Masih ada yang bertanya sampai beberapa waktu lalu, lewat surat-e maupun lisan, siapakah nama-nama yang saya terakan pada empat sajak saya—“Telur Mata Sapi”, “Piring Terbang”, “Biduanita Botak”, dan “Bulan Madu”—yang termuat di Kompas, Minggu 24 Agustus 2008, hal. 28.
Harus saya katakan, bahwa membuat semacam catatan kaki untuk menjelaskan nama-nama itu adalah sejenis kecerewetan belaka. Lagipula, saya percaya, mereka yang penasaran akan mencari-tahu dengan bantuan Google, misalnya. Sebab nama-nama itu tercatat dalam khazanah kesenian sejagad.
Tentu saja, pembacaan sajak tak akan terhalang seandainya anda melewatkan nama-nama itu. Namun, saya merasa wajib mencantumkan, sebab saya memang berhutang kepada mereka, tepatnya kepada karya mereka. Empat sajak saya adalah penghormatan pada mereka. Dan “berhutang” memang tak selalu berarti “diilhami.” Ada kalanya sajak saya justru menantang atau menyelewengkan karya mereka.
Sigmar Polke (dalam “Telur Mata Sapi”) adalah pelukis Jerman. Goethe Institut pernah menyelenggarakan pameran lukisannya Music from an Unknown Source di Bentara Budaya Jakarta dua tahun lalu. Karyanya dengan ganjil menggabungkan Ekspresionisme Abstrak dan Pop Art. Tekstur dan warna olahannya mengasingkan yang populer dan yang sehari-hari, atau membanalkan yang asing dan yang tinggi.
Mao Xuhui (dalam “Piring Terbang”) adalah pelukis Cina Daratan. Saya pernah melihat dua lukisannya “Red Bodies” dan “Scissors and Sofa No.1” pada pameran Inside Out—New Chinese Art di Asia Society dan P.S. 1 Contemporary Art Center, New York pada musim gugur 1998. Dibandingkan dengan Realisme Pop Cina atau instalasi Xu Bing atau Cai Guoxiang, misalnya, dua lukisan yang didominasi warna merah itu kurang menarik perhatian. Tapi keduanya “bicara” banyak ketika bertahun-tahun kemudian saya menengoknya lagi di katalog pameran.
Elfriede Lohse-Wachtler (dalam “Biduanita Botak”) adalah pegambar Yahudi-Jerman yang gugur di kam konsentrasi Brandenburg, 1940. Di antara mereka yang digolongkan ke dalam Neue Sachlichkeit (Kelugasan Baru), mungkin Elfriede kurang dikenal. Namun karyanya, “Lissy”, cat air di atas kertas (1931)—yang saya lihat pada buku Sergiusz Michalski New Objectivity (1994)—memberi saya ironi yang mutlak melalui citraan perempuan.
Nobuyoshi Araki (dalam “Bulan Madu”) adalah fotografer Jepang yang cukup dikenal di tanah air, bahkan diikuti sejumlah fotografer kita. Saya melihat foto-foto erotiknya pertama kali pada 1992, kalau tak salah pada Kyoto Journal. Di kemudian hari, setelah melihat lebih banyak lagi karyanya, saya mencatat bahwa Araki menonjolkan genitalia (khususnya farji) sebagai sejenis benda belaka, sementara ia membuat benda jadi berkualitas erotis.
Sajak-sajak saya bukanlah komentar atau catatan kaki tentang karya mereka. Kalaupun mereka telah “mengilhami” saya, maka saya telah memiuhkan aspek paling menonjol dari karya yang bersangkutan. Bahkan karya saya telah melawan karya mereka. Namun, menjelas-uraikan keterhubungan—intertekstualitas?—puisi saya dengan berbagai lukisan, gambar dan foto itu bukanlah maksud tulisan singkat ini.