Senin, 29 September 2008

Delapan Sketsa tentang Pluralisme (7)

SERAGAM UNTUK YANG BERAGAM

Jika dunia seni rupa kita beragam—di sini kita berusaha mempercayai pemerian Sanento Yuliman dalam pelbagai telaahnya—maka pandangan yang merangkumnya masih miskin, kalau bukan seragam. Jumlah penulis seni rupa masih terlalu sedikit, dan yang sedikit itu tak bersaing satu sama lain, misalnya dalam penggunaan teori dan penilaian. Kecuali Jim Supangkat yang menulis Indonesian Modern Art and Beyond (1997), belum ada yang menulis buku, kecuali menghasilkan ulasan pendek di media massa; bahkan mereka yang lulusan ITB serupa dengan Jim dalam pandangan sejarah dan “ideologi”; semua adalah “pemikir” yang akan merasa gementar kalau tak memperhatikan fashion. Ada juga monografi tentang sejumlah pelukis, yang disponsori si pelukis sendiri (ingat, tak sedikit pelukis yang lebih kaya ketimbang lembaga seni rupa), sehingga kita bertanya-tanya tentang mutunya selaku telaah.

Saya juga percaya bahwa pendidikan tinggi seni rupa tak berubah secara mendasar. Mungkin ada variasi, misalnya para pengajar adalah mereka yang meyakini pluralisme; maka mereka ini tak memaksakan mazhab tertentu dalam pengajaran, sehingga, misalnya, di ITB bisa lahir “realisme baru” dan di ISI Yogyakarta “abstrak baru.” Pendidikan itu belum mampu benar-benar menghasilkan penelaah seni, kurator seni, sejarawan seni; jika pun ada, itu baru anomali, atau semacam hasil sampingan belaka. Lalu, seperti dikatakan Sanento, akademi seni rupa belum mampu mengintegrasikan seni rupa bawah ke dalam dirinya, sehingga kerajinan (kriya) tetaplah sektor “tradisional” yang terpisah dari sektor modern.

Kritik terhadap modernisme dan universalisme menghasilkan perluasan seni rupa atas, bukan seni rupa bawah. Kita belum melihat adanya kritik kriya dan desain; pengamat seni rupa kita tetap hanya tertarik pada tahap lanjut seni rupa modern—yakni apa yang telanjur disebut sebagai seni rupa kontemporer. Perluasan itu mempunyai dua muka. Yakni, pertama, adopsi kerajinan, barang sehari-hari, bahkan bukan-seni, sebagai bagian, seringkali bagian terpenting karya pribadi; kedua, internasionalisasi, yakni hadirnya kaum seniman kita dalam pameran-pameran di kancah internasional. Dengan enak, sekarang, kaum seniman kita mengambil karya kaum pengrajin, (bahkan menyuruh-buat barang itu), sebagai anasir, bahkan anasir terpenting dari karya mereka. Konon, inilah anti-formalisme, namun jelaslah tak sebersit pun nama kaum pengrajin itu disebut. Dan di panggung internasional, di mana para kurator juga menggemakan paduan suara tentang bangkitnya the subaltern, the other, the marginal, yang hadir adalah karya seni, bukan kerajinan; kaum seniman, dan bukan kaum pengrajin.