BERLIN—JAKARTA—NEW YORK
Di Martin-Gropius-Bau, Berlin, pada musim semi 1993, saya kunjungi pameran besar “American Art in the 20th Century”. Tentulah saya tak mengharapkan seni rupa Amerika terwakili seluruhnya, tetapi saya ingin menyaksikan apa yang inti dan yang puncak dari modernisme Amerika. Yakni, kurang lebih sebuah pelaksanaan dari apa yang dikatakan kritikus Clement Greenberg tentang pencarian dan penggalian seni ke dalam esensinya sendiri, yang klimaksnya adalah “punahnya dengan sempurna isi ke dalam bentuk sehingga karya seni tak dapat diringkaskan baik seluruh maupun sebagian ke dalam apapun yang bukan karya itu sendiri.” Demikianlah, klimaks itu tercapai melalui Ekspresionisme Abstrak: saya bisa memahaminya (secara intelektual) dan belum mencerapnya (secara inderawi), kecuali mungkin Rothko dan Pollock. Dan setelah itu terjadilah serangkaian antiklimaks: Pop Art, seni konseptual, seni instalasi, seni video, dan kemudian Cindy Sherman dan Jeff Koons. Arthur C. Danto bicara tentang akhir seni: “Seni sudah menjelajah sejauh ia yang mampu dalam mencari identitas falsafinya: kinilah tugas filsafat agar menyatakan identitas itu dalam rumusan yang tepat.”
Di Indonesia, pada awal 1990-an, sejumlah orang, termasuk saya, termakan oleh arus serangan terhadap Barat yang konon serba tunggal, universal, homogen, dan dominan. Maka di Berlin itu saya bayangkan, bahwa jaringan museum di Amerika Serikat bahu membahu dengan kaum kritikus dan akademi dalam menebarkan jenis seni rupa yang mencerminkan klimaks-antiklimaks pencarian-pertarungan formalisme-antiformalisme. Saya bayangkan museum “puncak” seperti MoMA dan Whitney menjajakan puncak evolusi seni modern yang demikian.
Tentu saja saya keliru. Di kemudian hari, saya saksikan sendiri bahwa dua museum di New York itu benar-benar berbeda dari apa yang pernah saya bayangkan. MoMA bukan hanya mewadahi banyak lukisan yang tak cocok dengan pandangan Greenbergian, tapi juga barang “bukan seni” seperti mobil, helikopter, kursi, ember, vacuum cleaner, poster, misalnya. MoMA bukan pembela aliran New York—Ekspresionisme Abstrak dan antitesisnya, Pop Art. Sementara, banyak koleksi Whitney yang sama sekali tak mencerminkan pencarian formalisme: misalnya regionalisme Thomas Hart Benton dan John Stueart Curry, juga “realisme Amerika” Ben Shahn, Andrew Wyeth, Paul Cadmus.
Museum bisa menyemarakkan paradoks dan keserbaragaman dalam dirinya—meski ia dituntun oleh kriteria yang ketat juga. Ia ternyata bukan benar-benar ujung tombak dari modernisme Amerika. Museum bukan ruang homogen; jadi, mereka yang membidiknya sebagai benteng penunggalan pandangan seni rupa pastilah keliru sasaran. Ia bukan sebuah pulau terpencil: lihat, ruang-ruangnya adalah pantulan terbalik dari ruang-ruang di luar, sehingga seni rupa tak terpisah dari rupa-rupa lain. Ia, dari sudut pragmatis, berfungsi setara dengan kantor pos, stasiun, sekolah, restoran, universitas, gedung pengadilan, pusat belanja, pelabuhan udara, dan seterusnya, sehingga tersebar hampir rata ke seluruh negeri.
Di sana, pluralisme, multikulturalisme, political correctness, postmodernisme dibicarakan, dijalankan dengan kemantapan lembaga yang bukan main. (Inikah kontradiksi internal dalam kapitalisme mutakhir? Cara sang sistem untuk memperbarui diri terus-menerus?) Di tanah air saya, pluralisme diuar-uarkan dengan semangat baru terbangun dari mimpi. Kaum puluralis kita hanya “idealis,” sebab mereka tak punya dasar kelembagaan di sini. Hanya satu orang yang menegakkan pluralisme dalam kaitan dengan perbaikan kelembagaan, khususnya pendidikan seni rupa. Dialah Sanento Yuliman.