Teman-teman yang budiman,
Surat ini ditulis lantaran saya masih percaya, dan akan terus percaya kiranya, kepada pergaulan di dunia maya, khususnya di ranah Facebook ini, lebih khusus lagi jika pergaulan itu menyangkut rekan-rekan di bidang kesastraan dan kesenian.
Seperti anda ketahui, sejak tiga-empat notes yang terakhir, saya tidak men-tag siapapun. Dan akan begitulah seterusnya. Insya Allah.
Dengan demikian, sesiapa yang membaca notes saya adalah dia yang membaca dengan sukarela, dengan alasan apapun.
Secara sukarela pula saya menyambangi rumah maya teman-teman saya di Facebook ini, misalnya karena saya ingin tahu apa yang mereka tulis dan apa reaksi sidang pembaca terhadap tulisan mereka. Saya seorang penyigi yang akut, sebab saya ingin mengikuti perkembangan di bidang profesi dan minat saya.
Semakin saya sadari, bahwa saya tidak mungkin mengganggu anda (sekalipun anda adalah kawan akrab saya) hanya dengan mengirimkan petikan catatan harian atau nukilan riwayat hidup saya atau apa saja. Seperti saya katakan, datanglah ke rumah maya saya jika anda sempat; sila baca catatan saya jika anda ingin, dan sila buang jika anda meradang.
Apabila ada diskusi yang menarik di tempat anda, tentulah saya ikut. Meski dalam banyak kesempatan, saya ingin jadi penonton belaka, justru supaya saya lebih banyak belajar.
Maka saya heran jika saya dihimbau-himbau, bahkan ditarik-tarik, untuk ikut ke forum diskusi tertentu dengan pesan ke wall saya, seringkali pesan dengan tanda seru, bahkan tak jarang ditulis dengan huruf kapital semua.
Saya pun heran jika ada sejumlah notes dikirimkan dengan sengaja ke wall saya, hanya untuk mencibir—bahkan lebih dari mencibir—diri saya. Apakah sang pengirim ini tak yakin jika saya juga bisa membacanya sendiri di rumahnya? Atau ia justru menegaskan nilainya sebagai si tajam lidah—dan bukan si tajam pena?
Adapun gelanggang “berbalas komentar” itu seringkali “mencengangkan.” Saya bertanya-tanya, misalnya, bagaimana mungkin beberapa orang yang punya nama dalam bidang terkait, mengeluarkan umpat, cerca, belungsing, hujat, dan sejenisnya—yang sulit disebut komentar terhadap tulisan termaksud. (Saya mohon maaf jika saya pernah, satu-dua kali, mengeluarkan jawaban yang agak keras, tentu bukan makian, di dinding saya sendiri, tetapi itu saya tujukan kepada satu-dua teman dekat saya; artinya, salah-paham dengan cepat bisa diatasi.)
Mudah-mudahan jelaslah sekarang kenapa saya tak lagi mengirimkan notes ke dinding rumah maya siapapun juga.
Dan, saya kira anda sudah tahu bahwa note saya yang terakhir, “Surat Kertas Hijau Lumut,” yang terunggah minggu lalu, yang juga tak tercantol ke dinding siapapun, rupanya telah mengundang reaksi yang begitu berlebihan, yang sungguh tak wajar—yaitu penuh dengan umpat, cerca, belungsing, hujat, dan sejenisnya ke arah diri saya pribadi. Dan ini terjadi bukan di tempat saya, melainkan di tempat orang lain, yaitu Saudara Hasan Aspahani.
Seperti diketahui, note saya itu adalah satire yang mengarah ke dalam; ia tidak menyebut sesiapa yang ada di lingkaran Facebook saya, kecuali nama saya sendiri. Jika ia bersifat tajam, maka yang paling terkena tajamnya adalah diri saya sendiri.
Alangkah aneh jika sejumlah orang “terkena” oleh catatan saya itu. Jika demikian, catatan saya itu “meramalkan”; tapi kata ini tidak tepat; ia “meramalkan ke belakang,” yaitu mencandera kembali, secara tak langsung, lelaku mereka yang terkena itu. Yaitu, lelaku yang berhubungan dengan kiprah sastra saya, kitab puisi saya, dan sebagian situasi sastra Indonesia.
(Harus saya katakan, saya juga menerima sejumlah komentar untuk “Surat Kertas Hijau Lumut” di box saya: komentar yang serius, yang justru tajam karena tidak mengandung umpatan. Komentar inilah kiranya yang membuat saya menyiarkan note ini sesegera mungkin.)
Note Saudara Hasan Aspahani sendiri adalah reaksi yang masih masuk-akal terhadap note saya, namun patutlah disayangkan bahwa judul dan paragraf terakhirnya sangat pretensius dan menggerogoti isi tulisannya sendiri. Saya menduga judul itulah terutama yang memancing reaksi berlebihan terhadap diri saya pribadi—ya, sekali lagi, diri saya pribadi, bukan tulisan saya.
Jika anda sempat, bertandanglah ke rumah maya Saudara Hasan Aspahani: maka anda akan melihat bagaimana para “komentator” itu mengamalkan apa-apa yang sungguh bertentangan dengan tuntutan mereka sendiri di situ. Singkat kata, uar-uaran mereka menunjukkan “jati diri asli” mereka. Sila anda membuktikan sendiri.
Memang sukar dipercaya bahwa sebagian besar mereka adalah penyair dan penulis yang dikenal atau mulai dikenal di pentas nasional.
Saya pernah percaya bahwa diskusi di lingkaran Facebook ini lebih baik daripada di pelbagai milis dan blog, di mana banyak pelempar batu yang menyembunyikan tangan. Rupanya saya mulai keliru.
Seraya masih percaya pada pergaulan pikiran di Facebook ini, saya berharap kepada kaum pengumpat saya, yang adalah juga teman-teman saya di Facebook: bolehkah saya minta penjelasan kenapa anda begitu bersemangat menggaduhkan saya. Saya betul-betul berharap, dan menunggu jawaban anda segera—dengan cara apapun.
Kepada mereka yang sering mengirim notes yang sengaja mengolok-olok diri saya, saya juga bertanya kenapa anda begitu rajin bersoal-jawab dengan diri saya dengan cara yang penuh nafsu pula, itu pun dengan paksa menempelkan sesuatu ke dinding rumah saya.
Tentu saja penjelasan dan jawaban anda sangat penting, sebab, sekali lagi, saya masih percaya kepada pergaulan yang jujur dan terbuka di Facebook ini.
Tapi, tentu, anda punya hak untuk tidak menjawab. Seperti saya tegaskan, pergaulan kita, termasuk kehendak anda membaca notes saya dan memberi komentar, bersifat sukarela.
Baiklah, mungkin anda menjawab, mungkin juga tidak.
Atau, gampangnya begini: anda bebas melemparkan makian dan sumpah-serapah—tapi, tolong, jangan lagi di lingkaran saya. Jika demikian halnya, sudah waktunya kita berpisah. Anda menempuh jalan anda sendiri, saya menempuh jalan saya sendiri. Sebentar lagi, apa yang anda perkatakan bukan urusan kuping saya lagi, dan apa yang anda pertontonkan bukan urusan mata saya lagi.
Lingkaran Facebook saya harus menjadi lingkaran di mana anda tak terganggu oleh saya, demikian juga sebaliknya. Anda paham maksud saya, bukan?
Saya menghormati pergaulan di dunia minat dan profesi, yang bisa meluas ke dunia maya ini. Pembicaraan di dinding Facebook sama sekali tidak sama dengan pembicaraan antara dua orang di bilik terpencil. Dinding Facebook, bagi saya, selalu bersifat publik.
Demikianlah, dengan bantuan anda, saya akan mengecilkan lingkaran Facebook saya supaya gelanggang ini tetap hidup dan bermanfaat. Atau, izinkan saya menggunakan opsi remove from friends supaya hidup anda jauh lebih nyaman. Atau, mungkin lebih baik jika anda mendahului saya, daripada anda membuang waktu melempar olok-olok dan sumpah-serapah ke arah saya.
Terima kasih banyak atas perhatian anda. Salam hangat, —ND
Minggu, 14 Desember 2008
Senin, 08 Desember 2008
Surat Kertas Hijau Lumut
Semoga Tuan dalam keadaan sehat sejahtera. Sekarang ini saya hendak menyampaikan pengharapan saya. Semoga Tuan tak terkejut. Janganlah Tuan menganggap setiap note saya di Facebook ini sebagai puisi, dong. Tuan gimana sih? Masak setiap hal di dunia ini harus jadi puisi? Dan puisi itu kan nggak harus meliputi seluruh dunia. Biarpun Tuan mengamati saya setiap menit di dunia maya, janganlah menganggap saya jadi penyair 24 jam sehari & 365 hari setahun.
Jadi Tuan janganlah mengangkat tulisan saya tinggi-tinggi. Biasa-biasa saja deh. Sekarang saya tulis, misalnya, “Di panci hitam itu terdapat irisan jahe sejak tadi malam, semua mengeriput karena udara kering-dingin. Di sampingnya tegak sebuah cerek merah muda dengan polka dots. Di atas keduanya tergantung sebuah sarung tangan gemuk yang agak hangus, dan sebuah lingkar tapis untuk menahan percikan minyak panas dari wajan...”
Percayalah, kalimat-kalimat dalam tanda kutip itu deskripsi belaka tentang apa-apa yang ada di atas kompor listrik di apartemen kami di Harvey Street pada suatu hari bulan Desember ini. Sama sekali bukan puisi.
Jadi, apa yang Tuan baca dalam banyak notes saya benar-benar beberitaan, nukilan catatan harian, ulasan ringan, atawa sesuatu yang non-sastralah. Tidak perlu Tuan mencari-cari apa ada subjek lirik di situ. Atau apa ada kandungan intertekstualitas di situ. Si dia atau si aku adalah orang yang juga menulis surat ini.
Kalaupun Tuan menganggap notes di Facebook saya bersifat literer, saya mah seneng-seneng ajah. Sedikit tersanjung barangkali—tapi segera lupa setelah itu; maklumlah banyak yang perlu diurus dalam hidup sehari-hari, terutama di musim winter begini. Saya cuma khawatir kalau pendapat Tuan merusak studi sastra yang beneran, dan menyinggung perasaan para pengamat sastra sungguhan—bukan juru peta gadungan atau tukang sulap pinggir jalan—yang sudah berkeringat memikirkan sastra sepanjang waktu mereka.
Konon orang terjun ke Facebook ini supaya bisa gaul. Sungguhan deh. Jadi kaum Facebooker ini bisa dibilang Gaulis (bener lho, pake G besar, karena begitu dalem bobotnya), yang artinya tentu saja orang gaul sejati, bukan pengikut Charles de Gaulle. Dan karena itu saya beruntung jadi Gaulis juga (oh, barangkali setengah-Gaulis saja): bisa tahu banyak apa yang terjadi di luar dunia cetakan. (Terima kasih kepada Mas Djokodam, yang sudah lebih dulu memakai istilah “gaulis” ini.)
Saya umumkan sebagian tulisan saya, notes saya di Facebook, (juga, pada saat bersamaan, di blog saya), terutama untuk kebutuhan praktis saja. Ada sejumlah teman dekat yang ingin membaca “tulisan-tulisan saya yang lain,” di luar apa yang sudah terbit atawa diketahui selama ini. Ada beberapa wartawan & penyigi yang ingin tahu “aspek diri saya yang lain” (maaf, saya cenderung menolak wawancara lisan, yang sering mengecewakan; di samping bahwa saya ini pemalu bukan kepalang). Dan, tentu saja, untuk menjalin “tali silaturahmi”: sila baca jika anda ingin, sila buang jika anda meradang.
