(untuk dirimu belaka, barangkali)
Jangan pernah lupa bahwa kau sering terbangun pagi oleh harum bagel bakar dari kedai bagel di belakang rumahmu. Apartemenmu kedap-suara luar biasa, sehingga tak mungkin kau terbangun oleh derap kendaraan yang kencang melaju di University Avenue, jalan raya urat nadi di depan kedai itu. (Ingatlah, di Jakarta kau kerap terbangun tiba-tiba oleh deru kendaraan di jalan-jalan yang “mengepung” rumahmu di Kebayoran Baru—terutama deru bajaj.)
Kotamu sekarang hanya kota yang dipinjamkan kepadamu. Jangan lupa bahwa kota itu terlihat seperti pematang dari atas pesawat—pematang yang diapit dua danau. (Itulah sebabnya sebuah koran mingguannya bernama Isthmus.) Danau-danau itu akan segera membeku dan kau bisa berjalan kaki ke tengah danau untuk melihat kubah Capitol, yang akan segera akan mengingatkan bahwa kau berada di sebuah negeri kulit putih yang ternyata sanggup memiliki seorang presiden berayah orang Kenya.
Usahakan bersepeda sebanyak mungkin sebelum salju benar-benar turun dan tumpukan salju meng-es. Pergilah ke pinggir danau, lihat bagaimana airnya membeku pelan-pelan. Jangan lupa ke Resurrection Cemetery, sebuah kompleks pekuburan tua yang luas di dekat apartemenmu. Perhatikan nama-nama di batu-batu nisan granit itu, terutama nama-nama Jerman dan Italia. Supaya kau ingat bahwa kematian tidak menakutkan. Ingatlah kata-kata temanmu penulis Yunani Chris Chrissoppoulos bahwa posisi vertikal kalian cuma sementara saja, dan posisi horisontal itu selama-lamanya.
Jangan was-was pergi ke Chicago lagi dan lagi, meski kota itu dingin mematikan pada akhir tahun dan awal tahun baru. Kau bisa tidur di bis Van Galder dan terbangun begitu ia sampai di Union Station di downtown. Bukankah kau baru saja menemukan William Kentridge di Museum of Contemporary Art, yang karyanya mengingatkanmu pada Agus Suwage di tahap awal? Bukankah kau suka memandangi wajahmu yang terpiuh pada telur logam Anish Kapoor di Millenium Park? Bukankah kau suka membuka ransel yang berisi kampungmu di Michigan Avenue dan State Street, terutama di Banana Republic? Bukankah kau ingin memanjakan lidahmu dengan kangkung belacan di Chinatown dan melihat lagi Edward Hopper dan Constantin Brancusi di Art Institute?
Meski kau percaya kolestrol dan asam uratmu sudah turun, makanlah daging seminggu sekali saja kalau bisa. Ikutlah nasihat belahan hatimu, yang tahu banyak tentang seni santap-menyantap di dunia ini. Jangan lagi membelanjakan 50 dollar untuk steak yang konon terbaik di kotamu. Sebab Samba Grill ternyata lebih maut: dengan 20 dollar untuk brunch buffet di hari Minggu, kau bisa mendapat daging lembu dan domba bakar yang luar biasa lembut dan nendang, yang diiris langsung ke piringmu melalui sebuah galah tusukan oleh pelayan berpakaian gaucho. Jangan lupakan salad-nya, supaya kau tetap bisa berjalan tegak. Demi Tuhan dan kesehatan, datanglah ke Samba dua bulan sekali saja.
Jangan lupa menggali ke Memorial Library, meski setiap masuk kau memerlukan pas baru. Jangan tenggelam di situ seperti 10 tahun lalu. Sekarang kau menemukan kembali René Depestre, sang eksil permanen dari Haiti. (Jangan lupa, temanmu Baudelaine Pierre mengingatkanmu akan namanya di Iowa City tahun lalu.) Kejar Depestre, lupakan dulu nama-nama yang lain. Sebab dia orang kampung seperti dirimu. Tangkap dia, sebab dia akan memberimu pelajaran bagaimana membawa sang kampung ke pusat-pusat dan pinggir-pinggir dunia.
