Jumat, 19 September 2008

Delapan Sketsa tentang Pluralisme (5)

TAKZIM TERHADAP KARYA

Sanento Yuliman dalam setiap ulasannya memberi kita kekongkretan seni rupa. Seakan-akan ia tak menyatakan pikirannya kepada kita, namun membiarkan “barang” atau “makhluk” seni rupa itu bicara sendiri kepada kita. Sanento berlaku takzim kepada karya justru dengan tak menghambur-hamburkan pikirannya: ia tak meleburkan atau mengaburkan karya dengan apa-apa di luarnya. Karya atau kumpulan karya punya hidupnya sendiri. Barangkali dari Sanento saya belajar—tanpa saya sadari—untuk mencerap karya sebagai sesuatu yang unik, berharga dalam dirinya sendiri. Sanento tak lari kepada konteks, sejarah, gagasan (isi), sebelum ia menyingkap bentuk. Sebagai contoh, ulasannya tentang pameran lukisan Semsar Siahaan dan Nashar:

“Orang dapat melihat kelemahan Semsar dalam tarikan garis, dalam pencitraan obyek-obyek dalam ruang, bahkan dalam menggambar rinci, misalnya tangan. Gabungan antara kecenderungan kepada perian (deskripsi) obyek sehari-hari dan situasi dramatik di satu pihak, dan kecenderungan kepada gagasan simbolik di lain pihak, sering mengaburkan makna. Bayi dibebat kawat berduri, misalnya, adalah lambang kesewenangan dan derita. Tetapi diletakkannya dalam suatu situasi, misalnya dipangku oleh seorang lelaki (ayahnya?) yang memberinya transfusi. Sukar kita menekan kemelut pikiran mengapa bebat kawat tak dibuka lebih dulu? Siapa yang membebatnya? Dan lain-lain. Tapi gagasan simboliknya mencair.” (“Pusaran Semsar,” Dua Seni Rupa, 2001.)

“Lukisan Nashar memperlihatkan bahwa seniman ini memperlakukan akrilik hanya dengan satu cara. Bahan ini, tanpa campuran air, dipoleskan ke kanvas, Beberapa lukisan menunjukkan bahwa ia memulai kerja dengan mewarnai dulu kanvasnya. Kanvas ini lalu ditimpa, dengan garis atau bidang warna. Bahan dipoleskan dengan kuas. Sapuan relatif kecil dan pendek, dengan ketebalan cat yang nyaris sama: tidak terdapat sapuan tipis atau transparan. Sapuan ditarik tanpa kegemasan atau kecepatan yang mantap: Nashar tidak tertarik untuk memperlihatkan tenaga tangannya pada rekaman cat di kanvas. […] Ia rupanya tidak tertarik terhadap kemungkinan macam-macam perlakuan terhadap akrilik dan macam-macam efek yang dapat ditampilkannya. Ia tidak menjajaki dan menjelajahi sifat-sifat dan kemampuan-kemampuna akrilik. […] Nashar bukannya tanpa teknik. Ia hanya miskin teknik.” (“Dunia Fantasi Nashar,” Dua Seni Rupa, 2001.)

Bagi saya, Sanento seorang pragmatis: ia tidak mencari-cari pondasi atau “metafisika” dari karya. Sebaliknya: karya itu berarti dari unsur-unsurnya sendiri. Tentu, bukan berarti ia tak berteori: namun, teori mesti tumbuh dari pengalaman, pergaulan, pengkajian. Ia juga tak tertarik kepada fashion, bahkan kepada jargon, bukan karena tak menguasainya, tapi karena itu akan “menjajah” si karya, menghalanginya dari proses komunikasi. Dengan demikian, ia memperlakukan karya sebagai pantulan kepengrajinan, craftsmanship, yang punya nilai dalam dirinya sendiri, bukan “korban” dari konteks, sejarah, atau gagasan.

Seorang pragmatis bisa sekaligus pluralis? Ya, lantaran Sanento menjalankan kritik seni, tapi juga sosiologi seni—yang sering berimpit dengan sejarah seni. Dan ia tahu bagaimana membedakan dua bidang kajian itu. Kritik seni mencari kepaduan dan paradoks karya atau kumpulan karya, sosiologi seni mengajukan kritik budaya demi memperbaiki lembaga kesenian—pendidikan, penyebaran, perdagangan, penyimpanan seni misalnya—katakanlah untuk menjalankan demokratisasi, yaitu mengembalikan seni rupa sebagai milik umum. Kritik terhadap seni rupa atas tak berarti pemihakan buta ke seni rupa bawah, sedangkan kritik terhadap pandangan hirarkis bukanlah berarti tak pentingnya karya atau kumpulan karya keseorangan. Pengetahuannya yang luas tentang pelbagai khazanah membuat ia tak terjatuh ke dalam “hermeneutika kecurigaan”, yakni "metoda" yang banyak diamalkan oleh kaum pluralis setelah ia.