Sabtu, 11 Oktober 2008
Derau Biru
Bagi orang baik-baik, seni itu halus dan indah. Maka coreng-moreng adalah pengganggu keindahan rupa, dan derau adalah perusak kehalusan bunyi. Namun lukisan Alfi terbangun dari coreng-moreng dan derau. Bukan berarti pelukis ini mengajak kita merayakan kalibut dan kekacauan. Sebaliknya, ia membawa kita kembali ke relung hening dan kosong, dengan melalui jalan zigzag dan sedikit berbahaya. Seakan kita hanya mungkin bermeditasi di tengah riuh-rendah benda dan citraan, dan mencapai sunyata dengan banjir cerita dan berita.
Untuk pameran tunggalnya di Jakarta dan Yogyakarta tujuh tahun lalu, saya menulis bahwa karya Alfi memelihara tegangan antara corat-coret dan keheningan, antara citraan riuh dan kekosongan, antara bidang dan ruang, antara persepsi pemirsa dan benda terlukis. Kanvasnya membawa petikan dari khazanah seni rupa modern dunia sekaligus dari rerupaan bukan-seni. Namun Alfi bergerak terus menuju sesuatu yang mirip abstraksi. Seakan menegaskan kembali prinsip kaum modernis, ia menggali terus hakekat medium lukisan justru dengan mendayagunakan apa yang tak nyeni—grafiti, gambar kanak, segala sesuatu yang sekadarnya—seperti terlihat dalam pamerannya Color Guide Series beberapa bulan lalu di Galeri Nadi, Jakarta.
Lukisan yang kita tatap ini berwarna biru tua kusam. Seperti bidang yang mengalami erosi tahap lanjut. Seperti sesuatu dari masa lalu, namun masih menuntut hadir di hari ini. Tapi memang dia hidup terus. Dengan selekeh dan bercak putih. Dengan tulisan, dalam ukuran besar dan kecil, yang bisa saja cetusan anak muda jalanan, bunyi iklan, lirik lagu pop, atau surat seorang tahanan politik. Ada juga tumbuhan kaktus, susunan sandal jepit, atau sekadar gumpalan yang menggapai ke langit. Sementara itu, leleran warna putih dan biru terasa tak henti mengalir ke bawah, seakan cat itu belum kering, dan lukisan belum juga selesai.
Warna biru dalam lukisan “Nyanyian Sunyi” ini sungguh tak stabil. Tapi tunggu dulu. Perhatikan sedikit warna merah yang membercak di sana-sini, yang membuat biru kusam ini seperti tirai yang menerawang, padahal kita tadinya mengiranya semacam dinding. Perhatikan pula dua garis lurus mendatar di tengah, yang membentuk semacam cakrawala, yang menjadikan lukisan Alfi semacam dua samudra maya. Kemudian sebongkah batu di latar depan, yang membuat sisa bidang sebagai latar belakang untuk dirinya belaka. Lagi-lagi kita tercenung oleh permainan kesan bidang dan ruang di situ.
Dan akhirnya, bingkai putih yang merupakan bagian lukisan itu sendiri. Inilah bingkai yang membuat derau rupa Jumaldi Alfi kembali sebagai anasir rupa belaka, anasir yang harus bermain dan cukup-diri dalam gelanggangnya sendiri. Lukisan bukan lagi cermin dari, melainkan subversi terhadap, kenyataan alam. Maka memandang adalah menguji pandangan sendiri. Menangkap rupa adalah menembus yang riuh-rendah menuju kekosongan baru, betapapun sementaranya. Hanya dalam paradoks kita menemukan kesetimbangan. Lukisan Alfi memberikan noda bila kita berpura-pura jadi orang baik-baik, tapi menjanjikan hening bila kita sungguh-sungguh pemandang yang cekatan.
—Postscriptum: Karya Alfi ini, “Nyanyian Sunyi” (akrilik di atas kanvas, 222 x 222 cm) akan tampil bersama 50-an karya dari 30 senirupawan yang lain dalam Dari Penjara ke Pigura, pameran pembukaan Galeri Salihara, Jalan Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, pada 18 Oktober-6 Desember 2008.—