Jangan lupa bahwa siang hanya berlangsung sembilan jam. Jangan mencuri cahaya matahari terlalu banyak untuk tulisanmu. Makanlah es krim kacang merah dan anggur hitam dan jeruk oranye (ya, orange, bukan grapefruit) dalam waktu yang setepat-tepatnya supaya malam tidak terlalu terasa panjang. Minumlah dua sloki anggur merah Shiraz supaya kau mengantuk pada pukul satu dinihari, dan sebelum tertidur jangan lupa mengingat lagi bahwa di negeri ini ada tidak kurang dari 300 sekolah penulisan kreatif tingkat MFA. Jadi bagaimana kau bisa ingat nama-nama penyair setelah Robert Hass dan Charles Simic?
Belilah syal ketiga, keempat, kelima dan seterusnya hanya di antara Thanksgiving Day dan Hari Natal biarpun kau ingin segera (sekarang kalau bisa!) lebih mantap lagi dengan jas panjang wul hitam-mu yang baru.
Jangan lupa menulis kepada temanmu Arif Bagus Prasetyo di Denpasar bahwa lidah berbeda dari pena. Bahwa kau percaya pada pena yang tajam, bukan lidah yang tajam. Bahwa khazanah tulisan di negerimu masih dikuasai oleh lidah, bukan pena. Bahwa banyak pasukan lidah menyaru sebagai penyair dan pengulas. Kau hampir saja menulis, “Pasukan lidah sedang mengangkat pena.” Tidak, mereka sedang mengangkat pedang. Bila lidah yang satu bertemu dengan lidah yang lain, mereka saling bertanya, “Kau berasal dari gerombolan mana?” Mereka sudah lupa bahwa pena lebih tajam ketimbang pedang.
Jumat, 21 November 2008
Jumat, 14 November 2008
Tentang Tegangan: Untuk Zen Hae
Pada dinding FaceBook saya, Bung bertanya—sebenarnya lebih menegaskan daripada mempertanyakan: “Kenapa ‘subjek lirik’ puisi-puisimu hampir selalu bersitegang dengan lawan-lawan bicaranya? Seperti tidak ada kata damai di antara mereka?”
Apa yang Bung katakan adalah apa yang Bung temukan dalam puisi saya. Dan, temuan itu belum tentu apa yang saya ciptakan, atau sengaja saya ciptakan. Begitulah seharusnya prinsip “pengarang sudah mati” berlaku. Sebuah teks memang mesti lebih luas ketimbang maksud si penulis.
Namun demikian, si penyair bisa juga berlaku sebagai pembaca puisinya sendiri. Terutama jika ia menimbang pendapat para pengulas. Malah ada juga baiknya si pengarang terlibat dalam diskusi, supaya ia tidak menyelewengkan doktrin “pengarang sudah mati” untuk menutupi kelemahan karyanya dan, terutama, kebodohannya sendiri. Pada suatu saat, penyair juga ibarat arsitek yang harus bertanggung jawab untuk bangunan yang dirancangnya.
Dalam sajak-sajak saya, si subjek lirik, yang juga bermacam-macam “ada”-nya, memang sepintas lalu kelihatan—atau kedengaran—bersitegang dengan lawan(-lawan) bicaranya. Namun tegangan atau ketegangan ini berspektrum luas, yakni mencakup makna yang dikandung oleh sang antonim.
Dalam “Roti”, misalnya, yang saya unggah ke FaceBook dan blog saya beberapa hari lalu, sudah jelas bahwa hubungan antara “aku” dan dia” (dan juga sosok-sosok lain) bergerak dalam kisaran makna sejumlah kata kerja terpakai, misalnya saja “menggandrungi” dan “bertarung”, “berunding” dan “berkhianat”.
Tegangan yang lebih besar sebenarnya bukan terjadi antar-persona. Sajak itu sendiri tarik-menarik dengan sumber yang dipakainya. Sebagaimana Bung baca di situ, sebuah kisah yang dipetik dari Perjanjian Baru (atau beberapa lukisan tentang itu) sudah malih begitu jauh, seraya mempertahankan sejumlah motif aslinya. Tegangan ini malah dipertegas—ataukah dilunakkan?—dengan semacam efek penjarakan (Verfremdungseffekt), misalnya dengan keraguan si aku apakah khazanahnya bermusim dua atau empat. (Nah, simbolisme bilangan ini mestinya juga membukakan arah yang lain lagi, bukan?)
