Senin, 22 Februari 2010

Budi (2)


Kurator pameran ini, Rizki A. Zaelani, menulis bahwa karya patung dan lukisan Budi Kustarto “tak dihasratkan memenuhi artinya secara penuh”, atau “hadir dalam ‘ketidak-menyeluruhannya’”, dan inilah cara untuk “merayakan penundaan makna” untuk “proses penghayatan”. Bagi saya, penundaan itu adalah untuk mempertanyakan kembali hubungan antara seni lukis dan forografi, antara tubuh dan representasinya, antara gagasan dan bentuk seni. Untuk kesekian kali, kita harus bisa menghayati setelah dan hanya setelah berpikir; di sini penghayatan tiada lain ketimbang second thought, third thought, dan seterusnya. Menghayati setelah berpikir tampaknya adalah frase yang bertentangan dalam dirinya sendiri, contradicitio in terminis, sebab dalam proses yang wajar, yakni proses yang dialami orang ramai, yang terjadi adalah menghayati dahulu dan berpikir kemudian.

Jauh setelah Chuck Close dan Gerhard Richter, kita memerlukan keberanian baru dalam mencerna realisme fotografis. Apa yang tampak biasa-biasa saja, ternyata menyembunyikan apa yang luar biasa, entah itu teknik, pelapisan makna, atau sesindiran akan sejarah seni rupa itu sendiri. Apapun yang terjadi, tampaknya nyali demikian cukup banyak tersedia kini, di ruang ini. Apalagi karya-karya lukisan dan patung yang kita hadapi sekarang seperti membuat kita berjalan di daerah perbatasan, twilight zone—antara gagasan dan bentuk, antara keserentakan dan pengendapan, antara keseharian dan penjarakan. Pada masa kemarin, mungkin seni kontemporer berusaha menyatukan dua kontras itu; pada hari-hari ini, seni (masihkah kontemporer?) mungkin justru memelihara polaritas tersebut, sebagaimana terlihat dalam karya-karya Budi Kustarto. Kita masih jauh dari kesimpulan, juga nanti kiranya, ketika kita beranjak keluar dari ruangan ini. Saya ucapkan selamat kepada sang seniman, yang telah menantang kita dan seluruh perbendaharaan kita; juga kepada galeri Nadi, yang sepanjang riwayatnya sampai hari ini, telah mempertemukan pasar dan wacana. Terima kasih.

(Tulisan di atas adalah sambutan pembuka saya untuk pameran Budi Kustarto di Galeri Nadi, Jakarta, Maret 2005. Berbentuk ketikan dengan coretan tangan, tulisan itu saya temukan kembali belum lama ini di antara tumpukan berkas yang sudah lama tak tersentuh.)

Senin, 15 Februari 2010

Budi (1)


Sering saya bertanya-tanya, di manakah kini ketrampilan menggambar wujud, khususnya tubuh dan wajah manusia, lebih khusus lagi wajah sendiri. Memudarnya ketrampilan ini, dari satu sisi, pernah dipercayai sebagai pudarnya aura seniman-pencipta; dan, dari sisi lain, adalah makin kerasnya ejekan terhadap seni lukis (beserta “seni murni” yang lain). Memang kita masih melihat potret diri, misalnya yang dibuat Agus Suwage dan, pada masa sebelumnya, tubuh manusia pada kanvas Dede Eri Supria. Tetapi kedua pelukis ini menyalin—atau “mengeblat”—foto, sungguh lain dari Sudjojono, Trubus, atau Affandi, misalnya, yang mencuri langsung dari dunia nyata.

Tapi konon kini tak ada lagi dunia nyata: semua hanya jalinan tanda, jalinan simulakra. Konon kini seniman hanya mengutip, bukan mencipta. Di mana-mana modernisme telah dikutuk, juga di tanah air kita: tak sedikit yang berkata bahwa pengarang (pencipta) telah mati (saya tambahkan: kecuali hak ciptanya, seluruh laba yang tumbuh dari karyanya). Kaum senirupawan kini, seraya menyebut dirinya perupa, mencibir jiwa tampak, cap jari, dan orisinalitas, tapi sayang sekali mereka tetaplah individu yang tak tergoyahkan di tengah medan sosial seni. Tidakkah semua itu lebih menyatakan hilangnya ketrampilan, craftsmanship, ketimbangan penentangan terhadap modernisme yang pernah berkuasa itu?

Atau mungkin seni selalu harus diletakkan dalam tanda kutip: suatu ranah yang batas-batasnya harus selalu dicairkan, bukan dibekukan. Sang perupa selalu dihantui materialitas: dan materi itu, medium seni itu, selalu tak cukup sebagai representasi realitas: ia harus menjadi realitas itu sendiri. Berbeda dengan sastra, misalnya: kaum sastrawan tak bisa keluar dari mediumnya; apa yang disebut realitas hanya—dan melulu—hadir dalam rumah penjara bahasa, the prison house of language. Tetapi seni rupa menolak untuk tinggal di dalam batasnya sendiri: ia ingin melebur ke dunia; meski tetaplah ia kecil, dan paling banter ia hanya akan bersifat setengah-publik saja.

