Selasa, 02 September 2008

Delapan Sketsa tentang Pluralisme (2)

MEMPERCAYAI DOMINASI

Dengan “heroisme” yang agak memalukan, pada awal 1990-an saya melayangkan kritik terhadap pusat, dalam hal ini pusat yang melestarikan modernisme. Pusat itu boleh jadi lembaga (pusat kesenian bersama organisasi dan jaringannya), yang bagi saya dibentengi pandangan romantik tentang seniman-sebagai-pencipta-agung, pembaruan, dan kebebasan kreatif. Dalam tulisan itu pula saya uarkan, bahwa kita tengah mengalami proses decentering, “arus-arus yang sangat sehat bergerak dengan pasti di luar, yakni arus-arus yang tidak berurusan dengan pusat, apalagi pusat kesenian. Beberapa karya dan kerja kesenian yang muncul dan hidup akhir-akhir ini tidak lagi menganggap sang pusat kesenian sebagai sumber legitimasi. Arus-arus itu muncul tidak dari pusat dan tidak menuju pusat.” Dan sebagai kalimat penutup: “Barangkali periode tanpa pusat telah mulai.”

Sungguh pendapat yang kekanak-kanakan. Sebab pusat itu sendiri tak pernah dominan: ia tak pernah berada di puncak piramida kemasyarakatan. Ia hanya menjadi tempat bercokol bagi sehimpun seniman (yang juga menjadi pengurus dewan kesenian, redaktur koran dan majalah, juri sayembara, dan guru kesenian) yang kebetulan mempunyai kesamaan pandangan—dan bukan konspirasi—dengan sebagian pandangan yang hidup di akademi seni rupa dan fakultas sastra, katakanlah semacam formalisme. Padahal ia sendiri menjadi wadah dari sekian banyak “gerakan perlawanan terhadap elitisme,” misalnya Gerakan Seni Rupa Baru pada pertengahan 1970-an. Namun, sungguh mengherankan bahwa lembaga yang rapuh itu terus dikecam sebagai benteng elitisme dan universalisme oleh kaum pluralis sejak Puisi Mbeling sampai Sastra Kontekstual. Bersama kaum pluralis itu, saya menderita rabun mata: menganggap sang pusat sebagai sumber legitimasi dan kriteria seni, padahal ia cuma gejala pinggiran dalam politik-budaya Indonesia mutakhir.

Saya uarkan pendapat saya yang kelewat polos itu tiga tahunan setelah saya menyaksikan Pameran Pasaraya Dunia Fantasi di Taman Ismail Marzuki—yang boleh dibilang sebagai kelanjutan Gerakan Seni Rupa Baru—yang membuat saya berkesimpulan, betapa mubazir seni rupa(-wan) yang (mencoba) “menurunkan diri” ke budaya massa-populer, jauh setelah Dada, Marcel Duchamp, Pop Art dan Joseph Beuys, kecuali ia sekadar menjadi pengulangan yang kehabisan darah. Saya tak percaya bahwa pameran itu bisa lebih memukau ketimbang Pasar Raya dan Dunia Fantasi beneran yang diparodikannya. Ia hanya menjadi semacam “seni konseptual.”

Saya bukan penyoal “ontologi” kesenian seperti Jim Supangkat dan kawan-kawan; saya hanya mencoba merumuskan pusat yang berkedok “seni modern” padahal hanya mampu menjalankan “seni nasional.” Dengan kata lain, waktu itu saya merindukan “pusat-pusat” lain—kecil-kecil namun tersebar rata—yang bisa menerobos kriteria dan sejarah nasional. Namun pameran itu menyisakan bagi saya pendapat Sanento Yuliman yang tercetak dalam katalog pameran itu—dan pendapat ini selalu diulanginya sampai ia berpulang: yaitu bahwa “kita harus berani menyingkirkan sekurang-kurangnya tiga hambatan pandangan yang merintangi kesadaran sosiologis”: kesatu, “pandangan serba tunggal yang menganggap hanya ada satu tata acuan yang melahirkan satu seni rupa”; kedua, “pandangan yang menggambarkan sejarah seni rupa kita sebagai suatu garis lurus”; ketiga, “pandangan yang mengutamakan seni rupa berpangkal pada artes liberales.” (bersambung)