Senin, 27 April 2009
Intermezzo: Surat untuk U
(Mohon maaf kepada teman-teman yang menunggu lanjutan “Kitab dan Senjata (I)”: surat ini menyela penantian anda. “Kitab dan Senjata (II)” akan termuat setelah ini.)
Bung, pada status Facebook-mu kau menulis—tepatnya mengutip sebuah laporan—bahwa partainya Mas P menghabiskan dana lebih dari Rp 300 milyar untuk pemilu legislatif. Ada yang aneh dengan angka itu? Kalau Bung periksa, maka angka itu akan kecil sekali (tentu dengan nisbiah sekali!) bila terbanding dengan ongkos kampanye pemilihan presiden di negeri asing di mana Bung sedang belajar sekarang.
Masalahnya, siapa yang menanggung ongkos kampanye partai? Seharusnya, konstituen partai yang bersangkutan. Tapi ini tidak terjadi. Konstitituen kita bukannya melakukan iuran, malah minta disogok atau dibeli; paling tidak, mereka gampang dibujuk dengan periklanan. Inilah yang menjelaskan kenapa partai yang duitnya gede bisa dapat suara yang lumayan banyaknya. Lalu kita bertanya: dari mana partai mendapat duit sebanyak itu? Dari siapa lagi—kalau bukan dari pengusaha?
Bukannya saya mau bilang bahwa penguasaha dan orang kaya itu terlarang mendukung partai. Bukan. Mereka itu, seperti juga konstituen yang lain, menyumbang, bahkan menyumbang besar, tapi semua terjadi di atas meja, atawa di dalam koridor hukum. Dan itu terjadi di negeri asing di mana Bung sedang belajar sekarang. Tidak di negeri kita.
Di negeri kita, partai belum bisa menarik dana dari (bakal) konstituennya. Itulah yang membuat kenapa partai-partai besar masih juga bergantung pada pengusaha. Partai-partai kecil juga sama saja, namun “sayang sekali” mereka belum mampu ber-“nego.” Dan kita tahu kenapa partainya si Mas, yang baru berdiri itu, bisa beroleh suara yang lumayan banyak. Iklannya “kuat.”
Dan memang konstituen itu bisa dengan gampang dibeli. Maaf—berilah mereka songkok, sajadah, T-shirt, duit, dan seterusnya, lantas mereka akan mengangguk-anggukkan kepala kepada si partai atau si calon. Kalau mereka sedikit pintar, maka mereka gampang sekali terkena bujukan iklan. Para bakal pemilih kita tak ubahnya konsumen yang gamblang saja. Bung sudah tahu berapa biaya iklan? Misalnya saja, untuk iklan satu halaman penuh di gepok pertama koran K, kita harus membayar tidak kurang dari Rp 350 juta! (Nah, Bung sekarang tahu berapa banyak duit yang dipunyai partainya si presiden, yang sering pasang iklan di koran K halaman 1.)
Dan—kenapa Mbak M begitu gampang berunding dengan Mas P? Ah, masak Bung tak tahu sih? Persamaan mereka dalam soal nasionalisme? Ya tak-lah. Partainya si Mbak, yang konon besar itu, tidak punya dana untuk maju ke Pilpres. Yang punya dana jelas Mas P dengan partainya. Jadi massa partai si Mbak yang besar itu juga belum mampu iuran untuk menyokong si Mbak maju ke Pilpres. Dan begitulah si partai berlaku “pragmatis”. (Tentu saja, lebih aman kalau para pengusaha mendukung si presiden, yang partainya kali ini, bukan kebetulan, jadi partai teratas dalam perolehan suara legislatif. Ada juga Partai GK yang, sudah jelas, secara tradisional memang partainya kaum pengusaha.)
Bung tahu berapa dana yang diperlukan seseorang untuk maju ke Pilpres—jika pemilihan umum-nya “modern” kayak yang di negeri kita dan di negeri Bung di mana Bung belajar sekarang? Tanyalah kepada berbagai lembaga survai yang sekarang lagi ngetren di negeri kita. Jawabnya: antara Rp 500 milyar sampai Rp 1 trilyun. Lalu dari mana si calon dapat dana itu? Dari mana lagi—kalau bukan dari pengusaha? Lagi-lagi, konstituen tak mau (atau belum mampu) urunan. Dan dengan memberi duit sebanyak itu, pengusaha mau apa—Bung sudah tahu apa jawabnya. Maka, kalau si calon mau “menolak campur tangan penguasaha dalam politik,” dia harus mampu menggalang dana dari pendukungnya sendiri.
