Kami duduk bertiga belas: meja ini sangat panjang, panggung ini terlalu lapang. Aku dan ia seakan sejauh dua bintang, dua kerdip yang berupaya bertukar getar. Ia berada di ujung sana, seakan di puncak semenanjung terjauh: wajahnya tertutup gelap, gelap yang hampir sempurna. Tapi ia seperti tumbuh mendekat ke setiap kami. Sungguh, kami takut jika wajah kami menulari wajahnya, tapi kami bahagia mencium bau tubuhnya di antara rasa lapar kami. Aku tahu ia mengenali kami satu demi satu; sedangkan kami serupa murid yang, setengah-dungu setengah-angkuh, hanya bisa menebak nama satu sama lain, dan saling mencurigai siapa di antara kami akan berkhianat lebih dulu.
Ia memandang ke segala arah, ke wajah kami, juga ke balik tengkuk kami, ke arah kapal-kapal yang datang dan pergi nun di sana. Sedangkan kami gementar diam-diam, takut melepaskan diri dari wujudnya. Itu sebabnya aku suka membayangkan satu atau beberapa di antara kami akan melenyapkan ia sebelum tengah malam, sebelum kami benar-benar mabuk dan saling menggandrungi. Semoga di parak pagi kami tak lagi bertempur atau sekadar melihat pasukan kami saling membasmi: dan kami akan beroleh kembali negeri kami, kampung halaman kami, masing-masing, dengan damai.
Kudengar ia berkata, (semoga aku tak keliru menirukannya), “Seseorang di antara engkau akan menyerahkan aku.” Mungkin tak seorang pun menyimaknya selain aku, sebab kami mulai menyentuh piring dan gelas dengan tangan yang masih mengandung tilas darah dan getah, kerak yang seakan menyatu ke kulit jangat. Baru saja kami mengucapkan selamat tinggal kepada segenap senjata dan kereta kami, agar kami lebih mahir berunding dan bersantap. Sungguh kami telah mencuci muka kami hingga berkilau-kilau, agar kami bukan lagi penyaru yang membekuk dari belakang. Lihat, kami telah bergerak begitu cepat ke gelanggang jamuan ini, menembus berlapis-lapis dinding, menyangkal bertangkup-tangkup labirin.
Tapi ia bergerak lebih lekas ketimbang kami, sebab ia tahu kami akan tiba kemari dengan wajah orang suci, sedangkan ia membiarkan dirinya sebagai pendosa. Ia mengizinkan wujudnya tersaput kabut, bahkan lenyap dalam kabut; ia membiarkan luka-lukanya tak terlihat (tapi sebentar lagi, sabarlah, ia akan memamerkannya sebagian). Ketika kami tiba, ia sudah menunggu di ujung paling ungu itu, sedangkan kami hanya bisa lenggah di titik-titik merah padam ini, di mana lingkaran cahaya akan menghiasi kepala kami. Dalam lindap pohonan di taman ia berkata kepada kami, (semoga aku tak berlebihan mengulangnya untukmu), “Malam ini, sebelum ayam berkokok, engkau akan menyangkal aku tiga kali.”
Bukankah kami gagal membatasi ruang di mana kami harus saling bertatapan? Lihat, ternyata kami hanya dikitari dinding angin, dan kuping kami masih juga mengembara di dunia sana, mencari bisik dari segenap musuh dan sekutu kami, meski kami ingin saksama mendengar pepatah-petitihnya yang terakhir. Kami mendengar jerit burung-burung dan debur ombak ketika ia mulai menyentuh rotinya, dan gema panjang itu bercampur-baur dengan suaranya. Dan kami bayangkan jemarinya berkilat seperti ujung pedang namun lembut seperti daun pandan, dan roti itu seperti sebungkah daging, percayalah, seperti daging kami yang menakutkan. Tidak, kami tak akan membagikan daging kami untuk siapa pun, sehingga kami yakini ia memecah-mecah roti itu dan membagikannya untuk kami seraya berkata, (semoga aku tak mengutipnya demi diriku sendiri), “Ambillah, makanlah, sebab inilah tubuhku.”
Barangkali kami telah keliru: kami mengira gelanggang ini dikitari pepohon zaitun dan kurma. Kenapa pula kini kami melihat rerimbun kana, kesumba, dan kembang sepatu mengepung kami? Kenapa kami lupa apakah khazanah kami bermusim dua atau empat, ketika kami merasa telah mengikuti ia membaca kitab-kitab paling rahasia, memuliakan kaum perempuan, memakzulkan para raja dunia, atau berkhotbah di atas bukit? Sesekali bau amis dari laut naik ke meja mahabesar ini, menyadarkan kami bahwa kapal-kapal kami masih memuat senjata dan para serdadu kami di kemah-kemah sana terus menunggu isyarat kami kapan mereka harus mulai menyerang. Dengan sabar kami mengimpikan cahaya fajar tumpah ke wajahnya, dan cerlang wajah itu pastilah akan memojokkan kami berdua belas ini sebagai semacam rasul yang tak mampu menyainginya sampai kapan juga.
Tiba-tiba sosok yang lama terpaku di sebelah kiriku—betapa wajah kami serupa, dan kami mengenakan jubah hijau lumut yang sama, (dan kurasa kami pernah bertarung di tepi sebuah sungai)—berseru, “Kitalah yang membuat ia berada di sini. Mari kita adili ia sebab ia memang bakal martir sejati. Terlalu lama kita memperebutkan ia sebagai panglima kita. Bukankah ia terlalu berani untuk dunia ini?”