Karya-karya Budi Kustarto seakan menggemakan kembali pelbagai pertanyaan di atas. Tubuh dirinya yang berwarna tunggal, hijau, melayang di ruang kosong—sepintas-lalu seperti hasil foto yang dimanipulasikan secara digital. Di sini ukuran dan tempat pajang menjadi sangat penting. Setara dengan itu barangkali adalah sejumlah bilbor iklan yang menampilkan tubuh dan wajah (yang juga telah dimanipulasikan), tetapi yang tak lagi mengejutkan kita. Berbagai patung dan lukisan Budi Kustarto tampaknya masih berusaha mengejutkan kita dengan repetisi bentuknya—berbagai variasi dari potret dirinya. Namun kualitas kehadiran dirinya yang terlalu biasa, meski ia telanjang, malah menipiskan upaya kejut-mengejutkan itu. Maka repetisi pun dalam kekaryaan Budi Kustarto mungkin menjadi meta-ironi, yaitu ironi tentang ironi, ya, sebab sudah terlalu banyak yang membuat ironi dengan mencibir diri sendiri, misalnya saja yang kita lihat pada sejumlah potret diri Agus Suwage dan Chatchai Puipia dan para epigon mereka. (bersambung)

Senin, 01 Februari 2010

Gema Para Penari


Menonton sebuah pentas yang baik, kita seperti mengosongkan diri. Ketika pertunjukan selesai, kita merasa lega luar biasa. Tapi sekaligus juga merasa kurang: kenapa ia, pentas itu, harus berakhir sekarang, kenapa tidak bertambah lagi. Kita merasa lapar, lapar akan sosok-sosok penampil itu lagi, juga semuanya—tata gerak, tata cahaya, tata musik. Mengalami sebuah pentas tari yang baik ibarat mengalami persetubuhan yang tulus. Setelah orgasme, kita merasa kosong. Dan diri yang kosong bukanlah diri yang percuma. Kekosongan itu akan terisi lagi oleh gema, bayangan, rasa—tilas dari dia yang kita pergauli. Kita merasa lega, tapi tiba-tiba merasa sedikit was-was, benarkah dia masih akan bersama kita lagi. Kekasih kita. Pentas yang baru saja kita saksikan.

Pengalaman itulah yang saya dapat akhir Januari lalu ketika menatap pentas kelompok ODC/Dance yang datang dari San Francisco, di sebuah teater blackbox di Jakarta Selatan. Ketika saya menuliskan kalimat-kalimat ini, lelaku para penari masih bergema, dan masih akan bergema pada hari-hari mendatang. Seperti halnya ketika saya usai menonton pentas Henrietta Horn dan Min Tanaka beberapa tahun lalu di Jakarta. Engkau dapat mengatakan bahwa kesan saya bersifat sangat pribadi. Mungkin engkau benar. Sebab, bagi saya, kita selalu menilai dalam perbandingan. Bertahun-tahun ini, setelah menonton sejumlah karya tari kita, saya berkesan bahwa para koreografer kita (juga para penari kita) tertarik-tarik oleh semacam avantgardisme di satu sisi, dan sejenis klasikisme di sisi lain; yang pertama, cenderung “mengotori” (barangkali padanan untuk “mendekonstruksi”) tarian; yang kedua, menarik tarian ke dalam pakem dan kebekuan. Atau, dengan kata lain: yang pertama berambisi meleburkan tarian ke dunia sehari-hari; yang kedua, menjadikan tarian cuma alibi bagi masa lampau.

Mode dan tren datang dan pergi, tapi Brenda Way, sang koreografer, memberi kita tiga nomor tari yang bertolak dari balet. Balet, khazanah lama itu, di tangan Puan Way, menjadi bukanlah sekadar balet, tapi sajian yang hidup. Saya katakan sajian, karena nomor-nomor itu tidak berpretensi untuk menyodorkan gagasan mentah, katakanlah gagasan “filosofis” (yang, mohon maaf, sering menghantui para koreografer kita). Koreografi Puan Way pada dasarnya adalah desain yang mengolah daya penari sebaik-baiknya, sementara itu para penari dapat memaksimalkan tubuh mereka dengan desain itu. Tarian dapat bergerak ke mana saja, termasuk merengkuh gerak sehari-hari, namun selalu kembali kepada disiplin dan tertib bentuk. Tertib: bukan sekadar aturan, tapi juga alas bagi penari untuk mengudar berbagai gerak musykil dan berbahaya. Desain tentu saja mengandung kepekaan akan unsur-unsur penunjang seperti cahaya dan musik. Tentang penggunaan musik, misalnya, saya catat: musik bukan hanya pakaian, tetapi juga bagian, dari raga tari. Terhadap musik, Puan Way juga dapat bersifat ironis, terhadap musik Laurie Anderson, misalnya. Ini terjadi pada nomor kedua, Unintended Consequences, yang buat saya adalah nomor terbaik pada malam itu: rancangan gerak khaotik yang secara perlahan, dengan percepatan yang terjaga, menuju rampak, rampak asimetris, dengan seorang penari yang seakan meloncat ke langit gelap pada penghujung.

Gema pertunjukan yang baik sering membuat kita gundah: kita merasa bukan hanya kehilangan para pementas, tapi juga was-was kapan kita mendapat pentas setingkat itu lagi. Itulah sebabnya kita merasa kosong—mengosongkan diri, seakan sehabis menempuh persetubuhan yang lembut sekaligus bergelora. Atau, kita terus bertanya-tanya, jangan-jangan lingkungan kesenian kita terlalu banyak bermimpi tentang pembaharuan dan karya besar, sehingga kita jarang sekali mendapatkan kesenian yang wajar, bersih dan genap—sesuatu yang baru saja diberikan Brenda Way dan kawan-kawan.