Melompat ke sajak-sajak saya yang lain (dalam Jantung Lebah Ratu, misalnya), kita juga bisa bicara tentang tegangan yang beralih-malih. Dalam “Lembu Jantan”, si aku (yaitu si lembu) menghindar dari kejaran si pelukis yang telah menciptakannya, artinya, cenderung menghindari konflik; di bagian akhir memang terjadi tegangan, tapi ini bukan tension melainkan erection, yang harfiah dan simbolik sekaligus. Dalam “Kunang-kunang”, si aku melebur dalam si kami, setelah menduga-duga siapa kembarannya atau bundanya. Jadi, tegangan susut jadi harmoni. Dengan kata lain, ada “kata damai” di situ.
Bung sudah tahu bahwa banyak sajak saya bermain-main (ah, bertarung juga ya!) dengan penggandaan, pencerminan, pengembaran—atau ketergandaan, ketercerminan, keterkembaran. Tegangan (atau kebersitegangan) antara dua kembaran (yaitu dua kutub) hanya satu aspek saja dari “motif dasar” itu.
Kemudian, hubungan dwikutub itu sering mengundang—terkaburkan, atau terkelindan oleh—kutub ketiga, bahkan keempat. Dalam sajak “Lembu Jantan” atau “Burung Merak” misalnya. Atau dalam sajak “Tanpa Judul” (yang “terilhamkan” oleh poster karya Mieczyslaw Gorowski), yang belum saya terbitkan.
Sementara itu pula, aneka sajak saya yang lain menempuh arahnya masing-masing. Artinya, tidak terperangkap dalam pola penggandaan, jadi tiada mengandung tegangan atau “dialektika”. Bahkan dalam “Dua Belas Kilas Musim Gugur”, subjek lirik, khususnya si aku, tidak ada, atau hampir-hampir tidak ada. Seperti sekilas bayangan, yang akan segera lebur ke alam semesta yang tiada terpegang, atau ke kekosongan yang menguntitnya. Tapi dalam puisi modern, yang bernama kekosongan itu masih mengandung derau juga. Yaitu, derau bentuk. Berutang kepada haiku, sajak-sajak kecil dalam “Dua Belas Kilas” itu tahu bahwa satori tidak ada lagi di masa kini, apalagi dalam Bahasa Indonesia.
Apa yang Bung katakan adalah apa yang Bung temukan dalam puisi saya. Dan, temuan itu belum tentu apa yang saya ciptakan, atau sengaja saya ciptakan. Begitulah seharusnya prinsip “pengarang sudah mati” berlaku. Sebuah teks memang mesti lebih luas ketimbang maksud si penulis.
Namun demikian, si penyair bisa juga berlaku sebagai pembaca puisinya sendiri. Terutama jika ia menimbang pendapat para pengulas. Malah ada juga baiknya si pengarang terlibat dalam diskusi, supaya ia tidak menyelewengkan doktrin “pengarang sudah mati” untuk menutupi kelemahan karyanya dan, terutama, kebodohannya sendiri. Pada suatu saat, penyair juga ibarat arsitek yang harus bertanggung jawab untuk bangunan yang dirancangnya.
Dalam sajak-sajak saya, si subjek lirik, yang juga bermacam-macam “ada”-nya, memang sepintas lalu kelihatan—atau kedengaran—bersitegang dengan lawan(-lawan) bicaranya. Namun tegangan atau ketegangan ini berspektrum luas, yakni mencakup makna yang dikandung oleh sang antonim.
Dalam “Roti”, misalnya, yang saya unggah ke FaceBook dan blog saya beberapa hari lalu, sudah jelas bahwa hubungan antara “aku” dan dia” (dan juga sosok-sosok lain) bergerak dalam kisaran makna sejumlah kata kerja terpakai, misalnya saja “menggandrungi” dan “bertarung”, “berunding” dan “berkhianat”.
