Kamis, 25 September 2008

Delapan Sketsa tentang Pluralisme (6)

KUR YANG PADU

Dalam sebuah obrolan, Bambang Bujono menyatakan, kritik seni rupa sekarang dibikin seakan si penulis tak pergi ke pameran, tak melihat karya. Bagi saya, itu sindiran untuk kaum “kritikus” yang terbalik-watak dengan Sanento: kritikus yang memihak “pikiran,” sehingga karya itu sendiri tak penting, kecuali sebagai apa yang diperalat “pikiran.” Hilang sudah kemampuan untuk berdialog dengan, apalagi mencandera, karya. Tak penting lagi bentuk, kecuali sebagai pembungkus “gagasan”. Saya menyebut hal ini sebagai hilangnya seni dalam kritik seni. Atau lebih “sederhana” lagi, tapi lebih mendasar: hilangnya kemampuan menulis kritik.

Pernyataan di atas boleh jadi berlebihan. Namun, serangan terhadap modernisme, telah membuat seniman dan kritikus takut untuk menjadikan kesenian sebagai sekadar hasil kepengrajinan. Jika kau membahas karya seni tanpa mengaitkannya dengan asal-usul, konteks, kekuasaan, paradigma, kau akan dicurigai sebagai modernis, universal, apolitis. Jika kau masuk ke elemen-elemen rupa, kau terkutuk jadi formalis, mungkin cap paling pahit dalam kehidupan “seni kontemporer” sekarang ini. Jika kau membuat kritik seni yang melawan formalisme, kau akan diasingkan sebagai pemisah seni dari kehidupan.

Dan kau tak bisa menilai. Sebab, berdasarkan asas pluralisme, seni hanya terikat kepada lingkup sejarah dan geografinya. Maka tak ada karya seni yang buruk, sebab ia selalu mengandung muatan politik: menilainya sebagai buruk, berarti menghalangi emansipasi. Atau jika kau bersikeras mengaji seni sebagai sesuatu bernilai dalam dirinya sendiri, kau akan tergolong sebagai penganut rezim bebas-nilai, dan ini adalah kedok kaum borjuis, kapitalis, universalis. Kalau kau seniman, bilanglah, seperti Joseph Beuys, bahwa setiap orang adalah seniman, meski hanya namamu, bukan nama mereka, yang akan masuk ke indeks, katalog pameran, dan buku sejarah seni. Seranglah semua lembaga yang melestarikan hirarki seni rupa modern, katakan bahwa mereka mengingkari gender, kulit berwarna, minoritas, sehingga mereka bisa membawakan multilkulturalisme. Hantamlah sejarah seni dunia sebagai perjalanan the great masters, yang mengabaikan ciptaan orang biasa, meski kau mungkin hanya bisa mencipta sedang-sedang belaka, mungkin buruk juga, meski kau bermimpi jadi puncak negerimu, puncak negeri berkembang, puncak Dunia Ketiga, puncak Belahan Selatan, dan seterusnya.

Katakan bahwa kebaruan, kejeniusan, keaslian hanyalah tirani masa lalu, supaya permalingan dan epigonisme bisa dianggap sebagai parodi, pastiche, ironi, kolase postmodernis. Kecamlah kapitalisme, maski “makhluk” inilah yang bisa menciptakan pusat-pusat internasional baru yang mengundangmu, memajang karyamu, mendengarkan suaramu. Katakan bahwa pluralisme sudah hidup, meski di negerimu lembaga-lembaga seni rupa tetap mandeg, dan jumlah kritikus setipis hitungan jari, seperti dua dasa warsa yang lalu. Katakan pluralisme dengan lantang, meski pendapatmu sama-sebangun dengan kaum pluralis yang lain, seperti kur yang padu. Maklum, kita hanya punya suara monolitik tentang pluralisme.