Komentar kecil untuk segala notes itu saya terima dengan senang hati. Terutama yang berbau ejekan. Maklumlah saya ini gemar mengejek diri sendiri. Ada juga yang berbau pertanyaan serius, dan belum kunjung mampu atawa sempat saya jawab.
Ada juga—barangkali—cibir atau kritik, tapi tak kunjung saya mengerti, karena ditulis dalam bahasa “canggih.” (Yah, mungkin saja itu diniatkan bergaya aforisme Walter Benjamin, siapa tahu?)
Maka saya senang juga jika di dinding Facebook saya ada kiriman karya berupa sajak, igauan, artikel dan apa saja. Saya pasti membaca semua, karena memang begitulah “tugas” saya. Percayalah, saya ini pengintip yang akut. (Selaku editor lembar sastra sebuah koran edisi Minggu di Jakarta, saya membaca segunung naskah setiap minggu—sudah hampir tujuh tahun ini.)
Ada yang sering mengirim ke wall saya sajak-sajak parodi yang textbookish (artinya penulisnya menunjukkan diri paham sajak-sajak modern dunia). Lucu juga sih. Nakalnya nggak seberapa. Cuma nakal-nakalan saja. Nggak lebih urakan & edan dibandingkan dengan Puisi Mbeling di majalah Aktuil di awal 1970-an (waktu itu mah umur Remy Sylado & kawan-kawan baru 20-an tahun belaka; tapi mereka ini dahsyat betul sebagai pemberontak sastra; nggak pernah lupa daku pada sajak-sajak Mbeling itu sampai kini).
Ada sejumlah penyair yang suka (atau bahkan selalu?) mengirimkan notes-nya berupa sajak, ya “sajak serius” atau “sajak beneran.” Nah, kepada mereka inilah mungkin sangkaan Tuan bisa berlaku. Barangkali seluruh isi dunia hendak mereka jadikan sajak. Selama 24 jam sehari agaknya mereka berpikir-pikir tentang puisi, puisi, puisi. Cuma, kalau saya boleh berharap kepada mereka: bolehkan saya dikirimi tulisan anda yang lain, yang bukan sajak? Sebab puisi itu kerap menjadi topeng belaka bagi ketidakmampuan menulis. Penyair itu harus mikir lho, jadi jangan gampang terharu nulis sajak terus. Maaf, maaf, maaf.
Jadi, Tuan janganlah melebih-lebihkan tulisan saya atau diri saya. Tuan sudah tahu kan kalau saya ini diberi julukan macam-macam? Anehlah, bahwa saya yang suka meremehkan diri-sendiri ini menjadi begitu penting di mata mereka.
Misalnya saja, saya ini dianggap kritikus sastra. Bahkan nama saya sampai jadi judul sebuah esai (“Siapa Takut Nirwan Dewanto?” atau “Siapa Takut, Nirwan Dewanto?”), yang disajikan di Konggres Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia 2004 dan kemudian dimuat di Kompas. Periksa saja di Google, berapa banyak tulisan yang menganggap saya ini kritikus. (Baiklah, saya akan jelaskan di kemudian hari kenapa saya tidak menyebut diri saya kritikus sastra, paling tidak sampai sekarang ini.)
Begitulah, ketika saya menerbitkan sebuah kitab puisi pada bulan April lalu, sejumlah pengamat (apakah mereka ini juru peta gadungan atau tukang sulap pinggir jalan, saya tidak tahu) hanya pura-pura berusaha keras meneropong buku saya. Tapi sebenarnya, mereka hanya mencari kait-mengait antara puisi saya dan apa yang pernah keluar dari mulut saya, riwayat saya, keringat saya, “politik” saya, pekerjaan saya, kaos kaki saya, kuburan saya, mesin stensil saya, rambut saya, anak kambing saya...
Jadi begitu panjang bayangan saya ini, sehingga mereka tidak mampu membaca kitab saya yang polos itu. Jadi, Tuan, kritik sastra itu memang tidak ada di kampung halaman kita. Semua dihantui takhayul, dendam kesumat dan kelisanan apa saja. Itulah sebabnya saya anjurkan kaum penyair—juga kaum pengamat yang tidak mau jadi juru peta gadungan dan tukang sulap pinggir jalan—belajar membaca lagi, menulis lagi.
Suatu hari, seorang “pengritik” cabutan itu melamar jadi teman Facebook saya, sambil mengirim pesan pendek, “Maaf, saya pernah membicarakan buku anda, meskipun cenderung negatif.” Saya segera menerima (meng-add gitu loh!) dia seraya menjawab, “Ndak masalah, Bung. Setiap tulisan selalu membuktikan mutunya sendiri sebelum dia membuktikan kelemahan tulisan/buku lain.” Jadi saya tak pernah mengambil kritik atau “kritik” sebagai menyinggung perasaan saya. Kalau “kritik” sastra dia buruk mutunya, itu adalah masalah dia sendiri, membuktikan kualitas dia sendiri.
Jadi, begitulah, Tuan. Saya mengharap Tuan menulis kritik sastra. Termasuk janganlah menganggap notes saya di Facebook ini sebagai puisi. Jangan lakukan name-dropping lagi—mengutip sejumlah nama, istilah, dan pendapat yang ndak perlu. Seperti sudah sering saya tulis, para “pengamat” kita sering hanya “menghapal teori”. Tuan bahkan sering gaya-gayaan belaka ber-Derrida dan ber-Benjamin. (Ini mah seharusnya kerjaan anak remaja yang baru masuk kuliah.) Di mana pendapat Tuan kalau kalimat-kalimat Tuan belum bisa berdiri tegak dan serangan tuan cuma argumen-argumenan? Bicarakan karya sastra; masuklah ke dalam karya sastra. Jangan nulis sesuatu yang “serba-besar” yang nggak jelas juntrungnya. Jangan meliuk-liuk, kalau Tuan belum bisa nulis kalimat yang biasa-biasa saja.
(Baru-baru ini masuk ke wall saya sebuah tulisan “filsafat.” Name-dropping lagi. Tapi lihat, nama filsuf Jerman dan judul buku/nama tokoh fiksi Spanyol yang disebut-sebut di sekujur tulisan itu keliru-tulis semua!)
Oh ya, Tuan. Jika Tuan hendak mengirim pesan (yang agak) pribadi, tolong jangan tulis ke wall Facebook saya. Tolong masukkan ke (in-)box saya saja.
Jadi saya benar-benar menanti tulisan kritik sastra Tuan. Di Facebook, di blog, di koran, di mana saja deh. Yang sungguh-sungguh membicarakan karya sastra. Biarpun pendek, saya akan girang. Kritik sastra. WHICH IS sangat amat perlu skaleeee (sok-sokan ber-heteroglossia neeeh!). Dan please jangan memaki-maki juru peta gadungan dan tukang sulap pinggir jalan kalau Tuan tanpa sadar termasuk golongan itu.
Salam hangat. —ND
Jadi Tuan janganlah mengangkat tulisan saya tinggi-tinggi. Biasa-biasa saja deh. Sekarang saya tulis, misalnya, “Di panci hitam itu terdapat irisan jahe sejak tadi malam, semua mengeriput karena udara kering-dingin. Di sampingnya tegak sebuah cerek merah muda dengan polka dots. Di atas keduanya tergantung sebuah sarung tangan gemuk yang agak hangus, dan sebuah lingkar tapis untuk menahan percikan minyak panas dari wajan...”
Percayalah, kalimat-kalimat dalam tanda kutip itu deskripsi belaka tentang apa-apa yang ada di atas kompor listrik di apartemen kami di Harvey Street pada suatu hari bulan Desember ini. Sama sekali bukan puisi.
Jadi, apa yang Tuan baca dalam banyak notes saya benar-benar beberitaan, nukilan catatan harian, ulasan ringan, atawa sesuatu yang non-sastralah. Tidak perlu Tuan mencari-cari apa ada subjek lirik di situ. Atau apa ada kandungan intertekstualitas di situ. Si dia atau si aku adalah orang yang juga menulis surat ini.
Kalaupun Tuan menganggap notes di Facebook saya bersifat literer, saya mah seneng-seneng ajah. Sedikit tersanjung barangkali—tapi segera lupa setelah itu; maklumlah banyak yang perlu diurus dalam hidup sehari-hari, terutama di musim winter begini. Saya cuma khawatir kalau pendapat Tuan merusak studi sastra yang beneran, dan menyinggung perasaan para pengamat sastra sungguhan—bukan juru peta gadungan atau tukang sulap pinggir jalan—yang sudah berkeringat memikirkan sastra sepanjang waktu mereka.
Konon orang terjun ke Facebook ini supaya bisa gaul. Sungguhan deh. Jadi kaum Facebooker ini bisa dibilang Gaulis (bener lho, pake G besar, karena begitu dalem bobotnya), yang artinya tentu saja orang gaul sejati, bukan pengikut Charles de Gaulle. Dan karena itu saya beruntung jadi Gaulis juga (oh, barangkali setengah-Gaulis saja): bisa tahu banyak apa yang terjadi di luar dunia cetakan. (Terima kasih kepada Mas Djokodam, yang sudah lebih dulu memakai istilah “gaulis” ini.)
Saya umumkan sebagian tulisan saya, notes saya di Facebook, (juga, pada saat bersamaan, di blog saya), terutama untuk kebutuhan praktis saja. Ada sejumlah teman dekat yang ingin membaca “tulisan-tulisan saya yang lain,” di luar apa yang sudah terbit atawa diketahui selama ini. Ada beberapa wartawan & penyigi yang ingin tahu “aspek diri saya yang lain” (maaf, saya cenderung menolak wawancara lisan, yang sering mengecewakan; di samping bahwa saya ini pemalu bukan kepalang). Dan, tentu saja, untuk menjalin “tali silaturahmi”: sila baca jika anda ingin, sila buang jika anda meradang.
Komentar kecil untuk segala notes itu saya terima dengan senang hati. Terutama yang berbau ejekan. Maklumlah saya ini gemar mengejek diri sendiri. Ada juga yang berbau pertanyaan serius, dan belum kunjung mampu atawa sempat saya jawab.
Ada juga—barangkali—cibir atau kritik, tapi tak kunjung saya mengerti, karena ditulis dalam bahasa “canggih.” (Yah, mungkin saja itu diniatkan bergaya aforisme Walter Benjamin, siapa tahu?)
Maka saya senang juga jika di dinding Facebook saya ada kiriman karya berupa sajak, igauan, artikel dan apa saja. Saya pasti membaca semua, karena memang begitulah “tugas” saya. Percayalah, saya ini pengintip yang akut. (Selaku editor lembar sastra sebuah koran edisi Minggu di Jakarta, saya membaca segunung naskah setiap minggu—sudah hampir tujuh tahun ini.)
Ada yang sering mengirim ke wall saya sajak-sajak parodi yang textbookish (artinya penulisnya menunjukkan diri paham sajak-sajak modern dunia). Lucu juga sih. Nakalnya nggak seberapa. Cuma nakal-nakalan saja. Nggak lebih urakan & edan dibandingkan dengan Puisi Mbeling di majalah Aktuil di awal 1970-an (waktu itu mah umur Remy Sylado & kawan-kawan baru 20-an tahun belaka; tapi mereka ini dahsyat betul sebagai pemberontak sastra; nggak pernah lupa daku pada sajak-sajak Mbeling itu sampai kini).