Tegangan yang lebih besar sebenarnya bukan terjadi antar-persona. Sajak itu sendiri tarik-menarik dengan sumber yang dipakainya. Sebagaimana Bung baca di situ, sebuah kisah yang dipetik dari Perjanjian Baru (atau beberapa lukisan tentang itu) sudah malih begitu jauh, seraya mempertahankan sejumlah motif aslinya. Tegangan ini malah dipertegas—ataukah dilunakkan?—dengan semacam efek penjarakan (Verfremdungseffekt), misalnya dengan keraguan si aku apakah khazanahnya bermusim dua atau empat. (Nah, simbolisme bilangan ini mestinya juga membukakan arah yang lain lagi, bukan?)
Melompat ke sajak-sajak saya yang lain (dalam Jantung Lebah Ratu, misalnya), kita juga bisa bicara tentang tegangan yang beralih-malih. Dalam “Lembu Jantan”, si aku (yaitu si lembu) menghindar dari kejaran si pelukis yang telah menciptakannya, artinya, cenderung menghindari konflik; di bagian akhir memang terjadi tegangan, tapi ini bukan tension melainkan erection, yang harfiah dan simbolik sekaligus. Dalam “Kunang-kunang”, si aku melebur dalam si kami, setelah menduga-duga siapa kembarannya atau bundanya. Jadi, tegangan susut jadi harmoni. Dengan kata lain, ada “kata damai” di situ.
Bung sudah tahu bahwa banyak sajak saya bermain-main (ah, bertarung juga ya!) dengan penggandaan, pencerminan, pengembaran—atau ketergandaan, ketercerminan, keterkembaran. Tegangan (atau kebersitegangan) antara dua kembaran (yaitu dua kutub) hanya satu aspek saja dari “motif dasar” itu.
Kemudian, hubungan dwikutub itu sering mengundang—terkaburkan, atau terkelindan oleh—kutub ketiga, bahkan keempat. Dalam sajak “Lembu Jantan” atau “Burung Merak” misalnya. Atau dalam sajak “Tanpa Judul” (yang “terilhamkan” oleh poster karya Mieczyslaw Gorowski), yang belum saya terbitkan.
Sementara itu pula, aneka sajak saya yang lain menempuh arahnya masing-masing. Artinya, tidak terperangkap dalam pola penggandaan, jadi tiada mengandung tegangan atau “dialektika”. Bahkan dalam “Dua Belas Kilas Musim Gugur”, subjek lirik, khususnya si aku, tidak ada, atau hampir-hampir tidak ada. Seperti sekilas bayangan, yang akan segera lebur ke alam semesta yang tiada terpegang, atau ke kekosongan yang menguntitnya. Tapi dalam puisi modern, yang bernama kekosongan itu masih mengandung derau juga. Yaitu, derau bentuk. Berutang kepada haiku, sajak-sajak kecil dalam “Dua Belas Kilas” itu tahu bahwa satori tidak ada lagi di masa kini, apalagi dalam Bahasa Indonesia.
Senin, 10 November 2008
Roti: Sebuah Fragmen
Kami duduk bertiga belas: meja ini sangat panjang, panggung ini terlalu lapang. Aku dan ia seakan sejauh dua bintang, dua kerdip yang berupaya bertukar getar. Ia berada di ujung sana, seakan di puncak semenanjung terjauh: wajahnya tertutup gelap, gelap yang hampir sempurna. Tapi ia seperti tumbuh mendekat ke setiap kami. Sungguh, kami takut jika wajah kami menulari wajahnya, tapi kami bahagia mencium bau tubuhnya di antara rasa lapar kami. Aku tahu ia mengenali kami satu demi satu; sedangkan kami serupa murid yang, setengah-dungu setengah-angkuh, hanya bisa menebak nama satu sama lain, dan saling mencurigai siapa di antara kami akan berkhianat lebih dulu.
Ia memandang ke segala arah, ke wajah kami, juga ke balik tengkuk kami, ke arah kapal-kapal yang datang dan pergi nun di sana. Sedangkan kami gementar diam-diam, takut melepaskan diri dari wujudnya. Itu sebabnya aku suka membayangkan satu atau beberapa di antara kami akan melenyapkan ia sebelum tengah malam, sebelum kami benar-benar mabuk dan saling menggandrungi. Semoga di parak pagi kami tak lagi bertempur atau sekadar melihat pasukan kami saling membasmi: dan kami akan beroleh kembali negeri kami, kampung halaman kami, masing-masing, dengan damai.