Jadi, Bung, memang perpolitikan di negeri kita sekarang ini lebih ilmiah dalam satu segi: lembaga-lembaga survai bisa menghitung berapa jauh popularitas & elektabilitas seorang calon, memikirkan bagaimana cara menaikkannya, menghitung ulang peluangnya dan sampai di mana puncak susksesnya—dan lantas menghitung berapa biayanya. Jadi, semuanya “rasional.” Calon bupati, calon gubernur, calon presiden, calon anggota parlemen—semua bisa dihitung angkanya. Sayangnya, dengan “rasionalitas” semacam ini, para konstituen tetap saja terkebelakang, irasional dan bisa dibeli.
Jadi, ketika si Mbak berunding dengan si Mas, semakin kita tahulah, bahwa banyak partai besar itu sebenarnya tak punya ide, ideologi, dan seterusnya—dan konstituennya ternyata cuma himpunan primordial saja. Hanya karena tak punya dana, maka sebuah partai bisa berlaku apa saja. Partainya si Mbak yang dimasuki—dengan harapan besar—oleh bekas anak-anak PRD (teman-teman kita, Bung!), mungkin sekarang harus ber-“koalisi” dengan partai yang dipimpin oleh bekas serdadu yang bukan hanya pernah menculik (dan menyiksa) anak-anak itu, tetapi juga mendukung sang patriark yang dulu menganiaya partainya si Mbak.
Ini kan lebih absurd daripada teater absurd, Bung?
Kamis, 16 April 2009
Pidato Menjelang Mati
(Ini bukan puisi, prosa-puisi, atawa sejenisnya. Mohon maaf.)
Tuan-tuan dan puan-puan. Terima kasih. Saya mau permisi dulu. Kuburan saya sudah siap. Si penggali kubur sudah selesai bekerja, dan menggerutu, “Kok dia nggak datang-datang sih.” Para pelayat sudah terlalu lama menunggu, dan mengeluh, “Kok dia nggak mati-mati? Mau ngapain dia?” Ya, ampun, hampir saja saya lupa kalau Maut sudah amat bosan menunggu saya; lihatlah, Dia tak lagi menakutkan, bahkan jubah hitam-Nya sudah mulai pudar. Ah, saya cuma membuang-buang waktu belaka. Sebab anda sekalian terlalu baik buat saya. Tapi sebelum saya dikuburkan, saya mau berterima kasih untuk segala pesan anda, terutama untuk kuliah yang baru saya terima, khususnya tentang ilmu komunikasi dan ilmu sastra. Sebagai seorang murid yang baik, saya harus berkomentar, biarpun nyawa saya sudah di sampai di mulut. Namun, agaknya, kematian saya tidak akan percuma; sebab, dengan dekonstruksi, kita bisa meragukan beda antara eksterioritas & interioritas, sejati & bikin-bikinan, lingkaran dalam & lingkaran luar, hujat & puji, amarah & birahi, esensi & representasi, jejak & kehadiran—dan tentu juga Facebook & the Book of the Dead, dan seterusnya, dan sebagainya. Jadi, kematian saya adalah juga kehidupan yang lain. Kebangkitan. Maka tertawalah, Guru. Sebab jika saya mati, saya tetap saja berada di mana-mana. Kematian saya adalah kehadiran saya: ke manapun anda lari, di situ ada saya. Atau, jika anda menghindar dari saya, justru anda masuk ke haribaan saya. Di mana pun engkau jatuhkan hujan-mu yang harum-sedap malam, itu pasti mengenai saya. Lupakanlah segenap kitab yang pernah kugubah, karena kitab-kitab itu sudah larut ke dalam urat-urat darahmu. Kau akan mendendam padaku dengan sepenuh cinta, kau akan menyayangiku dengan sedalam dendam-kesumat. Selamat tinggal, Pujaanku. Selamat datang, Buah Hatiku. Jangan memaafkan saya beserta segala apa yang pernah saya buat. Gelap dan terang, sama saja—rasakanlah sekarang. Suaraku menjadi suaramu. Permisi.