Ada sejumlah penyair yang suka (atau bahkan selalu?) mengirimkan notes-nya berupa sajak, ya “sajak serius” atau “sajak beneran.” Nah, kepada mereka inilah mungkin sangkaan Tuan bisa berlaku. Barangkali seluruh isi dunia hendak mereka jadikan sajak. Selama 24 jam sehari agaknya mereka berpikir-pikir tentang puisi, puisi, puisi. Cuma, kalau saya boleh berharap kepada mereka: bolehkan saya dikirimi tulisan anda yang lain, yang bukan sajak? Sebab puisi itu kerap menjadi topeng belaka bagi ketidakmampuan menulis. Penyair itu harus mikir lho, jadi jangan gampang terharu nulis sajak terus. Maaf, maaf, maaf.
Jadi, Tuan janganlah melebih-lebihkan tulisan saya atau diri saya. Tuan sudah tahu kan kalau saya ini diberi julukan macam-macam? Anehlah, bahwa saya yang suka meremehkan diri-sendiri ini menjadi begitu penting di mata mereka.
Misalnya saja, saya ini dianggap kritikus sastra. Bahkan nama saya sampai jadi judul sebuah esai (“Siapa Takut Nirwan Dewanto?” atau “Siapa Takut, Nirwan Dewanto?”), yang disajikan di Konggres Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia 2004 dan kemudian dimuat di Kompas. Periksa saja di Google, berapa banyak tulisan yang menganggap saya ini kritikus. (Baiklah, saya akan jelaskan di kemudian hari kenapa saya tidak menyebut diri saya kritikus sastra, paling tidak sampai sekarang ini.)
Begitulah, ketika saya menerbitkan sebuah kitab puisi pada bulan April lalu, sejumlah pengamat (apakah mereka ini juru peta gadungan atau tukang sulap pinggir jalan, saya tidak tahu) hanya pura-pura berusaha keras meneropong buku saya. Tapi sebenarnya, mereka hanya mencari kait-mengait antara puisi saya dan apa yang pernah keluar dari mulut saya, riwayat saya, keringat saya, “politik” saya, pekerjaan saya, kaos kaki saya, kuburan saya, mesin stensil saya, rambut saya, anak kambing saya...
Jadi begitu panjang bayangan saya ini, sehingga mereka tidak mampu membaca kitab saya yang polos itu. Jadi, Tuan, kritik sastra itu memang tidak ada di kampung halaman kita. Semua dihantui takhayul, dendam kesumat dan kelisanan apa saja. Itulah sebabnya saya anjurkan kaum penyair—juga kaum pengamat yang tidak mau jadi juru peta gadungan dan tukang sulap pinggir jalan—belajar membaca lagi, menulis lagi.
Suatu hari, seorang “pengritik” cabutan itu melamar jadi teman Facebook saya, sambil mengirim pesan pendek, “Maaf, saya pernah membicarakan buku anda, meskipun cenderung negatif.” Saya segera menerima (meng-add gitu loh!) dia seraya menjawab, “Ndak masalah, Bung. Setiap tulisan selalu membuktikan mutunya sendiri sebelum dia membuktikan kelemahan tulisan/buku lain.” Jadi saya tak pernah mengambil kritik atau “kritik” sebagai menyinggung perasaan saya. Kalau “kritik” sastra dia buruk mutunya, itu adalah masalah dia sendiri, membuktikan kualitas dia sendiri.
Jadi, begitulah, Tuan. Saya mengharap Tuan menulis kritik sastra. Termasuk janganlah menganggap notes saya di Facebook ini sebagai puisi. Jangan lakukan name-dropping lagi—mengutip sejumlah nama, istilah, dan pendapat yang ndak perlu. Seperti sudah sering saya tulis, para “pengamat” kita sering hanya “menghapal teori”. Tuan bahkan sering gaya-gayaan belaka ber-Derrida dan ber-Benjamin. (Ini mah seharusnya kerjaan anak remaja yang baru masuk kuliah.) Di mana pendapat Tuan kalau kalimat-kalimat Tuan belum bisa berdiri tegak dan serangan tuan cuma argumen-argumenan? Bicarakan karya sastra; masuklah ke dalam karya sastra. Jangan nulis sesuatu yang “serba-besar” yang nggak jelas juntrungnya. Jangan meliuk-liuk, kalau Tuan belum bisa nulis kalimat yang biasa-biasa saja.
(Baru-baru ini masuk ke wall saya sebuah tulisan “filsafat.” Name-dropping lagi. Tapi lihat, nama filsuf Jerman dan judul buku/nama tokoh fiksi Spanyol yang disebut-sebut di sekujur tulisan itu keliru-tulis semua!)
Oh ya, Tuan. Jika Tuan hendak mengirim pesan (yang agak) pribadi, tolong jangan tulis ke wall Facebook saya. Tolong masukkan ke (in-)box saya saja.
Jadi saya benar-benar menanti tulisan kritik sastra Tuan. Di Facebook, di blog, di koran, di mana saja deh. Yang sungguh-sungguh membicarakan karya sastra. Biarpun pendek, saya akan girang. Kritik sastra. WHICH IS sangat amat perlu skaleeee (sok-sokan ber-heteroglossia neeeh!). Dan please jangan memaki-maki juru peta gadungan dan tukang sulap pinggir jalan kalau Tuan tanpa sadar termasuk golongan itu.
Salam hangat. —ND
Jumat, 21 November 2008
Nasihat Awal Musim Dingin
(untuk dirimu belaka, barangkali)
Jangan pernah lupa bahwa kau sering terbangun pagi oleh harum bagel bakar dari kedai bagel di belakang rumahmu. Apartemenmu kedap-suara luar biasa, sehingga tak mungkin kau terbangun oleh derap kendaraan yang kencang melaju di University Avenue, jalan raya urat nadi di depan kedai itu. (Ingatlah, di Jakarta kau kerap terbangun tiba-tiba oleh deru kendaraan di jalan-jalan yang “mengepung” rumahmu di Kebayoran Baru—terutama deru bajaj.)
Kotamu sekarang hanya kota yang dipinjamkan kepadamu. Jangan lupa bahwa kota itu terlihat seperti pematang dari atas pesawat—pematang yang diapit dua danau. (Itulah sebabnya sebuah koran mingguannya bernama Isthmus.) Danau-danau itu akan segera membeku dan kau bisa berjalan kaki ke tengah danau untuk melihat kubah Capitol, yang akan segera akan mengingatkan bahwa kau berada di sebuah negeri kulit putih yang ternyata sanggup memiliki seorang presiden berayah orang Kenya.
Usahakan bersepeda sebanyak mungkin sebelum salju benar-benar turun dan tumpukan salju meng-es. Pergilah ke pinggir danau, lihat bagaimana airnya membeku pelan-pelan. Jangan lupa ke Resurrection Cemetery, sebuah kompleks pekuburan tua yang luas di dekat apartemenmu. Perhatikan nama-nama di batu-batu nisan granit itu, terutama nama-nama Jerman dan Italia. Supaya kau ingat bahwa kematian tidak menakutkan. Ingatlah kata-kata temanmu penulis Yunani Chris Chrissoppoulos bahwa posisi vertikal kalian cuma sementara saja, dan posisi horisontal itu selama-lamanya.
Jangan was-was pergi ke Chicago lagi dan lagi, meski kota itu dingin mematikan pada akhir tahun dan awal tahun baru. Kau bisa tidur di bis Van Galder dan terbangun begitu ia sampai di Union Station di downtown. Bukankah kau baru saja menemukan William Kentridge di Museum of Contemporary Art, yang karyanya mengingatkanmu pada Agus Suwage di tahap awal? Bukankah kau suka memandangi wajahmu yang terpiuh pada telur logam Anish Kapoor di Millenium Park? Bukankah kau suka membuka ransel yang berisi kampungmu di Michigan Avenue dan State Street, terutama di Banana Republic? Bukankah kau ingin memanjakan lidahmu dengan kangkung belacan di Chinatown dan melihat lagi Edward Hopper dan Constantin Brancusi di Art Institute?
Meski kau percaya kolestrol dan asam uratmu sudah turun, makanlah daging seminggu sekali saja kalau bisa. Ikutlah nasihat belahan hatimu, yang tahu banyak tentang seni santap-menyantap di dunia ini. Jangan lagi membelanjakan 50 dollar untuk steak yang konon terbaik di kotamu. Sebab Samba Grill ternyata lebih maut: dengan 20 dollar untuk brunch buffet di hari Minggu, kau bisa mendapat daging lembu dan domba bakar yang luar biasa lembut dan nendang, yang diiris langsung ke piringmu melalui sebuah galah tusukan oleh pelayan berpakaian gaucho. Jangan lupakan salad-nya, supaya kau tetap bisa berjalan tegak. Demi Tuhan dan kesehatan, datanglah ke Samba dua bulan sekali saja.
Jangan lupa menggali ke Memorial Library, meski setiap masuk kau memerlukan pas baru. Jangan tenggelam di situ seperti 10 tahun lalu. Sekarang kau menemukan kembali René Depestre, sang eksil permanen dari Haiti. (Jangan lupa, temanmu Baudelaine Pierre mengingatkanmu akan namanya di Iowa City tahun lalu.) Kejar Depestre, lupakan dulu nama-nama yang lain. Sebab dia orang kampung seperti dirimu. Tangkap dia, sebab dia akan memberimu pelajaran bagaimana membawa sang kampung ke pusat-pusat dan pinggir-pinggir dunia.
Jangan lupa bahwa siang hanya berlangsung sembilan jam. Jangan mencuri cahaya matahari terlalu banyak untuk tulisanmu. Makanlah es krim kacang merah dan anggur hitam dan jeruk oranye (ya, orange, bukan grapefruit) dalam waktu yang setepat-tepatnya supaya malam tidak terlalu terasa panjang. Minumlah dua sloki anggur merah Shiraz supaya kau mengantuk pada pukul satu dinihari, dan sebelum tertidur jangan lupa mengingat lagi bahwa di negeri ini ada tidak kurang dari 300 sekolah penulisan kreatif tingkat MFA. Jadi bagaimana kau bisa ingat nama-nama penyair setelah Robert Hass dan Charles Simic?
Belilah syal ketiga, keempat, kelima dan seterusnya hanya di antara Thanksgiving Day dan Hari Natal biarpun kau ingin segera (sekarang kalau bisa!) lebih mantap lagi dengan jas panjang wul hitam-mu yang baru.
Jangan lupa menulis kepada temanmu Arif Bagus Prasetyo di Denpasar bahwa lidah berbeda dari pena. Bahwa kau percaya pada pena yang tajam, bukan lidah yang tajam. Bahwa khazanah tulisan di negerimu masih dikuasai oleh lidah, bukan pena. Bahwa banyak pasukan lidah menyaru sebagai penyair dan pengulas. Kau hampir saja menulis, “Pasukan lidah sedang mengangkat pena.” Tidak, mereka sedang mengangkat pedang. Bila lidah yang satu bertemu dengan lidah yang lain, mereka saling bertanya, “Kau berasal dari gerombolan mana?” Mereka sudah lupa bahwa pena lebih tajam ketimbang pedang.