Kudengar ia berkata, (semoga aku tak keliru menirukannya), “Seseorang di antara engkau akan menyerahkan aku.” Mungkin tak seorang pun menyimaknya selain aku, sebab kami mulai menyentuh piring dan gelas dengan tangan yang masih mengandung tilas darah dan getah, kerak yang seakan menyatu ke kulit jangat. Baru saja kami mengucapkan selamat tinggal kepada segenap senjata dan kereta kami, agar kami lebih mahir berunding dan bersantap. Sungguh kami telah mencuci muka kami hingga berkilau-kilau, agar kami bukan lagi penyaru yang membekuk dari belakang. Lihat, kami telah bergerak begitu cepat ke gelanggang jamuan ini, menembus berlapis-lapis dinding, menyangkal bertangkup-tangkup labirin.
Tapi ia bergerak lebih lekas ketimbang kami, sebab ia tahu kami akan tiba kemari dengan wajah orang suci, sedangkan ia membiarkan dirinya sebagai pendosa. Ia mengizinkan wujudnya tersaput kabut, bahkan lenyap dalam kabut; ia membiarkan luka-lukanya tak terlihat (tapi sebentar lagi, sabarlah, ia akan memamerkannya sebagian). Ketika kami tiba, ia sudah menunggu di ujung paling ungu itu, sedangkan kami hanya bisa lenggah di titik-titik merah padam ini, di mana lingkaran cahaya akan menghiasi kepala kami. Dalam lindap pohonan di taman ia berkata kepada kami, (semoga aku tak berlebihan mengulangnya untukmu), “Malam ini, sebelum ayam berkokok, engkau akan menyangkal aku tiga kali.”
Bukankah kami gagal membatasi ruang di mana kami harus saling bertatapan? Lihat, ternyata kami hanya dikitari dinding angin, dan kuping kami masih juga mengembara di dunia sana, mencari bisik dari segenap musuh dan sekutu kami, meski kami ingin saksama mendengar pepatah-petitihnya yang terakhir. Kami mendengar jerit burung-burung dan debur ombak ketika ia mulai menyentuh rotinya, dan gema panjang itu bercampur-baur dengan suaranya. Dan kami bayangkan jemarinya berkilat seperti ujung pedang namun lembut seperti daun pandan, dan roti itu seperti sebungkah daging, percayalah, seperti daging kami yang menakutkan. Tidak, kami tak akan membagikan daging kami untuk siapa pun, sehingga kami yakini ia memecah-mecah roti itu dan membagikannya untuk kami seraya berkata, (semoga aku tak mengutipnya demi diriku sendiri), “Ambillah, makanlah, sebab inilah tubuhku.”
Barangkali kami telah keliru: kami mengira gelanggang ini dikitari pepohon zaitun dan kurma. Kenapa pula kini kami melihat rerimbun kana, kesumba, dan kembang sepatu mengepung kami? Kenapa kami lupa apakah khazanah kami bermusim dua atau empat, ketika kami merasa telah mengikuti ia membaca kitab-kitab paling rahasia, memuliakan kaum perempuan, memakzulkan para raja dunia, atau berkhotbah di atas bukit? Sesekali bau amis dari laut naik ke meja mahabesar ini, menyadarkan kami bahwa kapal-kapal kami masih memuat senjata dan para serdadu kami di kemah-kemah sana terus menunggu isyarat kami kapan mereka harus mulai menyerang. Dengan sabar kami mengimpikan cahaya fajar tumpah ke wajahnya, dan cerlang wajah itu pastilah akan memojokkan kami berdua belas ini sebagai semacam rasul yang tak mampu menyainginya sampai kapan juga.
