Jumat, 21 November 2008

Nasihat Awal Musim Dingin

(untuk dirimu belaka, barangkali)

Jangan pernah lupa bahwa kau sering terbangun pagi oleh harum bagel bakar dari kedai bagel di belakang rumahmu. Apartemenmu kedap-suara luar biasa, sehingga tak mungkin kau terbangun oleh derap kendaraan yang kencang melaju di University Avenue, jalan raya urat nadi di depan kedai itu. (Ingatlah, di Jakarta kau kerap terbangun tiba-tiba oleh deru kendaraan di jalan-jalan yang “mengepung” rumahmu di Kebayoran Baru—terutama deru bajaj.)

Kotamu sekarang hanya kota yang dipinjamkan kepadamu. Jangan lupa bahwa kota itu terlihat seperti pematang dari atas pesawat—pematang yang diapit dua danau. (Itulah sebabnya sebuah koran mingguannya bernama Isthmus.) Danau-danau itu akan segera membeku dan kau bisa berjalan kaki ke tengah danau untuk melihat kubah Capitol, yang akan segera akan mengingatkan bahwa kau berada di sebuah negeri kulit putih yang ternyata sanggup memiliki seorang presiden berayah orang Kenya.

Usahakan bersepeda sebanyak mungkin sebelum salju benar-benar turun dan tumpukan salju meng-es. Pergilah ke pinggir danau, lihat bagaimana airnya membeku pelan-pelan. Jangan lupa ke Resurrection Cemetery, sebuah kompleks pekuburan tua yang luas di dekat apartemenmu. Perhatikan nama-nama di batu-batu nisan granit itu, terutama nama-nama Jerman dan Italia. Supaya kau ingat bahwa kematian tidak menakutkan. Ingatlah kata-kata temanmu penulis Yunani Chris Chrissoppoulos bahwa posisi vertikal kalian cuma sementara saja, dan posisi horisontal itu selama-lamanya.

Jangan was-was pergi ke Chicago lagi dan lagi, meski kota itu dingin mematikan pada akhir tahun dan awal tahun baru. Kau bisa tidur di bis Van Galder dan terbangun begitu ia sampai di Union Station di downtown. Bukankah kau baru saja menemukan William Kentridge di Museum of Contemporary Art, yang karyanya mengingatkanmu pada Agus Suwage di tahap awal? Bukankah kau suka memandangi wajahmu yang terpiuh pada telur logam Anish Kapoor di Millenium Park? Bukankah kau suka membuka ransel yang berisi kampungmu di Michigan Avenue dan State Street, terutama di Banana Republic? Bukankah kau ingin memanjakan lidahmu dengan kangkung belacan di Chinatown dan melihat lagi Edward Hopper dan Constantin Brancusi di Art Institute?

Meski kau percaya kolestrol dan asam uratmu sudah turun, makanlah daging seminggu sekali saja kalau bisa. Ikutlah nasihat belahan hatimu, yang tahu banyak tentang seni santap-menyantap di dunia ini. Jangan lagi membelanjakan 50 dollar untuk steak yang konon terbaik di kotamu. Sebab Samba Grill ternyata lebih maut: dengan 20 dollar untuk brunch buffet di hari Minggu, kau bisa mendapat daging lembu dan domba bakar yang luar biasa lembut dan nendang, yang diiris langsung ke piringmu melalui sebuah galah tusukan oleh pelayan berpakaian gaucho. Jangan lupakan salad-nya, supaya kau tetap bisa berjalan tegak. Demi Tuhan dan kesehatan, datanglah ke Samba dua bulan sekali saja.

Jangan lupa menggali ke Memorial Library, meski setiap masuk kau memerlukan pas baru. Jangan tenggelam di situ seperti 10 tahun lalu. Sekarang kau menemukan kembali René Depestre, sang eksil permanen dari Haiti. (Jangan lupa, temanmu Baudelaine Pierre mengingatkanmu akan namanya di Iowa City tahun lalu.) Kejar Depestre, lupakan dulu nama-nama yang lain. Sebab dia orang kampung seperti dirimu. Tangkap dia, sebab dia akan memberimu pelajaran bagaimana membawa sang kampung ke pusat-pusat dan pinggir-pinggir dunia.

Jangan lupa bahwa siang hanya berlangsung sembilan jam. Jangan mencuri cahaya matahari terlalu banyak untuk tulisanmu. Makanlah es krim kacang merah dan anggur hitam dan jeruk oranye (ya, orange, bukan grapefruit) dalam waktu yang setepat-tepatnya supaya malam tidak terlalu terasa panjang. Minumlah dua sloki anggur merah Shiraz supaya kau mengantuk pada pukul satu dinihari, dan sebelum tertidur jangan lupa mengingat lagi bahwa di negeri ini ada tidak kurang dari 300 sekolah penulisan kreatif tingkat MFA. Jadi bagaimana kau bisa ingat nama-nama penyair setelah Robert Hass dan Charles Simic?

Belilah syal ketiga, keempat, kelima dan seterusnya hanya di antara Thanksgiving Day dan Hari Natal biarpun kau ingin segera (sekarang kalau bisa!) lebih mantap lagi dengan jas panjang wul hitam-mu yang baru.

Jangan lupa menulis kepada temanmu Arif Bagus Prasetyo di Denpasar bahwa lidah berbeda dari pena. Bahwa kau percaya pada pena yang tajam, bukan lidah yang tajam. Bahwa khazanah tulisan di negerimu masih dikuasai oleh lidah, bukan pena. Bahwa banyak pasukan lidah menyaru sebagai penyair dan pengulas. Kau hampir saja menulis, “Pasukan lidah sedang mengangkat pena.” Tidak, mereka sedang mengangkat pedang. Bila lidah yang satu bertemu dengan lidah yang lain, mereka saling bertanya, “Kau berasal dari gerombolan mana?” Mereka sudah lupa bahwa pena lebih tajam ketimbang pedang.