Jangan pernah lupa bahwa kau sering terbangun pagi oleh harum bagel bakar dari kedai bagel di belakang rumahmu. Apartemenmu kedap-suara luar biasa, sehingga tak mungkin kau terbangun oleh derap kendaraan yang kencang melaju di University Avenue, jalan raya urat nadi di depan kedai itu. (Ingatlah, di Jakarta kau kerap terbangun tiba-tiba oleh deru kendaraan di jalan-jalan yang “mengepung” rumahmu di Kebayoran Baru—terutama deru bajaj.)
Kotamu sekarang hanya kota yang dipinjamkan kepadamu. Jangan lupa bahwa kota itu terlihat seperti pematang dari atas pesawat—pematang yang diapit dua danau. (Itulah sebabnya sebuah koran mingguannya bernama Isthmus.) Danau-danau itu akan segera membeku dan kau bisa berjalan kaki ke tengah danau untuk melihat kubah Capitol, yang akan segera akan mengingatkan bahwa kau berada di sebuah negeri kulit putih yang ternyata sanggup memiliki seorang presiden berayah orang Kenya.
Usahakan bersepeda sebanyak mungkin sebelum salju benar-benar turun dan tumpukan salju meng-es. Pergilah ke pinggir danau, lihat bagaimana airnya membeku pelan-pelan. Jangan lupa ke Resurrection Cemetery, sebuah kompleks pekuburan tua yang luas di dekat apartemenmu. Perhatikan nama-nama di batu-batu nisan granit itu, terutama nama-nama Jerman dan Italia. Supaya kau ingat bahwa kematian tidak menakutkan. Ingatlah kata-kata temanmu penulis Yunani Chris Chrissoppoulos bahwa posisi vertikal kalian cuma sementara saja, dan posisi horisontal itu selama-lamanya.
Jangan was-was pergi ke Chicago lagi dan lagi, meski kota itu dingin mematikan pada akhir tahun dan awal tahun baru. Kau bisa tidur di bis Van Galder dan terbangun begitu ia sampai di Union Station di downtown. Bukankah kau baru saja menemukan William Kentridge di Museum of Contemporary Art, yang karyanya mengingatkanmu pada Agus Suwage di tahap awal? Bukankah kau suka memandangi wajahmu yang terpiuh pada telur logam Anish Kapoor di Millenium Park? Bukankah kau suka membuka ransel yang berisi kampungmu di Michigan Avenue dan State Street, terutama di Banana Republic? Bukankah kau ingin memanjakan lidahmu dengan kangkung belacan di Chinatown dan melihat lagi Edward Hopper dan Constantin Brancusi di Art Institute?
Meski kau percaya kolestrol dan asam uratmu sudah turun, makanlah daging seminggu sekali saja kalau bisa. Ikutlah nasihat belahan hatimu, yang tahu banyak tentang seni santap-menyantap di dunia ini. Jangan lagi membelanjakan 50 dollar untuk steak yang konon terbaik di kotamu. Sebab Samba Grill ternyata lebih maut: dengan 20 dollar untuk brunch buffet di hari Minggu, kau bisa mendapat daging lembu dan domba bakar yang luar biasa lembut dan nendang, yang diiris langsung ke piringmu melalui sebuah galah tusukan oleh pelayan berpakaian gaucho. Jangan lupakan salad-nya, supaya kau tetap bisa berjalan tegak. Demi Tuhan dan kesehatan, datanglah ke Samba dua bulan sekali saja.
Jangan lupa menggali ke Memorial Library, meski setiap masuk kau memerlukan pas baru. Jangan tenggelam di situ seperti 10 tahun lalu. Sekarang kau menemukan kembali René Depestre, sang eksil permanen dari Haiti. (Jangan lupa, temanmu Baudelaine Pierre mengingatkanmu akan namanya di Iowa City tahun lalu.) Kejar Depestre, lupakan dulu nama-nama yang lain. Sebab dia orang kampung seperti dirimu. Tangkap dia, sebab dia akan memberimu pelajaran bagaimana membawa sang kampung ke pusat-pusat dan pinggir-pinggir dunia.
Jangan lupa bahwa siang hanya berlangsung sembilan jam. Jangan mencuri cahaya matahari terlalu banyak untuk tulisanmu. Makanlah es krim kacang merah dan anggur hitam dan jeruk oranye (ya, orange, bukan grapefruit) dalam waktu yang setepat-tepatnya supaya malam tidak terlalu terasa panjang. Minumlah dua sloki anggur merah Shiraz supaya kau mengantuk pada pukul satu dinihari, dan sebelum tertidur jangan lupa mengingat lagi bahwa di negeri ini ada tidak kurang dari 300 sekolah penulisan kreatif tingkat MFA. Jadi bagaimana kau bisa ingat nama-nama penyair setelah Robert Hass dan Charles Simic?
Belilah syal ketiga, keempat, kelima dan seterusnya hanya di antara Thanksgiving Day dan Hari Natal biarpun kau ingin segera (sekarang kalau bisa!) lebih mantap lagi dengan jas panjang wul hitam-mu yang baru.
Jangan lupa menulis kepada temanmu Arif Bagus Prasetyo di Denpasar bahwa lidah berbeda dari pena. Bahwa kau percaya pada pena yang tajam, bukan lidah yang tajam. Bahwa khazanah tulisan di negerimu masih dikuasai oleh lidah, bukan pena. Bahwa banyak pasukan lidah menyaru sebagai penyair dan pengulas. Kau hampir saja menulis, “Pasukan lidah sedang mengangkat pena.” Tidak, mereka sedang mengangkat pedang. Bila lidah yang satu bertemu dengan lidah yang lain, mereka saling bertanya, “Kau berasal dari gerombolan mana?” Mereka sudah lupa bahwa pena lebih tajam ketimbang pedang.
Jumat, 14 November 2008
Tentang Tegangan: Untuk Zen Hae
Pada dinding FaceBook saya, Bung bertanya—sebenarnya lebih menegaskan daripada mempertanyakan: “Kenapa ‘subjek lirik’ puisi-puisimu hampir selalu bersitegang dengan lawan-lawan bicaranya? Seperti tidak ada kata damai di antara mereka?”
Apa yang Bung katakan adalah apa yang Bung temukan dalam puisi saya. Dan, temuan itu belum tentu apa yang saya ciptakan, atau sengaja saya ciptakan. Begitulah seharusnya prinsip “pengarang sudah mati” berlaku. Sebuah teks memang mesti lebih luas ketimbang maksud si penulis.
Namun demikian, si penyair bisa juga berlaku sebagai pembaca puisinya sendiri. Terutama jika ia menimbang pendapat para pengulas. Malah ada juga baiknya si pengarang terlibat dalam diskusi, supaya ia tidak menyelewengkan doktrin “pengarang sudah mati” untuk menutupi kelemahan karyanya dan, terutama, kebodohannya sendiri. Pada suatu saat, penyair juga ibarat arsitek yang harus bertanggung jawab untuk bangunan yang dirancangnya.
Dalam sajak-sajak saya, si subjek lirik, yang juga bermacam-macam “ada”-nya, memang sepintas lalu kelihatan—atau kedengaran—bersitegang dengan lawan(-lawan) bicaranya. Namun tegangan atau ketegangan ini berspektrum luas, yakni mencakup makna yang dikandung oleh sang antonim.
Dalam “Roti”, misalnya, yang saya unggah ke FaceBook dan blog saya beberapa hari lalu, sudah jelas bahwa hubungan antara “aku” dan dia” (dan juga sosok-sosok lain) bergerak dalam kisaran makna sejumlah kata kerja terpakai, misalnya saja “menggandrungi” dan “bertarung”, “berunding” dan “berkhianat”.
Tegangan yang lebih besar sebenarnya bukan terjadi antar-persona. Sajak itu sendiri tarik-menarik dengan sumber yang dipakainya. Sebagaimana Bung baca di situ, sebuah kisah yang dipetik dari Perjanjian Baru (atau beberapa lukisan tentang itu) sudah malih begitu jauh, seraya mempertahankan sejumlah motif aslinya. Tegangan ini malah dipertegas—ataukah dilunakkan?—dengan semacam efek penjarakan (Verfremdungseffekt), misalnya dengan keraguan si aku apakah khazanahnya bermusim dua atau empat. (Nah, simbolisme bilangan ini mestinya juga membukakan arah yang lain lagi, bukan?)
Melompat ke sajak-sajak saya yang lain (dalam Jantung Lebah Ratu, misalnya), kita juga bisa bicara tentang tegangan yang beralih-malih. Dalam “Lembu Jantan”, si aku (yaitu si lembu) menghindar dari kejaran si pelukis yang telah menciptakannya, artinya, cenderung menghindari konflik; di bagian akhir memang terjadi tegangan, tapi ini bukan tension melainkan erection, yang harfiah dan simbolik sekaligus. Dalam “Kunang-kunang”, si aku melebur dalam si kami, setelah menduga-duga siapa kembarannya atau bundanya. Jadi, tegangan susut jadi harmoni. Dengan kata lain, ada “kata damai” di situ.
Bung sudah tahu bahwa banyak sajak saya bermain-main (ah, bertarung juga ya!) dengan penggandaan, pencerminan, pengembaran—atau ketergandaan, ketercerminan, keterkembaran. Tegangan (atau kebersitegangan) antara dua kembaran (yaitu dua kutub) hanya satu aspek saja dari “motif dasar” itu.
Kemudian, hubungan dwikutub itu sering mengundang—terkaburkan, atau terkelindan oleh—kutub ketiga, bahkan keempat. Dalam sajak “Lembu Jantan” atau “Burung Merak” misalnya. Atau dalam sajak “Tanpa Judul” (yang “terilhamkan” oleh poster karya Mieczyslaw Gorowski), yang belum saya terbitkan.
Sementara itu pula, aneka sajak saya yang lain menempuh arahnya masing-masing. Artinya, tidak terperangkap dalam pola penggandaan, jadi tiada mengandung tegangan atau “dialektika”. Bahkan dalam “Dua Belas Kilas Musim Gugur”, subjek lirik, khususnya si aku, tidak ada, atau hampir-hampir tidak ada. Seperti sekilas bayangan, yang akan segera lebur ke alam semesta yang tiada terpegang, atau ke kekosongan yang menguntitnya. Tapi dalam puisi modern, yang bernama kekosongan itu masih mengandung derau juga. Yaitu, derau bentuk. Berutang kepada haiku, sajak-sajak kecil dalam “Dua Belas Kilas” itu tahu bahwa satori tidak ada lagi di masa kini, apalagi dalam Bahasa Indonesia.
Apa yang Bung katakan adalah apa yang Bung temukan dalam puisi saya. Dan, temuan itu belum tentu apa yang saya ciptakan, atau sengaja saya ciptakan. Begitulah seharusnya prinsip “pengarang sudah mati” berlaku. Sebuah teks memang mesti lebih luas ketimbang maksud si penulis.
Namun demikian, si penyair bisa juga berlaku sebagai pembaca puisinya sendiri. Terutama jika ia menimbang pendapat para pengulas. Malah ada juga baiknya si pengarang terlibat dalam diskusi, supaya ia tidak menyelewengkan doktrin “pengarang sudah mati” untuk menutupi kelemahan karyanya dan, terutama, kebodohannya sendiri. Pada suatu saat, penyair juga ibarat arsitek yang harus bertanggung jawab untuk bangunan yang dirancangnya.