Tiba-tiba sosok yang lama terpaku di sebelah kiriku—betapa wajah kami serupa, dan kami mengenakan jubah hijau lumut yang sama, (dan kurasa kami pernah bertarung di tepi sebuah sungai)—berseru, “Kitalah yang membuat ia berada di sini. Mari kita adili ia sebab ia memang bakal martir sejati. Terlalu lama kita memperebutkan ia sebagai panglima kita. Bukankah ia terlalu berani untuk dunia ini?”
Ia memandang ke segala arah, ke wajah kami, juga ke balik tengkuk kami, ke arah kapal-kapal yang datang dan pergi nun di sana. Sedangkan kami gementar diam-diam, takut melepaskan diri dari wujudnya. Itu sebabnya aku suka membayangkan satu atau beberapa di antara kami akan melenyapkan ia sebelum tengah malam, sebelum kami benar-benar mabuk dan saling menggandrungi. Semoga di parak pagi kami tak lagi bertempur atau sekadar melihat pasukan kami saling membasmi: dan kami akan beroleh kembali negeri kami, kampung halaman kami, masing-masing, dengan damai.
Kudengar ia berkata, (semoga aku tak keliru menirukannya), “Seseorang di antara engkau akan menyerahkan aku.” Mungkin tak seorang pun menyimaknya selain aku, sebab kami mulai menyentuh piring dan gelas dengan tangan yang masih mengandung tilas darah dan getah, kerak yang seakan menyatu ke kulit jangat. Baru saja kami mengucapkan selamat tinggal kepada segenap senjata dan kereta kami, agar kami lebih mahir berunding dan bersantap. Sungguh kami telah mencuci muka kami hingga berkilau-kilau, agar kami bukan lagi penyaru yang membekuk dari belakang. Lihat, kami telah bergerak begitu cepat ke gelanggang jamuan ini, menembus berlapis-lapis dinding, menyangkal bertangkup-tangkup labirin.
Tapi ia bergerak lebih lekas ketimbang kami, sebab ia tahu kami akan tiba kemari dengan wajah orang suci, sedangkan ia membiarkan dirinya sebagai pendosa. Ia mengizinkan wujudnya tersaput kabut, bahkan lenyap dalam kabut; ia membiarkan luka-lukanya tak terlihat (tapi sebentar lagi, sabarlah, ia akan memamerkannya sebagian). Ketika kami tiba, ia sudah menunggu di ujung paling ungu itu, sedangkan kami hanya bisa lenggah di titik-titik merah padam ini, di mana lingkaran cahaya akan menghiasi kepala kami. Dalam lindap pohonan di taman ia berkata kepada kami, (semoga aku tak berlebihan mengulangnya untukmu), “Malam ini, sebelum ayam berkokok, engkau akan menyangkal aku tiga kali.”
Bukankah kami gagal membatasi ruang di mana kami harus saling bertatapan? Lihat, ternyata kami hanya dikitari dinding angin, dan kuping kami masih juga mengembara di dunia sana, mencari bisik dari segenap musuh dan sekutu kami, meski kami ingin saksama mendengar pepatah-petitihnya yang terakhir. Kami mendengar jerit burung-burung dan debur ombak ketika ia mulai menyentuh rotinya, dan gema panjang itu bercampur-baur dengan suaranya. Dan kami bayangkan jemarinya berkilat seperti ujung pedang namun lembut seperti daun pandan, dan roti itu seperti sebungkah daging, percayalah, seperti daging kami yang menakutkan. Tidak, kami tak akan membagikan daging kami untuk siapa pun, sehingga kami yakini ia memecah-mecah roti itu dan membagikannya untuk kami seraya berkata, (semoga aku tak mengutipnya demi diriku sendiri), “Ambillah, makanlah, sebab inilah tubuhku.”
Barangkali kami telah keliru: kami mengira gelanggang ini dikitari pepohon zaitun dan kurma. Kenapa pula kini kami melihat rerimbun kana, kesumba, dan kembang sepatu mengepung kami? Kenapa kami lupa apakah khazanah kami bermusim dua atau empat, ketika kami merasa telah mengikuti ia membaca kitab-kitab paling rahasia, memuliakan kaum perempuan, memakzulkan para raja dunia, atau berkhotbah di atas bukit? Sesekali bau amis dari laut naik ke meja mahabesar ini, menyadarkan kami bahwa kapal-kapal kami masih memuat senjata dan para serdadu kami di kemah-kemah sana terus menunggu isyarat kami kapan mereka harus mulai menyerang. Dengan sabar kami mengimpikan cahaya fajar tumpah ke wajahnya, dan cerlang wajah itu pastilah akan memojokkan kami berdua belas ini sebagai semacam rasul yang tak mampu menyainginya sampai kapan juga.
