena kitab-kitab itu sudah larut ke dalam urat-urat darahmu. Kau akan mendendam padaku dengan sepenuh cinta, kau akan menyayangiku dengan sedalam dendam-kesumat. Selamat tinggal, Pujaanku. Selamat datang, Buah Hatiku. Jangan memaafkan saya beserta segala apa yang pernah saya buat. Gelap dan terang, sama saja—rasakanlah sekarang. Suaraku menjadi suaramu. Permisi.