Dalam sajak-sajak saya, si subjek lirik, yang juga bermacam-macam “ada”-nya, memang sepintas lalu kelihatan—atau kedengaran—bersitegang dengan lawan(-lawan) bicaranya. Namun tegangan atau ketegangan ini berspektrum luas, yakni mencakup makna yang dikandung oleh sang antonim.
Dalam “Roti”, misalnya, yang saya unggah ke FaceBook dan blog saya beberapa hari lalu, sudah jelas bahwa hubungan antara “aku” dan dia” (dan juga sosok-sosok lain) bergerak dalam kisaran makna sejumlah kata kerja terpakai, misalnya saja “menggandrungi” dan “bertarung”, “berunding” dan “berkhianat”.
Tegangan yang lebih besar sebenarnya bukan terjadi antar-persona. Sajak itu sendiri tarik-menarik dengan sumber yang dipakainya. Sebagaimana Bung baca di situ, sebuah kisah yang dipetik dari Perjanjian Baru (atau beberapa lukisan tentang itu) sudah malih begitu jauh, seraya mempertahankan sejumlah motif aslinya. Tegangan ini malah dipertegas—ataukah dilunakkan?—dengan semacam efek penjarakan (Verfremdungseffekt), misalnya dengan keraguan si aku apakah khazanahnya bermusim dua atau empat. (Nah, simbolisme bilangan ini mestinya juga membukakan arah yang lain lagi, bukan?)
Melompat ke sajak-sajak saya yang lain (dalam Jantung Lebah Ratu, misalnya), kita juga bisa bicara tentang tegangan yang beralih-malih. Dalam “Lembu Jantan”, si aku (yaitu si lembu) menghindar dari kejaran si pelukis yang telah menciptakannya, artinya, cenderung menghindari konflik; di bagian akhir memang terjadi tegangan, tapi ini bukan tension melainkan erection, yang harfiah dan simbolik sekaligus. Dalam “Kunang-kunang”, si aku melebur dalam si kami, setelah menduga-duga siapa kembarannya atau bundanya. Jadi, tegangan susut jadi harmoni. Dengan kata lain, ada “kata damai” di situ.
Bung sudah tahu bahwa banyak sajak saya bermain-main (ah, bertarung juga ya!) dengan penggandaan, pencerminan, pengembaran—atau ketergandaan, ketercerminan, keterkembaran. Tegangan (atau kebersitegangan) antara dua kembaran (yaitu dua kutub) hanya satu aspek saja dari “motif dasar” itu.
Kemudian, hubungan dwikutub itu sering mengundang—terkaburkan, atau terkelindan oleh—kutub ketiga, bahkan keempat. Dalam sajak “Lembu Jantan” atau “Burung Merak” misalnya. Atau dalam sajak “Tanpa Judul” (yang “terilhamkan” oleh poster karya Mieczyslaw Gorowski), yang belum saya terbitkan.
Sementara itu pula, aneka sajak saya yang lain menempuh arahnya masing-masing. Artinya, tidak terperangkap dalam pola penggandaan, jadi tiada mengandung tegangan atau “dialektika”. Bahkan dalam “Dua Belas Kilas Musim Gugur”, subjek lirik, khususnya si aku, tidak ada, atau hampir-hampir tidak ada. Seperti sekilas bayangan, yang akan segera lebur ke alam semesta yang tiada terpegang, atau ke kekosongan yang menguntitnya. Tapi dalam puisi modern, yang bernama kekosongan itu masih mengandung derau juga. Yaitu, derau bentuk. Berutang kepada haiku, sajak-sajak kecil dalam “Dua Belas Kilas” itu tahu bahwa satori tidak ada lagi di masa kini, apalagi dalam Bahasa Indonesia.
Senin, 10 November 2008
Roti: Sebuah Fragmen
Kami duduk bertiga belas: meja ini sangat panjang, panggung ini terlalu lapang. Aku dan ia seakan sejauh dua bintang, dua kerdip yang berupaya bertukar getar. Ia berada di ujung sana, seakan di puncak semenanjung terjauh: wajahnya tertutup gelap, gelap yang hampir sempurna. Tapi ia seperti tumbuh mendekat ke setiap kami. Sungguh, kami takut jika wajah kami menulari wajahnya, tapi kami bahagia mencium bau tubuhnya di antara rasa lapar kami. Aku tahu ia mengenali kami satu demi satu; sedangkan kami serupa murid yang, setengah-dungu setengah-angkuh, hanya bisa menebak nama satu sama lain, dan saling mencurigai siapa di antara kami akan berkhianat lebih dulu.
Ia memandang ke segala arah, ke wajah kami, juga ke balik tengkuk kami, ke arah kapal-kapal yang datang dan pergi nun di sana. Sedangkan kami gementar diam-diam, takut melepaskan diri dari wujudnya. Itu sebabnya aku suka membayangkan satu atau beberapa di antara kami akan melenyapkan ia sebelum tengah malam, sebelum kami benar-benar mabuk dan saling menggandrungi. Semoga di parak pagi kami tak lagi bertempur atau sekadar melihat pasukan kami saling membasmi: dan kami akan beroleh kembali negeri kami, kampung halaman kami, masing-masing, dengan damai.
Kudengar ia berkata, (semoga aku tak keliru menirukannya), “Seseorang di antara engkau akan menyerahkan aku.” Mungkin tak seorang pun menyimaknya selain aku, sebab kami mulai menyentuh piring dan gelas dengan tangan yang masih mengandung tilas darah dan getah, kerak yang seakan menyatu ke kulit jangat. Baru saja kami mengucapkan selamat tinggal kepada segenap senjata dan kereta kami, agar kami lebih mahir berunding dan bersantap. Sungguh kami telah mencuci muka kami hingga berkilau-kilau, agar kami bukan lagi penyaru yang membekuk dari belakang. Lihat, kami telah bergerak begitu cepat ke gelanggang jamuan ini, menembus berlapis-lapis dinding, menyangkal bertangkup-tangkup labirin.
Tapi ia bergerak lebih lekas ketimbang kami, sebab ia tahu kami akan tiba kemari dengan wajah orang suci, sedangkan ia membiarkan dirinya sebagai pendosa. Ia mengizinkan wujudnya tersaput kabut, bahkan lenyap dalam kabut; ia membiarkan luka-lukanya tak terlihat (tapi sebentar lagi, sabarlah, ia akan memamerkannya sebagian). Ketika kami tiba, ia sudah menunggu di ujung paling ungu itu, sedangkan kami hanya bisa lenggah di titik-titik merah padam ini, di mana lingkaran cahaya akan menghiasi kepala kami. Dalam lindap pohonan di taman ia berkata kepada kami, (semoga aku tak berlebihan mengulangnya untukmu), “Malam ini, sebelum ayam berkokok, engkau akan menyangkal aku tiga kali.”
Bukankah kami gagal membatasi ruang di mana kami harus saling bertatapan? Lihat, ternyata kami hanya dikitari dinding angin, dan kuping kami masih juga mengembara di dunia sana, mencari bisik dari segenap musuh dan sekutu kami, meski kami ingin saksama mendengar pepatah-petitihnya yang terakhir. Kami mendengar jerit burung-burung dan debur ombak ketika ia mulai menyentuh rotinya, dan gema panjang itu bercampur-baur dengan suaranya. Dan kami bayangkan jemarinya berkilat seperti ujung pedang namun lembut seperti daun pandan, dan roti itu seperti sebungkah daging, percayalah, seperti daging kami yang menakutkan. Tidak, kami tak akan membagikan daging kami untuk siapa pun, sehingga kami yakini ia memecah-mecah roti itu dan membagikannya untuk kami seraya berkata, (semoga aku tak mengutipnya demi diriku sendiri), “Ambillah, makanlah, sebab inilah tubuhku.”
Barangkali kami telah keliru: kami mengira gelanggang ini dikitari pepohon zaitun dan kurma. Kenapa pula kini kami melihat rerimbun kana, kesumba, dan kembang sepatu mengepung kami? Kenapa kami lupa apakah khazanah kami bermusim dua atau empat, ketika kami merasa telah mengikuti ia membaca kitab-kitab paling rahasia, memuliakan kaum perempuan, memakzulkan para raja dunia, atau berkhotbah di atas bukit? Sesekali bau amis dari laut naik ke meja mahabesar ini, menyadarkan kami bahwa kapal-kapal kami masih memuat senjata dan para serdadu kami di kemah-kemah sana terus menunggu isyarat kami kapan mereka harus mulai menyerang. Dengan sabar kami mengimpikan cahaya fajar tumpah ke wajahnya, dan cerlang wajah itu pastilah akan memojokkan kami berdua belas ini sebagai semacam rasul yang tak mampu menyainginya sampai kapan juga.
Tiba-tiba sosok yang lama terpaku di sebelah kiriku—betapa wajah kami serupa, dan kami mengenakan jubah hijau lumut yang sama, (dan kurasa kami pernah bertarung di tepi sebuah sungai)—berseru, “Kitalah yang membuat ia berada di sini. Mari kita adili ia sebab ia memang bakal martir sejati. Terlalu lama kita memperebutkan ia sebagai panglima kita. Bukankah ia terlalu berani untuk dunia ini?”
Ia memandang ke segala arah, ke wajah kami, juga ke balik tengkuk kami, ke arah kapal-kapal yang datang dan pergi nun di sana. Sedangkan kami gementar diam-diam, takut melepaskan diri dari wujudnya. Itu sebabnya aku suka membayangkan satu atau beberapa di antara kami akan melenyapkan ia sebelum tengah malam, sebelum kami benar-benar mabuk dan saling menggandrungi. Semoga di parak pagi kami tak lagi bertempur atau sekadar melihat pasukan kami saling membasmi: dan kami akan beroleh kembali negeri kami, kampung halaman kami, masing-masing, dengan damai.
Kudengar ia berkata, (semoga aku tak keliru menirukannya), “Seseorang di antara engkau akan menyerahkan aku.” Mungkin tak seorang pun menyimaknya selain aku, sebab kami mulai menyentuh piring dan gelas dengan tangan yang masih mengandung tilas darah dan getah, kerak yang seakan menyatu ke kulit jangat. Baru saja kami mengucapkan selamat tinggal kepada segenap senjata dan kereta kami, agar kami lebih mahir berunding dan bersantap. Sungguh kami telah mencuci muka kami hingga berkilau-kilau, agar kami bukan lagi penyaru yang membekuk dari belakang. Lihat, kami telah bergerak begitu cepat ke gelanggang jamuan ini, menembus berlapis-lapis dinding, menyangkal bertangkup-tangkup labirin.
Tapi ia bergerak lebih lekas ketimbang kami, sebab ia tahu kami akan tiba kemari dengan wajah orang suci, sedangkan ia membiarkan dirinya sebagai pendosa. Ia mengizinkan wujudnya tersaput kabut, bahkan lenyap dalam kabut; ia membiarkan luka-lukanya tak terlihat (tapi sebentar lagi, sabarlah, ia akan memamerkannya sebagian). Ketika kami tiba, ia sudah menunggu di ujung paling ungu itu, sedangkan kami hanya bisa lenggah di titik-titik merah padam ini, di mana lingkaran cahaya akan menghiasi kepala kami. Dalam lindap pohonan di taman ia berkata kepada kami, (semoga aku tak berlebihan mengulangnya untukmu), “Malam ini, sebelum ayam berkokok, engkau akan menyangkal aku tiga kali.”