Tuan-tuan dan puan-puan. Terima kasih. Saya mau permisi dulu. Kuburan saya sudah siap. Si penggali kubur sudah selesai bekerja, dan menggerutu, “Kok dia nggak datang-datang sih.” Para pelayat sudah terlalu lama menunggu, dan mengeluh, “Kok dia nggak mati-mati? Mau ngapain dia?” Ya, ampun, hampir saja saya lupa kalau Maut sudah amat bosan menunggu saya; lihatlah, Dia tak lagi menakutkan, bahkan jubah hitam-Nya sudah mulai pudar. Ah, saya cuma membuang-buang waktu belaka. Sebab anda sekalian terlalu baik buat saya. Tapi sebelum saya dikuburkan, saya mau berterima kasih untuk segala pesan anda, terutama untuk kuliah yang baru saya terima, khususnya tentang ilmu komunikasi dan ilmu sastra. Sebagai seorang murid yang baik, saya harus berkomentar, biarpun nyawa saya sudah di sampai di mulut. Namun, agaknya, kematian saya tidak akan percuma; sebab, dengan dekonstruksi, kita bisa meragukan beda antara eksterioritas & interioritas, sejati & bikin-bikinan, lingkaran dalam & lingkaran luar, hujat & puji, amarah & birahi, esensi & representasi, jejak & kehadiran—dan tentu juga Facebook & the Book of the Dead, dan seterusnya, dan sebagainya. Jadi, kematian saya adalah juga kehidupan yang lain. Kebangkitan. Maka tertawalah, Guru. Sebab jika saya mati, saya tetap saja berada di mana-mana. Kematian saya adalah kehadiran saya: ke manapun anda lari, di situ ada saya. Atau, jika anda menghindar dari saya, justru anda masuk ke haribaan saya. Di mana pun engkau jatuhkan hujan-mu yang harum-sedap malam, itu pasti mengenai saya. Lupakanlah segenap kitab yang pernah kugubah, karena kitab-kitab itu sudah larut ke dalam urat-urat darahmu. Kau akan mendendam padaku dengan sepenuh cinta, kau akan menyayangiku dengan sedalam dendam-kesumat. Selamat tinggal, Pujaanku. Selamat datang, Buah Hatiku. Jangan memaafkan saya beserta segala apa yang pernah saya buat. Gelap dan terang, sama saja—rasakanlah sekarang. Suaraku menjadi suaramu. Permisi.
Padma Manusia (2)
Menumpuk dua bidang lukis, itu juga cara Alfi mengusik kita. Camkan Fight atau Gelut, misalnya. Bidang belakang yang terisi dua kerucut gunung hitam tipis mengambang di atas warna merah muda, sekonyong-konyong ditimpa dengan bidang depan putih: dua makhluk coklat dan hitam tengah bergulat, kaki salah satunya menjulur sampai ke bidang belakang. Dua pegulat ini tak meyakinkan sebagai manusia, mungkin mereka iblis, yang bagaikan bersaudara dengan sosok bayangan di bidang belakang. Kontras antara putih dengan merah muda, antara kepejalan dengan kemayaan, antara keorangan dengan kehantuan, mendedahkan sekali lagi daya yang meneror mata kita.
Jika Escher dan Margritte suka mengganggu dunia dengan karya mereka (yang pertama mengaduk perspektif, yang kedua mengacaukan lukisan dengan apa yang terlukis), maka Alfi merepotkan karyanya dengan bagian dari karyannya sendiri. Namun, pantaskah kita bertanya mana yang bagian dan mana yang seluruh? Dengan kata lain: karyanya hanya mirip lukisan, atau pura-pura menjadi lukisan.
Terkadang Alfi membiarkan kita hanyut dalam kekosongan. Tampaklah manusia terbaring di awan pada Melayang 1, tapi ia baru setengah selesai: ia kecil dan hilang-hilang timbul pada bidang gambar. Ia tak berjantina, maka kau boleh menyebutnya parodi terhadap sosok Odalisque atau Olympia, bahkan Wisnu dan Buddha terbaring yang terkenal itu. Sedangkan awan itu bukan awan, melainkan semacam ornamen yang belum rampung, mungkin motif ukiran Cina atau mega mendung batik Cirebon, boleh juga teratai yang bermetamorfosis. Semuanya dibiarkan tak lengkap, samar-samar, termasuk kerucut gunung yang tak meyakinkan itu, menyarankan bahwa apa yang kita lihat hanya maya jika bukan tipuan, menonjolkan rasa rawan, giris, kosong.
