Pada dinding FaceBook saya, Bung bertanya—sebenarnya lebih menegaskan daripada mempertanyakan: “Kenapa ‘subjek lirik’ puisi-puisimu hampir selalu bersitegang dengan lawan-lawan bicaranya? Seperti tidak ada kata damai di antara mereka?”
Apa yang Bung katakan adalah apa yang Bung temukan dalam puisi saya. Dan, temuan itu belum tentu apa yang saya ciptakan, atau sengaja saya ciptakan. Begitulah seharusnya prinsip “pengarang sudah mati” berlaku. Sebuah teks memang mesti lebih luas ketimbang maksud si penulis.
Namun demikian, si penyair bisa juga berlaku sebagai pembaca puisinya sendiri. Terutama jika ia menimbang pendapat para pengulas. Malah ada juga baiknya si pengarang terlibat dalam diskusi, supaya ia tidak menyelewengkan doktrin “pengarang sudah mati” untuk menutupi kelemahan karyanya dan, terutama, kebodohannya sendiri. Pada suatu saat, penyair juga ibarat arsitek yang harus bertanggung jawab untuk bangunan yang dirancangnya.
Dalam sajak-sajak saya, si subjek lirik, yang juga bermacam-macam “ada”-nya, memang sepintas lalu kelihatan—atau kedengaran—bersitegang dengan lawan(-lawan) bicaranya. Namun tegangan atau ketegangan ini berspektrum luas, yakni mencakup makna yang dikandung oleh sang antonim.
Dalam “Roti”, misalnya, yang saya unggah ke FaceBook dan blog saya beberapa hari lalu, sudah jelas bahwa hubungan antara “aku” dan dia” (dan juga sosok-sosok lain) bergerak dalam kisaran makna sejumlah kata kerja terpakai, misalnya saja “menggandrungi” dan “bertarung”, “berunding” dan “berkhianat”.
Tegangan yang lebih besar sebenarnya bukan terjadi antar-persona. Sajak itu sendiri tarik-menarik dengan sumber yang dipakainya. Sebagaimana Bung baca di situ, sebuah kisah yang dipetik dari Perjanjian Baru (atau beberapa lukisan tentang itu) sudah malih begitu jauh, seraya mempertahankan sejumlah motif aslinya. Tegangan ini malah dipertegas—ataukah dilunakkan?—dengan semacam efek penjarakan (Verfremdungseffekt), misalnya dengan keraguan si aku apakah khazanahnya bermusim dua atau empat. (Nah, simbolisme bilangan ini mestinya juga membukakan arah yang lain lagi, bukan?)
Melompat ke sajak-sajak saya yang lain (dalam Jantung Lebah Ratu, misalnya), kita juga bisa bicara tentang tegangan yang beralih-malih. Dalam “Lembu Jantan”, si aku (yaitu si lembu) menghindar dari kejaran si pelukis yang telah menciptakannya, artinya, cenderung menghindari konflik; di bagian akhir memang terjadi tegangan, tapi ini bukan tension melainkan erection, yang harfiah dan simbolik sekaligus. Dalam “Kunang-kunang”, si aku melebur dalam si kami, setelah menduga-duga siapa kembarannya atau bundanya. Jadi, tegangan susut jadi harmoni. Dengan kata lain, ada “kata damai” di situ.
Bung sudah tahu bahwa banyak sajak saya bermain-main (ah, bertarung juga ya!) dengan penggandaan, pencerminan, pengembaran—atau ketergandaan, ketercerminan, keterkembaran. Tegangan (atau kebersitegangan) antara dua kembaran (yaitu dua kutub) hanya satu aspek saja dari “motif dasar” itu.
Kemudian, hubungan dwikutub itu sering mengundang—terkaburkan, atau terkelindan oleh—kutub ketiga, bahkan keempat. Dalam sajak “Lembu Jantan” atau “Burung Merak” misalnya. Atau dalam sajak “Tanpa Judul” (yang “terilhamkan” oleh poster karya Mieczyslaw Gorowski), yang belum saya terbitkan.
Sementara itu pula, aneka sajak saya yang lain menempuh arahnya masing-masing. Artinya, tidak terperangkap dalam pola penggandaan, jadi tiada mengandung tegangan atau “dialektika”. Bahkan dalam “Dua Belas Kilas Musim Gugur”, subjek lirik, khususnya si aku, tidak ada, atau hampir-hampir tidak ada. Seperti sekilas bayangan, yang akan segera lebur ke alam semesta yang tiada terpegang, atau ke kekosongan yang menguntitnya. Tapi dalam puisi modern, yang bernama kekosongan itu masih mengandung derau juga. Yaitu, derau bentuk. Berutang kepada haiku, sajak-sajak kecil dalam “Dua Belas Kilas” itu tahu bahwa satori tidak ada lagi di masa kini, apalagi dalam Bahasa Indonesia.