Bukankah kami gagal membatasi ruang di mana kami harus saling bertatapan? Lihat, ternyata kami hanya dikitari dinding angin, dan kuping kami masih juga mengembara di dunia sana, mencari bisik dari segenap musuh dan sekutu kami, meski kami ingin saksama mendengar pepatah-petitihnya yang terakhir. Kami mendengar jerit burung-burung dan debur ombak ketika ia mulai menyentuh rotinya, dan gema panjang itu bercampur-baur dengan suaranya. Dan kami bayangkan jemarinya berkilat seperti ujung pedang namun lembut seperti daun pandan, dan roti itu seperti sebungkah daging, percayalah, seperti daging kami yang menakutkan. Tidak, kami tak akan membagikan daging kami untuk siapa pun, sehingga kami yakini ia memecah-mecah roti itu dan membagikannya untuk kami seraya berkata, (semoga aku tak mengutipnya demi diriku sendiri), “Ambillah, makanlah, sebab inilah tubuhku.”
Barangkali kami telah keliru: kami mengira gelanggang ini dikitari pepohon zaitun dan kurma. Kenapa pula kini kami melihat rerimbun kana, kesumba, dan kembang sepatu mengepung kami? Kenapa kami lupa apakah khazanah kami bermusim dua atau empat, ketika kami merasa telah mengikuti ia membaca kitab-kitab paling rahasia, memuliakan kaum perempuan, memakzulkan para raja dunia, atau berkhotbah di atas bukit? Sesekali bau amis dari laut naik ke meja mahabesar ini, menyadarkan kami bahwa kapal-kapal kami masih memuat senjata dan para serdadu kami di kemah-kemah sana terus menunggu isyarat kami kapan mereka harus mulai menyerang. Dengan sabar kami mengimpikan cahaya fajar tumpah ke wajahnya, dan cerlang wajah itu pastilah akan memojokkan kami berdua belas ini sebagai semacam rasul yang tak mampu menyainginya sampai kapan juga.
Tiba-tiba sosok yang lama terpaku di sebelah kiriku—betapa wajah kami serupa, dan kami mengenakan jubah hijau lumut yang sama, (dan kurasa kami pernah bertarung di tepi sebuah sungai)—berseru, “Kitalah yang membuat ia berada di sini. Mari kita adili ia sebab ia memang bakal martir sejati. Terlalu lama kita memperebutkan ia sebagai panglima kita. Bukankah ia terlalu berani untuk dunia ini?”
Sabtu, 08 November 2008
From the Station
For many years, I just passed through on the night train. She sat there peacefully, somewhere between my birthplace to the east and the city in the west where I studied geology. When the train stopped for a moment at the station in the middle of the night, she seemed to stir, as though preparing herself for my arrival at some point in the future. She remained hidden, because she seemed to have more history than any other city in the world. And I let myself look out at her precisely so that I could forget her; or maybe, so that I could take her shadow away in my suitcase.
I took the suitcase with me as I traveled around the world: I believed that it contained my hometown. But every time I opened it in a white or colored city abroad, what fluttered out were the shadows of the iron pillars and the giant clock at the train station; of the faded white walls of the fortress that believe themselves to be youthful forever; of the pool with its ornate Portuguese gate where the sultans played with their consorts; of the silver rainbow that shone shortly before the Ninth Sultan passed away; of the nine graceful dancers dressed in dark brown moving slowly like the South Sea; of the pair of grand old banyan trees in the square that we passed through without our knowing whether they were asleep or awake; of the pedicab drivers who stop sweating as they pass the bird market; of the guards in their striped costumes who have never set eyes on an enemy....
Now, she is a map as vast as my own palm: I never just passed through her, because in fact my train only followed the trail of my sweat and blood. Look, look at the cities along our island in the night, like fireflies drawing closer to her, because she appears as a heart flowing with dazzling dark blood. Now, I live in another city which, they say, is the mother of all the cities of my country, a city that threatens to stretch across the entire planet, a city filled with too many faces in the harsh light of the afternoon, each of which is about to reach out and grab me, as though I were a marble Brancusi egg. But on the map saturated with these fireflies, no one can tell which is the egg and which is the heart. Believe me, I make her heart throb and she disperses me, so that you might imagine we’re twins:
She is a grand andesite statue from the time of Revolution; I wait patiently to clean the dust and moss from her face. She is like Semar and his sons, goading the pale-faced nobles at court; I am the painter who inscribes the scene onto a glass panel using the bright, vulgar colors of Flying Horse brand paint. She is the gong which sounds shyly in the Grand Mosque; I am the poet who tries to capture that echoes in my clumsy quatrain. I am the marble Brancusi egg that she sculpted into a newborn baby in light, hard wood. I am the whip that is tired of beating the horse; she raises me up and morphs me into a fan that cools the face of a sculptor. I am the mountain of rice and fruit that is taken out to the square on the Prophet’s birthday; leading the procession, she understands the elusive embrace of Mount Merapi. I am the ballad of the Andalusian Gypsy people; she is the children’s songs which robs me of my rhyme and rhythm.
Sometimes we are foes because she tames my friends too calmly. Like me, they have left their home towns behind. Unlike me, they think they own her and her history. When they steal my train, I know that the station, whose name is Tugu, continues to follow me. When they cover my map with their new homes and studios, I know that I still have the trail of my blood on the planted fence, the bicycle handlebar, or the plain cloth at Langenastran. Sometimes I wear their shoes and clothes so that she recognizes me no longer. At the flea market, or in front of the Central Post Office, or in the edge of the Sitihinggil hall, over and over again I say goodbye to my friends, those who are wearing my face, but, alas, they shout out to me, welcome, welcome, o, ye, our mother’s tongue, the tongue wounded by names....
For years and years, I learned how to say her name so that I would no longer have to praise her. She doesn’t like to compare herself with any other city on earth. From the station, I began to know how to forget my own face. I inscribed a map in my own palm where I plotted her many faces and told tales I will never completely comprehend. Then she let my friends, and probably my enemies as well, possess her so that I would not be bound to her. One morning, when one of her limbs was torn apart by a quake, I returned to my study of geology to persuade myself that her future was more apparent than her past. And she described the line of killers that floated gently over Merapi’s slopes as dirty, raucous sheep, so I will always be suspicious of all faces and all names.
(Translation by the author and Irfan Kortschak)
I took the suitcase with me as I traveled around the world: I believed that it contained my hometown. But every time I opened it in a white or colored city abroad, what fluttered out were the shadows of the iron pillars and the giant clock at the train station; of the faded white walls of the fortress that believe themselves to be youthful forever; of the pool with its ornate Portuguese gate where the sultans played with their consorts; of the silver rainbow that shone shortly before the Ninth Sultan passed away; of the nine graceful dancers dressed in dark brown moving slowly like the South Sea; of the pair of grand old banyan trees in the square that we passed through without our knowing whether they were asleep or awake; of the pedicab drivers who stop sweating as they pass the bird market; of the guards in their striped costumes who have never set eyes on an enemy....
Now, she is a map as vast as my own palm: I never just passed through her, because in fact my train only followed the trail of my sweat and blood. Look, look at the cities along our island in the night, like fireflies drawing closer to her, because she appears as a heart flowing with dazzling dark blood. Now, I live in another city which, they say, is the mother of all the cities of my country, a city that threatens to stretch across the entire planet, a city filled with too many faces in the harsh light of the afternoon, each of which is about to reach out and grab me, as though I were a marble Brancusi egg. But on the map saturated with these fireflies, no one can tell which is the egg and which is the heart. Believe me, I make her heart throb and she disperses me, so that you might imagine we’re twins:
She is a grand andesite statue from the time of Revolution; I wait patiently to clean the dust and moss from her face. She is like Semar and his sons, goading the pale-faced nobles at court; I am the painter who inscribes the scene onto a glass panel using the bright, vulgar colors of Flying Horse brand paint. She is the gong which sounds shyly in the Grand Mosque; I am the poet who tries to capture that echoes in my clumsy quatrain. I am the marble Brancusi egg that she sculpted into a newborn baby in light, hard wood. I am the whip that is tired of beating the horse; she raises me up and morphs me into a fan that cools the face of a sculptor. I am the mountain of rice and fruit that is taken out to the square on the Prophet’s birthday; leading the procession, she understands the elusive embrace of Mount Merapi. I am the ballad of the Andalusian Gypsy people; she is the children’s songs which robs me of my rhyme and rhythm.
Sometimes we are foes because she tames my friends too calmly. Like me, they have left their home towns behind. Unlike me, they think they own her and her history. When they steal my train, I know that the station, whose name is Tugu, continues to follow me. When they cover my map with their new homes and studios, I know that I still have the trail of my blood on the planted fence, the bicycle handlebar, or the plain cloth at Langenastran. Sometimes I wear their shoes and clothes so that she recognizes me no longer. At the flea market, or in front of the Central Post Office, or in the edge of the Sitihinggil hall, over and over again I say goodbye to my friends, those who are wearing my face, but, alas, they shout out to me, welcome, welcome, o, ye, our mother’s tongue, the tongue wounded by names....
For years and years, I learned how to say her name so that I would no longer have to praise her. She doesn’t like to compare herself with any other city on earth. From the station, I began to know how to forget my own face. I inscribed a map in my own palm where I plotted her many faces and told tales I will never completely comprehend. Then she let my friends, and probably my enemies as well, possess her so that I would not be bound to her. One morning, when one of her limbs was torn apart by a quake, I returned to my study of geology to persuade myself that her future was more apparent than her past. And she described the line of killers that floated gently over Merapi’s slopes as dirty, raucous sheep, so I will always be suspicious of all faces and all names.
(Translation by the author and Irfan Kortschak)
Senin, 20 Oktober 2008
Jingga, Jingga
Saya kira saya datang terlambat. (Jakarta, dengan panas dan lembab dan bisingnya yang menyiksa, terlalu sulit buat ditinggalkan.) Mestinya saya tiba dua-tiga minggu lalu, di puncak musim gugur. Puncak: artinya udara belum terlalu dingin, dan dedaun kuning-jingga mengorak di mana-mana sebelum rontok perlahan. Sebelum kita bersiap-siap menyambut datangnya salju pertama atau kesiur angin es yang mengiris daun telinga. Memang, pepohon mapel di sekitar apartemen kami di Harvey Street sudah mulai gundul; atau, paling tidak, berdaun kuning-coklat. Tapi saya yakin di pinggir danau masih ada sejumlah pohon mapel yang saya nantikan benar-benar. Pepohon yang bukan sekadar benda, namun juga peristiwa. (Yang, kurang-lebih, pernah “mendesak” saya menulis 12 sajak bergaya haiku—tahun lalu, di Iowa City.)
Hari itu, begitu saya pulih dari letih-terbang, saya segera bergegas mengayuh sepeda hitam Schwinn saya. (Sepeda yang terlalu berdebu, karena saya tinggalkan terantai sendirian di halaman sejak tengah musim panas lalu.) Udara memang agak dingin, apalagi saya lupa mengenakan sarung tangan saya. Dari kejauhan, hutan mapel di Eagle Heights dan Picnic Point cenderung berwarna kekuningan, terkadang keemasan jika cahaya matahari menerobos dari celah awan. Saya lewati jalan pinggir danau itu lagi. Sudah beratus kali saya melewatinya. (Kami pernah tinggal di kota ini selama dua tahun menjelang 2000.) Danau begitu tenang dan kosong dan abu-abu. Masih banyak pohon berdaun hijau ternyata, sebelum mereka langsung menggunduli diri cepat-cepat sejak awal November nanti.
