KEMBALI KE RUPA, KE GUNA
Hamparan putih salju pada bulan Januari di Midwest, patung berirama staccato karya Gregorius Siddharta Soegijo di Taman Pakubuwono Kebayoran Baru, daun-daun mapel yang merah kuning pada bulan November di sekitar apartemen saya di Eagle Heights, seni publik yang “kiri” pada masa kanak-kanak saya di Banyuwangi, kerumun massa pada lukisan Rivera, Orozco, Djoko Pekik, dan Hariadi, barik dan gumpalan pada lukisan Rothko, Miro dan Sadali, kaca pateri art deco di rumah-rumah tahun 1930-an, lesung tua dengan urat kayu bertonjolan yang teronggok di loteng rumah saya, rumah-rumah desa yang menyatu dengan pepohon beringin dan kamboja di pedesaan Bali, fosil kerang pada batugamping dari zaman Paleosen, warna kuning emas pada tubuh harimau dan kelopak bunga matahari, lukisan pemandangan pada tubuh becak, piring biru bergambar ikan dari Jepang tempat nasi saya—semuanya bernilai pada dirinya sendiri, tak terbandingkan satu sama lain. Dan berguna, kecuali jika kita menuntut masing-masing rupa itu berfungsi di luar watak dan wandanya sendiri.
Saya seorang pragmatis, karena saya berurusan dengan rupa; sedangkan pluralisme, hanya berseluk-beluk dengan seni rupa, lebih tepatnya pemikiran seni rupa. Bagi saya, pengalaman, juga pengalaman estetik, mendahului pemikiran. Namun, atas dasar pragmatisme ini pula saya bisa membedakan seni dari “kehidupan” demi dua alasan. Pertama, seni rupa pada dasarnya hanya disiplin untuk menemukan (kembali) pelbagai khazanah rupa yang terabaikan, terkubur, tersingkir oleh rutin—setara dengan, misalnya, fisika yang bisa mengingatkan kembali akan hukum dunia materi. Kedua, kita tak bisa berpura-pura kembali ke masa lampau di mana kehidupan ini belum terbagi-bagi ke dalam bidang-bidang, disiplin-disiplin kehidupan—bukankah disiplin pada dasarnya untuk memperbaiki kehidupan itu sendiri? Untuk yang pertama, kita memerlukan kritik seni; untuk yang kedua, sosiologi seni.
Bagi saya, pluralisme bukan untuk melenyapkan disiplin (demi impian kosong agar seni masuk lagi ke dalam kehidupan), meski sebagian kaum pluralis percaya demikian. Pluralisme adalah kritik kelembagaan, sebagaimana sudah dibuktikan oleh Sanento Yuliman. Pandangan plural tak bisa melenyapkan laboratorium, menara gading, studio, ruang pameran, perpustakaan, museum, akademi—sebab hanya dengan kantung-kantung “pengasingan” inilah kehidupan dijelajahi dalam segenap kekayaan rincinya. Mungkinkah meleburkan seni ke dalam kehidupan—atau secara lebih “lunak,” mencampurkan seni dan politik? Tidak, kecuali jika kau mengingkari bahwa kehidupan hanya bisa digarap dengan disiplin, dengan kepengrajinan, dengan kesadaran bentuk. Tidak, kecuali jika kau tak sedikit pun ragu bahwa “seni politis” bisa membuatmu gagal mengerjakan seni sekaligus politik. Tidak, kecuali jika kau tak percaya bahwa perlawanan hanyalah pengulangan yang tak habis-habisnya. (Selesai)