Tiba-tiba sosok yang lama terpaku di sebelah kiriku—betapa wajah kami serupa, dan kami mengenakan jubah hijau lumut yang sama, (dan kurasa kami pernah bertarung di tepi sebuah sungai)—berseru, “Kitalah yang membuat ia berada di sini. Mari kita adili ia sebab ia memang bakal martir sejati. Terlalu lama kita memperebutkan ia sebagai panglima kita. Bukankah ia terlalu berani untuk dunia ini?”
Sabtu, 08 November 2008
From the Station
For many years, I just passed through on the night train. She sat there peacefully, somewhere between my birthplace to the east and the city in the west where I studied geology. When the train stopped for a moment at the station in the middle of the night, she seemed to stir, as though preparing herself for my arrival at some point in the future. She remained hidden, because she seemed to have more history than any other city in the world. And I let myself look out at her precisely so that I could forget her; or maybe, so that I could take her shadow away in my suitcase.
I took the suitcase with me as I traveled around the world: I believed that it contained my hometown. But every time I opened it in a white or colored city abroad, what fluttered out were the shadows of the iron pillars and the giant clock at the train station; of the faded white walls of the fortress that believe themselves to be youthful forever; of the pool with its ornate Portuguese gate where the sultans played with their consorts; of the silver rainbow that shone shortly before the Ninth Sultan passed away; of the nine graceful dancers dressed in dark brown moving slowly like the South Sea; of the pair of grand old banyan trees in the square that we passed through without our knowing whether they were asleep or awake; of the pedicab drivers who stop sweating as they pass the bird market; of the guards in their striped costumes who have never set eyes on an enemy....
Now, she is a map as vast as my own palm: I never just passed through her, because in fact my train only followed the trail of my sweat and blood. Look, look at the cities along our island in the night, like fireflies drawing closer to her, because she appears as a heart flowing with dazzling dark blood. Now, I live in another city which, they say, is the mother of all the cities of my country, a city that threatens to stretch across the entire planet, a city filled with too many faces in the harsh light of the afternoon, each of which is about to reach out and grab me, as though I were a marble Brancusi egg. But on the map saturated with these fireflies, no one can tell which is the egg and which is the heart. Believe me, I make her heart throb and she disperses me, so that you might imagine we’re twins:
She is a grand andesite statue from the time of Revolution; I wait patiently to clean the dust and moss from her face. She is like Semar and his sons, goading the pale-faced nobles at court; I am the painter who inscribes the scene onto a glass panel using the bright, vulgar colors of Flying Horse brand paint. She is the gong which sounds shyly in the Grand Mosque; I am the poet who tries to capture that echoes in my clumsy quatrain. I am the marble Brancusi egg that she sculpted into a newborn baby in light, hard wood. I am the whip that is tired of beating the horse; she raises me up and morphs me into a fan that cools the face of a sculptor. I am the mountain of rice and fruit that is taken out to the square on the Prophet’s birthday; leading the procession, she understands the elusive embrace of Mount Merapi. I am the ballad of the Andalusian Gypsy people; she is the children’s songs which robs me of my rhyme and rhythm.
Sometimes we are foes because she tames my friends too calmly. Like me, they have left their home towns behind. Unlike me, they think they own her and her history. When they steal my train, I know that the station, whose name is Tugu, continues to follow me. When they cover my map with their new homes and studios, I know that I still have the trail of my blood on the planted fence, the bicycle handlebar, or the plain cloth at Langenastran. Sometimes I wear their shoes and clothes so that she recognizes me no longer. At the flea market, or in front of the Central Post Office, or in the edge of the Sitihinggil hall, over and over again I say goodbye to my friends, those who are wearing my face, but, alas, they shout out to me, welcome, welcome, o, ye, our mother’s tongue, the tongue wounded by names....