Lukisan ini mestilah berpasangan dengan Melayang 2, yang mencoba mengimbangi kehampaan itu dengan coreng-moreng tipis: warna dasar abu-abu dengan bercak (laburan, tempelan) kemerahan, kebiruan, hitam dan putih, lalu garis-garis lurus yang tak bersistem. Kita berusaha mencari-cari fokus di sini: sosok terbaring atau terbang itu seperti terputar 90 derajat, dan “melayang” atau “mengambang” pun menjadi “terikat”, “meleleh”, “berkubang”, atau “bertabrakan”. Rasa kosong itu adalah bagian dari disharmoni—atau sebaliknya. Tapi mungkin kita girang menemukan sejumlah sosok teratai, yang mengikat kita kembali dengan “nada dasar” himpunan lukisan Alfi.
Sesekali saya heran kenapa pelukis ini bisa juga cenderung kepada keheningan, kekhidmatan, dan kekosongan, seperti lelah dengan disharmoni dan keriuhan yang dikejarnya sendiri. Saya tersadar, ia mencoba melintasi titik jenuh (neo-)ekspresionisme: seakan ia mencoba mempercayai lagi tubuh yang nyaris habis atau remuk-redam termakan jerit, kesakitan dan histeria dalam kanvas Van Gogh, Munch, Dix, Bacon, De Kooning, dan Baselitz.
Kanvas Alfi mendedahkan rasa bosan dan lelah terhadap kegilaan itu. Tubuh harus diselamatkan, tapi layakkah ia dipercaya lagi? Itulah tubuh yang sulit menempatkan diri di antara benda-benda: atau materi inilah yang menolak takluk kepada kesadaran tubuh. Maka manusia—tubuh lengkap atau anggota tubuh—menjadi secebis sosok maya mirip kabut, bayangan, atau eter. Sosok yang mendekat atau hendak lenyap kepada hening dan kosong (dan dalam hal ini, Alfi mengingatkan kita kepada Francesco Clemente). Mungkinkah si teratai—satu-satunya organisme selain Homo sapiens sapiens—membantu kita sampai kepada ambang pembebasan ini?
Satu-satunya manusia yang meyakinkan dan layak dipercaya adalah diri Alfi, wajahnya sendiri. Diakah seorang Narsisus, pecinta diri yang gagal menyelamatkan manusia lain? Mungkin ia hanya peraih sisa kesempurnaan: anatomi dan faal seperti apa adanya, sewajar manusia. Wajahnya sahih, pejal, digambar dari samping, namun sungsang (mestinya tengadah, bukan?), terdesak kekosongan dan keluasan, mematung oleh nyala api putih atau kuncup teratai (Hang Down). Namun, sebagaimana Chatchai Puipia dan Agus Suwage, Alfi juga mendedahkan wajahnya yang mencoba memandang kita antara gamang dan garang, antara takut dan menakutkan, antara rela dan terpaksa, antara semangat dan sekarat. Seutas tali menusuk tembus telinganya, sementara di latar belakang kuntum-kuntum teratai seperti menjelma kobaran api (Kepala Dingin).
Dan Alfi melukis potret dirinya tanpa bola mata, menyarankan betapa sulitnya memandang, mencerap dunia kita. Hanya sekali ia melotot, (nah, kali ini biji matanya sempurna), wajahnya mencoba riang sekaligus ironis, seperti Groucho Marx, tapi dagunya terpotong, seakan ia hanya muncul sejenak di antara tenggelam yang kekal (Journey 10). Selebihnya, ia menggambar wajahnya seakan selubung, topeng, selaput, yang sekadar mampir pada dirinya, aku-nya: dan dua lukisan ini segera dicoret-moretnya pula, dan disandingkannya dengan foto dirinya dari samping dan belakang (seri Narsisofobia). Jelas ia bukan seorang Narsisus: ia justru pencuriga, pengkhianat diri. Ia melihat wajahnya sebagai derau (“noise,” begitu ditulisnya di kanvas), sumbang di antara rupa-rupa di dunia ini. Lalu dengan menyangkutkan dua lukisannya pada bidang kayu, ia seperti mengolok-olok karyanya sendiri.
Demikianla ia berbuat serong dengan—atau terhadap—karyanya sendiri. Ia memenuhi kita hanya dengan padma dan manusia ketika kita hampir menyerah kepada kalibut. Ia melukis: ia menodai lukisan: ia memurnikannya lagi. Didesaknya kita dengan coreng-moreng lalu ditariknya kita ke dalam hening dan kosong. Jumaldi Alfi Chaniago adalah paradoks itu sendiri: teratai yang menjelma api menjelma awan menjelma bayang-bayang. Wajah yang bersikeras menghibur namun juga mencacati diri. Tubuh yang berusaha utuh seraya meleleh. Belum juga lelah.
Langganan:
Postingan (Atom)