Di satu tikungan di jalan menanjak, saya temukan apa yang saya cari. Dua pohon mapel kekar tinggi berdaun jingga. Ya, jingga sungguh. Hari sudah lewat asar dan matahari tertutup awan, tapi tetap saja jejingga itu begitu kuat memamerkan diri. Saya mengayuh terus ke arah Memorial Union, berharap menemukan yang serupa di jalan ke sana. Ternyata tak ada. Saya kembali menyusuri jalan yang sama, ke arah yang berlawanan tentu. Kurang-lebih sejam kemudian, saya berada lagi di depan—atau di sisi—dua pohon itu, yang kini terterpa sinar matahari yang kuat menjelang senja. Sungguh, saya merasa layak memiliki musim gugur, meski untuk beberapa menit belaka. Ternyata saya belum terlambat. Meski saya tak yakin apakah saya mampu mengabadikannya. (Aneh, dalam bahasa kita “mengabadikan” adalah juga sinonim untuk “memotret.”) Sebab saya adalah seorang amatir. Yakni, dia yang berbuat bukan dengan teknik atau muslihat, namun rasa cinta.
Sabtu, 11 Oktober 2008
Derau Biru
Bagi orang baik-baik, seni itu halus dan indah. Maka coreng-moreng adalah pengganggu keindahan rupa, dan derau adalah perusak kehalusan bunyi. Namun lukisan Alfi terbangun dari coreng-moreng dan derau. Bukan berarti pelukis ini mengajak kita merayakan kalibut dan kekacauan. Sebaliknya, ia membawa kita kembali ke relung hening dan kosong, dengan melalui jalan zigzag dan sedikit berbahaya. Seakan kita hanya mungkin bermeditasi di tengah riuh-rendah benda dan citraan, dan mencapai sunyata dengan banjir cerita dan berita.
Untuk pameran tunggalnya di Jakarta dan Yogyakarta tujuh tahun lalu, saya menulis bahwa karya Alfi memelihara tegangan antara corat-coret dan keheningan, antara citraan riuh dan kekosongan, antara bidang dan ruang, antara persepsi pemirsa dan benda terlukis. Kanvasnya membawa petikan dari khazanah seni rupa modern dunia sekaligus dari rerupaan bukan-seni. Namun Alfi bergerak terus menuju sesuatu yang mirip abstraksi. Seakan menegaskan kembali prinsip kaum modernis, ia menggali terus hakekat medium lukisan justru dengan mendayagunakan apa yang tak nyeni—grafiti, gambar kanak, segala sesuatu yang sekadarnya—seperti terlihat dalam pamerannya Color Guide Series beberapa bulan lalu di Galeri Nadi, Jakarta.
Lukisan yang kita tatap ini berwarna biru tua kusam. Seperti bidang yang mengalami erosi tahap lanjut. Seperti sesuatu dari masa lalu, namun masih menuntut hadir di hari ini. Tapi memang dia hidup terus. Dengan selekeh dan bercak putih. Dengan tulisan, dalam ukuran besar dan kecil, yang bisa saja cetusan anak muda jalanan, bunyi iklan, lirik lagu pop, atau surat seorang tahanan politik. Ada juga tumbuhan kaktus, susunan sandal jepit, atau sekadar gumpalan yang menggapai ke langit. Sementara itu, leleran warna putih dan biru terasa tak henti mengalir ke bawah, seakan cat itu belum kering, dan lukisan belum juga selesai.
Warna biru dalam lukisan “Nyanyian Sunyi” ini sungguh tak stabil. Tapi tunggu dulu. Perhatikan sedikit warna merah yang membercak di sana-sini, yang membuat biru kusam ini seperti tirai yang menerawang, padahal kita tadinya mengiranya semacam dinding. Perhatikan pula dua garis lurus mendatar di tengah, yang membentuk semacam cakrawala, yang menjadikan lukisan Alfi semacam dua samudra maya. Kemudian sebongkah batu di latar depan, yang membuat sisa bidang sebagai latar belakang untuk dirinya belaka. Lagi-lagi kita tercenung oleh permainan kesan bidang dan ruang di situ.
Dan akhirnya, bingkai putih yang merupakan bagian lukisan itu sendiri. Inilah bingkai yang membuat derau rupa Jumaldi Alfi kembali sebagai anasir rupa belaka, anasir yang harus bermain dan cukup-diri dalam gelanggangnya sendiri. Lukisan bukan lagi cermin dari, melainkan subversi terhadap, kenyataan alam. Maka memandang adalah menguji pandangan sendiri. Menangkap rupa adalah menembus yang riuh-rendah menuju kekosongan baru, betapapun sementaranya. Hanya dalam paradoks kita menemukan kesetimbangan. Lukisan Alfi memberikan noda bila kita berpura-pura jadi orang baik-baik, tapi menjanjikan hening bila kita sungguh-sungguh pemandang yang cekatan.
—Postscriptum: Karya Alfi ini, “Nyanyian Sunyi” (akrilik di atas kanvas, 222 x 222 cm) akan tampil bersama 50-an karya dari 30 senirupawan yang lain dalam Dari Penjara ke Pigura, pameran pembukaan Galeri Salihara, Jalan Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, pada 18 Oktober-6 Desember 2008.—
Senin, 06 Oktober 2008
Tiga Serangkai
Potret yang terdapat dalam lukisan ini manis, namun sang lukisan lebih manis lagi. Kita mengenal potret dari dokumentasi IPPHOS itu: Sukarno, Hatta, Sjahrir—tiga pemimpin puncak dari republik yang baru berdiri—duduk di kursi rotan panjang, di Jakarta, 1946. Tak tampak ketegangan pada wajah ketiganya, bahkan momen itu terasa sebagai jeda dari sebuah obrolan ringan belaka. Mungkin saja ini semacam potret propaganda yang halus: ketiganya mesti mengatasi perbedaan mendasar tentang bagaimana bersiasat membawa sang republik muda menghadapi kekuatan penjajah lama yang hendak menancapkan diri kembali. Potret ini manis, seakan memperlawankan diri dengan revolusi kemerdekaan yang pahit dan berdarah di sebaliknya.
Pada lukisan karya S. Malela Mahargasarie ini, dinding kembang di latar belakang seperti menegaskan bahwa ketiganya memang hidup dalam perayaan perbedaan; ya, perayaan, sesuatu yang memberkati, membuka jalan. Bukan perpecahan, bukan perseteruan. Kembang-kembang besar dengan warna mahacerah itu tak memungkinkah kita menyarikan rasa pahit-getir atau muram-dukana dari kehadiran ketiga pemimpin. Bahkan sejumlah kuntum kembang mengambang di atas, atau tumbuh di antara, mereka: demikianlah lukisan ini sengaja berindah-indah, memperindah—atau mengindahkan—diri. Jangan lupa, kata “mengindahkan” (misalnya, dalam “mengindahkan perkataan guru”) berarti pula memperhatikan dengan saksama, atau meresapkan ke dalam diri. Mengindahkan pengalaman sang tiga serangkai di awal revolusi kemerdekaan itu adalah memetik pelajaran untuk hari ini, di mana perbedaan sering menjadi kutukan.
Di hadapan lukisan, terdapat sebuah sofa rotan di atas dasaran hitam persegi panjang berjerami. Sofa ini, yang serupa dengan sofa dalam lukisan, hangus sebagian besar habis terbakar. Demikianlah, gambaran dwimatra memperlawankan diri dengan instalasi trimatra di depannya. Bukan saja warna bunga-bunga kian terasa menyala di hadapan warna hitam gosong. Bukan saja putih pakaian tiga tokoh seperti melambangkan apa-apa yang suci murni ketika kita merasa getir memandang rotan yang sudah terbakar itu. Tiga tokoh dari masa lalu, sebuah kursi rotan dari masa kini: apakah sofa nyata itu warisan ketiganya, warisan yang tak mampu kita pelihara? Kini, kenapa perbedaan sering berlumur kekerasan? Tentu saja, kita bisa menduduki sofa itu jika mau, sebab ia memang ada di depan kita, di antara kita, sementara sang lukisan hanya kita pandang belaka, seperti zaman harum yang tak tersentuh. Atau mungkin kita sekadar bertanya siapakah yang telah membakarnya, sementara kita merasa telah mengindahkan cerita sejarah kita, rasa kebangsaan kita?
Tuan-tuan dan puan-puan, marilah kita belajar kembali apa itu mengindahkan. Maka sang tiga serangkai, latar kembang-kinembang, dan sofa rotan hangus dalam karya yang kita tatap ini bukan lagi sekadar pelambangan, melainkan pengalaman.
—Postscriptum: Karya S. Malela Mahargasarie ini, “Kesaksian I” (akrilik di atas kanvas dan instalasi media campuran, 200 x 200 x 200 cm), akan tampil bersama 50-an karya dari 30 senirupawan yang lain dalam Dari Penjara ke Pigura, pameran pembukaan Galeri Salihara, Jalan Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, pada 18 Oktober-6 Desember 2008.—
Jumat, 03 Oktober 2008
Empat Nama
Masih ada yang bertanya sampai beberapa waktu lalu, lewat surat-e maupun lisan, siapakah nama-nama yang saya terakan pada empat sajak saya—“Telur Mata Sapi”, “Piring Terbang”, “Biduanita Botak”, dan “Bulan Madu”—yang termuat di Kompas, Minggu 24 Agustus 2008, hal. 28.
Harus saya katakan, bahwa membuat semacam catatan kaki untuk menjelaskan nama-nama itu adalah sejenis kecerewetan belaka. Lagipula, saya percaya, mereka yang penasaran akan mencari-tahu dengan bantuan Google, misalnya. Sebab nama-nama itu tercatat dalam khazanah kesenian sejagad.
Tentu saja, pembacaan sajak tak akan terhalang seandainya anda melewatkan nama-nama itu. Namun, saya merasa wajib mencantumkan, sebab saya memang berhutang kepada mereka, tepatnya kepada karya mereka. Empat sajak saya adalah penghormatan pada mereka. Dan “berhutang” memang tak selalu berarti “diilhami.” Ada kalanya sajak saya justru menantang atau menyelewengkan karya mereka.
Sigmar Polke (dalam “Telur Mata Sapi”) adalah pelukis Jerman. Goethe Institut pernah menyelenggarakan pameran lukisannya Music from an Unknown Source di Bentara Budaya Jakarta dua tahun lalu. Karyanya dengan ganjil menggabungkan Ekspresionisme Abstrak dan Pop Art. Tekstur dan warna olahannya mengasingkan yang populer dan yang sehari-hari, atau membanalkan yang asing dan yang tinggi.
Mao Xuhui (dalam “Piring Terbang”) adalah pelukis Cina Daratan. Saya pernah melihat dua lukisannya “Red Bodies” dan “Scissors and Sofa No.1” pada pameran Inside Out—New Chinese Art di Asia Society dan P.S. 1 Contemporary Art Center, New York pada musim gugur 1998. Dibandingkan dengan Realisme Pop Cina atau instalasi Xu Bing atau Cai Guoxiang, misalnya, dua lukisan yang didominasi warna merah itu kurang menarik perhatian. Tapi keduanya “bicara” banyak ketika bertahun-tahun kemudian saya menengoknya lagi di katalog pameran.