For years and years, I learned how to say her name so that I would no longer have to praise her. She doesn’t like to compare herself with any other city on earth. From the station, I began to know how to forget my own face. I inscribed a map in my own palm where I plotted her many faces and told tales I will never completely comprehend. Then she let my friends, and probably my enemies as well, possess her so that I would not be bound to her. One morning, when one of her limbs was torn apart by a quake, I returned to my study of geology to persuade myself that her future was more apparent than her past. And she described the line of killers that floated gently over Merapi’s slopes as dirty, raucous sheep, so I will always be suspicious of all faces and all names.
(Translation by the author and Irfan Kortschak)
I took the suitcase with me as I traveled around the world: I believed that it contained my hometown. But every time I opened it in a white or colored city abroad, what fluttered out were the shadows of the iron pillars and the giant clock at the train station; of the faded white walls of the fortress that believe themselves to be youthful forever; of the pool with its ornate Portuguese gate where the sultans played with their consorts; of the silver rainbow that shone shortly before the Ninth Sultan passed away; of the nine graceful dancers dressed in dark brown moving slowly like the South Sea; of the pair of grand old banyan trees in the square that we passed through without our knowing whether they were asleep or awake; of the pedicab drivers who stop sweating as they pass the bird market; of the guards in their striped costumes who have never set eyes on an enemy....
Now, she is a map as vast as my own palm: I never just passed through her, because in fact my train only followed the trail of my sweat and blood. Look, look at the cities along our island in the night, like fireflies drawing closer to her, because she appears as a heart flowing with dazzling dark blood. Now, I live in another city which, they say, is the mother of all the cities of my country, a city that threatens to stretch across the entire planet, a city filled with too many faces in the harsh light of the afternoon, each of which is about to reach out and grab me, as though I were a marble Brancusi egg. But on the map saturated with these fireflies, no one can tell which is the egg and which is the heart. Believe me, I make her heart throb and she disperses me, so that you might imagine we’re twins:
She is a grand andesite statue from the time of Revolution; I wait patiently to clean the dust and moss from her face. She is like Semar and his sons, goading the pale-faced nobles at court; I am the painter who inscribes the scene onto a glass panel using the bright, vulgar colors of Flying Horse brand paint. She is the gong which sounds shyly in the Grand Mosque; I am the poet who tries to capture that echoes in my clumsy quatrain. I am the marble Brancusi egg that she sculpted into a newborn baby in light, hard wood. I am the whip that is tired of beating the horse; she raises me up and morphs me into a fan that cools the face of a sculptor. I am the mountain of rice and fruit that is taken out to the square on the Prophet’s birthday; leading the procession, she understands the elusive embrace of Mount Merapi. I am the ballad of the Andalusian Gypsy people; she is the children’s songs which robs me of my rhyme and rhythm.
Sometimes we are foes because she tames my friends too calmly. Like me, they have left their home towns behind. Unlike me, they think they own her and her history. When they steal my train, I know that the station, whose name is Tugu, continues to follow me. When they cover my map with their new homes and studios, I know that I still have the trail of my blood on the planted fence, the bicycle handlebar, or the plain cloth at Langenastran. Sometimes I wear their shoes and clothes so that she recognizes me no longer. At the flea market, or in front of the Central Post Office, or in the edge of the Sitihinggil hall, over and over again I say goodbye to my friends, those who are wearing my face, but, alas, they shout out to me, welcome, welcome, o, ye, our mother’s tongue, the tongue wounded by names....
For years and years, I learned how to say her name so that I would no longer have to praise her. She doesn’t like to compare herself with any other city on earth. From the station, I began to know how to forget my own face. I inscribed a map in my own palm where I plotted her many faces and told tales I will never completely comprehend. Then she let my friends, and probably my enemies as well, possess her so that I would not be bound to her. One morning, when one of her limbs was torn apart by a quake, I returned to my study of geology to persuade myself that her future was more apparent than her past. And she described the line of killers that floated gently over Merapi’s slopes as dirty, raucous sheep, so I will always be suspicious of all faces and all names.
(Translation by the author and Irfan Kortschak)
Langganan:
Postingan (Atom)