Jumat, 05 September 2008

Delapan Sketsa tentang Pluralisme (3)

KE KANCAH INTERNASIONAL

Sejumlah galeri atau “rumah seni” tumbuh sejak akhir 1980-an sampai pertengahan 1990-an: di sana konon kesenian “alternatif” dipamerkan. Barangkali itu benar, jika bandingannya adalah boom seni rupa—yang lebih tepat disebut boom lukisan—yang menurut Sanento Yuliman juga membawa mendung-pengiring, yaitu pemiskinan, pendusunan, pemingitan, pemusatan, serta ketiadaan pola-dan-acuan. Namun, saya curiga, yang alternatif itu mengambil manfaat dari boom juga, yakni menyeret orang muda kaya baru untuk membeli “lukisan alternatif” yang pasti lebih murah harganya ketimbang “lukisan baku” yang dijajakan dalam lelang dan galeri “konvensional.”

Galeri “alternatif” itu pun tak banyak jumlahnya. Dan masih menancap di kota-kota besar Jawa, di mana kegiatan seni rupa modern sudah “mentradisi.” Kita belum mendengar kegiatan semacam ini tumbuh di luar Jawa. Gerak menjauh dari pusat, alternatif terhadap khazanah seni rupa yang membeku? Mungkin ya, setidaknya untuk sementara. Meski galeri-galeri tersebut, misalnya Lontar dan Cemeti (dan dulu C-Line) tak berbeda satu sama lain: perupa yang sama, bergantian pameran dari yang satu ke yang lain. Sementara itu, Taman Ismail Marzuki meluruh, bukan sebagai akibat serangan kaum pluralis, melainkan karena ia jadi korban dari salah-urus, salah-perencanaan, dan kecerobohan para pengurusnya dan pemerintah daerah sekaligus. Bukankah ini satu bukti lagi bahwa kita tak sanggup memelihara lembaga? (Banyak kaum pluralis yang masygul, saya kira, ketika Ruang Pamer Utama, Teater Arena, Teater Tertutup dan Teater Terbuka, dibongkar; konon di bekas lahan itu akan tumbuh gedung-gedung pertunjukan dan pameran supermodern.)

Galeri “alternatif” agaknya menjadi salah satu pintu, bagi senirupawan mutakhir kita, untuk hadir ke dunia internasional. Dahulu, kaum senirupawan kita sibuk dengan memperebutkan dan memperbarui pengakuan nasional—melalui biennale, triennale, pameran tunggal di Jakarta, pelbagai penghargaan senirupa, dan sebagainya. Kini, kaum perupa kita dengan enak menjadi bagian dari lalu lintas internasional. Ada yang mengira bahwa galeri “alternatif” melakukan diplomasi yang pintar dengan kaum kurator luar negeri. Nyatanya, tidak. Sejumlah seniman baru muncul—atau lebih baik dikatakan membesar, karena mereka sudah aktif berpameran jauh sebelumnya—lewat galeri tersebut, seiring dengan munculnya “pusat-pusat” internasional baru yang kuratornya mencari pergaulan dan infomasi “alternatif.” Dengan kata lain, pluralisme internasional—pengakuan akan keserbaragamanan seni rupa di setiap negeri—mendorong tumbuhnya ragam seni rupa baru dalam negeri. Ragam ini secara aneh sering dinamai “seni rupa kontemporer.”

Ukuran nasional tak penting lagi? Demikianlah memang, di lingkup negeri sendiri. Tisna Sanjaya, Agus Suwage, Heri Dono, Nyoman Erawan, Arahmaiani, misalnya, tak terlihat berkerut dahi dengan tempat mereka dalam kancah seni rupa nasional, berbeda dengan angkatan-angkatan sebelumnya. Sejawat mereka yang jadi dosen di akademi seni rupa juga tak mempertahankan mazhab tertentu, berbeda dengan guru-guru mereka. Dan kecuali kriteria “alternatif,” Cemeti atau Lontar menampilkan jenis apa saja, tak menegaskan ciri satu sama lain, jauh berbeda dengan Galeri 291 Alfred Stieglitz atau Leo Castelli pada masanya, misalnya, yang memelopori corak tertentu. Juga tak ada lagi penghargaan untuk karya-karya terbaik, seperti yang pernah dilakukan Dewan Kesenian Jakarta, sumber kontroversi di antara kaum seniman.

Paradoksnya: lingkup nasional justru penting pada pameran internasional. Lantaran pluralisme mengandung kepatutan politik (political correctness) sekaligus kemudahan mengelola atas dasar “perserikatan bangsa-bangsa,” para kurator internasional masih menjadikan negara-bangsa sebagai titik tolak. Seniman yang diundang mesti mewakili negeri-bangsanya, bukan satuan lain, meskipun semangat pluralis mereka mestinya bisa menghadirkan “perwakilan” dari satuan yang tak berdasarkan negara bangsa, misalnya puak, etnisitas, atau kelas sosial.

Jim Supangkat, kurator kita yang giat di berbagai forum internasional, mendedahkan bahwa modernisme tak pernah tunggal, ada modernisme lain yang tak terlihat selain modernisme Barat. Kawasan dunia sesungguhnya mempunyai multimodernisme, atau modernisme pluralistik, yakni modernisme berdasarkan bangsa, masyarakat, atau kelompok masyarakat. Bagi saya, argumen ini tak mengarah ke dalam, ke tubuh bangsa sendiri, (misalnya untuk memperjuangkan sejarah kriya agar setara atau bersintuhan dengan sejarah seni modern), melainkan ke luar, ke kancah internasional, sebagai sarana negosiasi. Dan yang ditawarkan tetap “seni rupa atas”—saya pinjam istilah Sanento Yuliman—seni modern Indonesia yang berevolusi menjadi seni kontemporer, sebagai bagian seni rupa internasional. Inilah yang saya simpulkan dari buku Jim Supangkat Indonesian Modern Art and Beyond (1997). (bersambung)