Elfriede Lohse-Wachtler (dalam “Biduanita Botak”) adalah pegambar Yahudi-Jerman yang gugur di kam konsentrasi Brandenburg, 1940. Di antara mereka yang digolongkan ke dalam Neue Sachlichkeit (Kelugasan Baru), mungkin Elfriede kurang dikenal. Namun karyanya, “Lissy”, cat air di atas kertas (1931)—yang saya lihat pada buku Sergiusz Michalski New Objectivity (1994)—memberi saya ironi yang mutlak melalui citraan perempuan.
Nobuyoshi Araki (dalam “Bulan Madu”) adalah fotografer Jepang yang cukup dikenal di tanah air, bahkan diikuti sejumlah fotografer kita. Saya melihat foto-foto erotiknya pertama kali pada 1992, kalau tak salah pada Kyoto Journal. Di kemudian hari, setelah melihat lebih banyak lagi karyanya, saya mencatat bahwa Araki menonjolkan genitalia (khususnya farji) sebagai sejenis benda belaka, sementara ia membuat benda jadi berkualitas erotis.
Sajak-sajak saya bukanlah komentar atau catatan kaki tentang karya mereka. Kalaupun mereka telah “mengilhami” saya, maka saya telah memiuhkan aspek paling menonjol dari karya yang bersangkutan. Bahkan karya saya telah melawan karya mereka. Namun, menjelas-uraikan keterhubungan—intertekstualitas?—puisi saya dengan berbagai lukisan, gambar dan foto itu bukanlah maksud tulisan singkat ini.
Harus saya katakan, bahwa membuat semacam catatan kaki untuk menjelaskan nama-nama itu adalah sejenis kecerewetan belaka. Lagipula, saya percaya, mereka yang penasaran akan mencari-tahu dengan bantuan Google, misalnya. Sebab nama-nama itu tercatat dalam khazanah kesenian sejagad.
Tentu saja, pembacaan sajak tak akan terhalang seandainya anda melewatkan nama-nama itu. Namun, saya merasa wajib mencantumkan, sebab saya memang berhutang kepada mereka, tepatnya kepada karya mereka. Empat sajak saya adalah penghormatan pada mereka. Dan “berhutang” memang tak selalu berarti “diilhami.” Ada kalanya sajak saya justru menantang atau menyelewengkan karya mereka.
Sigmar Polke (dalam “Telur Mata Sapi”) adalah pelukis Jerman. Goethe Institut pernah menyelenggarakan pameran lukisannya Music from an Unknown Source di Bentara Budaya Jakarta dua tahun lalu. Karyanya dengan ganjil menggabungkan Ekspresionisme Abstrak dan Pop Art. Tekstur dan warna olahannya mengasingkan yang populer dan yang sehari-hari, atau membanalkan yang asing dan yang tinggi.
Mao Xuhui (dalam “Piring Terbang”) adalah pelukis Cina Daratan. Saya pernah melihat dua lukisannya “Red Bodies” dan “Scissors and Sofa No.1” pada pameran Inside Out—New Chinese Art di Asia Society dan P.S. 1 Contemporary Art Center, New York pada musim gugur 1998. Dibandingkan dengan Realisme Pop Cina atau instalasi Xu Bing atau Cai Guoxiang, misalnya, dua lukisan yang didominasi warna merah itu kurang menarik perhatian. Tapi keduanya “bicara” banyak ketika bertahun-tahun kemudian saya menengoknya lagi di katalog pameran.
Elfriede Lohse-Wachtler (dalam “Biduanita Botak”) adalah pegambar Yahudi-Jerman yang gugur di kam konsentrasi Brandenburg, 1940. Di antara mereka yang digolongkan ke dalam Neue Sachlichkeit (Kelugasan Baru), mungkin Elfriede kurang dikenal. Namun karyanya, “Lissy”, cat air di atas kertas (1931)—yang saya lihat pada buku Sergiusz Michalski New Objectivity (1994)—memberi saya ironi yang mutlak melalui citraan perempuan.
Nobuyoshi Araki (dalam “Bulan Madu”) adalah fotografer Jepang yang cukup dikenal di tanah air, bahkan diikuti sejumlah fotografer kita. Saya melihat foto-foto erotiknya pertama kali pada 1992, kalau tak salah pada Kyoto Journal. Di kemudian hari, setelah melihat lebih banyak lagi karyanya, saya mencatat bahwa Araki menonjolkan genitalia (khususnya farji) sebagai sejenis benda belaka, sementara ia membuat benda jadi berkualitas erotis.
Sajak-sajak saya bukanlah komentar atau catatan kaki tentang karya mereka. Kalaupun mereka telah “mengilhami” saya, maka saya telah memiuhkan aspek paling menonjol dari karya yang bersangkutan. Bahkan karya saya telah melawan karya mereka. Namun, menjelas-uraikan keterhubungan—intertekstualitas?—puisi saya dengan berbagai lukisan, gambar dan foto itu bukanlah maksud tulisan singkat ini.
Rabu, 01 Oktober 2008
Delapan Sketsa tentang Pluralisme (8)
KEMBALI KE RUPA, KE GUNA
Hamparan putih salju pada bulan Januari di Midwest, patung berirama staccato karya Gregorius Siddharta Soegijo di Taman Pakubuwono Kebayoran Baru, daun-daun mapel yang merah kuning pada bulan November di sekitar apartemen saya di Eagle Heights, seni publik yang “kiri” pada masa kanak-kanak saya di Banyuwangi, kerumun massa pada lukisan Rivera, Orozco, Djoko Pekik, dan Hariadi, barik dan gumpalan pada lukisan Rothko, Miro dan Sadali, kaca pateri art deco di rumah-rumah tahun 1930-an, lesung tua dengan urat kayu bertonjolan yang teronggok di loteng rumah saya, rumah-rumah desa yang menyatu dengan pepohon beringin dan kamboja di pedesaan Bali, fosil kerang pada batugamping dari zaman Paleosen, warna kuning emas pada tubuh harimau dan kelopak bunga matahari, lukisan pemandangan pada tubuh becak, piring biru bergambar ikan dari Jepang tempat nasi saya—semuanya bernilai pada dirinya sendiri, tak terbandingkan satu sama lain. Dan berguna, kecuali jika kita menuntut masing-masing rupa itu berfungsi di luar watak dan wandanya sendiri.
Saya seorang pragmatis, karena saya berurusan dengan rupa; sedangkan pluralisme, hanya berseluk-beluk dengan seni rupa, lebih tepatnya pemikiran seni rupa. Bagi saya, pengalaman, juga pengalaman estetik, mendahului pemikiran. Namun, atas dasar pragmatisme ini pula saya bisa membedakan seni dari “kehidupan” demi dua alasan. Pertama, seni rupa pada dasarnya hanya disiplin untuk menemukan (kembali) pelbagai khazanah rupa yang terabaikan, terkubur, tersingkir oleh rutin—setara dengan, misalnya, fisika yang bisa mengingatkan kembali akan hukum dunia materi. Kedua, kita tak bisa berpura-pura kembali ke masa lampau di mana kehidupan ini belum terbagi-bagi ke dalam bidang-bidang, disiplin-disiplin kehidupan—bukankah disiplin pada dasarnya untuk memperbaiki kehidupan itu sendiri? Untuk yang pertama, kita memerlukan kritik seni; untuk yang kedua, sosiologi seni.
Bagi saya, pluralisme bukan untuk melenyapkan disiplin (demi impian kosong agar seni masuk lagi ke dalam kehidupan), meski sebagian kaum pluralis percaya demikian. Pluralisme adalah kritik kelembagaan, sebagaimana sudah dibuktikan oleh Sanento Yuliman. Pandangan plural tak bisa melenyapkan laboratorium, menara gading, studio, ruang pameran, perpustakaan, museum, akademi—sebab hanya dengan kantung-kantung “pengasingan” inilah kehidupan dijelajahi dalam segenap kekayaan rincinya. Mungkinkah meleburkan seni ke dalam kehidupan—atau secara lebih “lunak,” mencampurkan seni dan politik? Tidak, kecuali jika kau mengingkari bahwa kehidupan hanya bisa digarap dengan disiplin, dengan kepengrajinan, dengan kesadaran bentuk. Tidak, kecuali jika kau tak sedikit pun ragu bahwa “seni politis” bisa membuatmu gagal mengerjakan seni sekaligus politik. Tidak, kecuali jika kau tak percaya bahwa perlawanan hanyalah pengulangan yang tak habis-habisnya. (Selesai)
Hamparan putih salju pada bulan Januari di Midwest, patung berirama staccato karya Gregorius Siddharta Soegijo di Taman Pakubuwono Kebayoran Baru, daun-daun mapel yang merah kuning pada bulan November di sekitar apartemen saya di Eagle Heights, seni publik yang “kiri” pada masa kanak-kanak saya di Banyuwangi, kerumun massa pada lukisan Rivera, Orozco, Djoko Pekik, dan Hariadi, barik dan gumpalan pada lukisan Rothko, Miro dan Sadali, kaca pateri art deco di rumah-rumah tahun 1930-an, lesung tua dengan urat kayu bertonjolan yang teronggok di loteng rumah saya, rumah-rumah desa yang menyatu dengan pepohon beringin dan kamboja di pedesaan Bali, fosil kerang pada batugamping dari zaman Paleosen, warna kuning emas pada tubuh harimau dan kelopak bunga matahari, lukisan pemandangan pada tubuh becak, piring biru bergambar ikan dari Jepang tempat nasi saya—semuanya bernilai pada dirinya sendiri, tak terbandingkan satu sama lain. Dan berguna, kecuali jika kita menuntut masing-masing rupa itu berfungsi di luar watak dan wandanya sendiri.
Saya seorang pragmatis, karena saya berurusan dengan rupa; sedangkan pluralisme, hanya berseluk-beluk dengan seni rupa, lebih tepatnya pemikiran seni rupa. Bagi saya, pengalaman, juga pengalaman estetik, mendahului pemikiran. Namun, atas dasar pragmatisme ini pula saya bisa membedakan seni dari “kehidupan” demi dua alasan. Pertama, seni rupa pada dasarnya hanya disiplin untuk menemukan (kembali) pelbagai khazanah rupa yang terabaikan, terkubur, tersingkir oleh rutin—setara dengan, misalnya, fisika yang bisa mengingatkan kembali akan hukum dunia materi. Kedua, kita tak bisa berpura-pura kembali ke masa lampau di mana kehidupan ini belum terbagi-bagi ke dalam bidang-bidang, disiplin-disiplin kehidupan—bukankah disiplin pada dasarnya untuk memperbaiki kehidupan itu sendiri? Untuk yang pertama, kita memerlukan kritik seni; untuk yang kedua, sosiologi seni.
Bagi saya, pluralisme bukan untuk melenyapkan disiplin (demi impian kosong agar seni masuk lagi ke dalam kehidupan), meski sebagian kaum pluralis percaya demikian. Pluralisme adalah kritik kelembagaan, sebagaimana sudah dibuktikan oleh Sanento Yuliman. Pandangan plural tak bisa melenyapkan laboratorium, menara gading, studio, ruang pameran, perpustakaan, museum, akademi—sebab hanya dengan kantung-kantung “pengasingan” inilah kehidupan dijelajahi dalam segenap kekayaan rincinya. Mungkinkah meleburkan seni ke dalam kehidupan—atau secara lebih “lunak,” mencampurkan seni dan politik? Tidak, kecuali jika kau mengingkari bahwa kehidupan hanya bisa digarap dengan disiplin, dengan kepengrajinan, dengan kesadaran bentuk. Tidak, kecuali jika kau tak sedikit pun ragu bahwa “seni politis” bisa membuatmu gagal mengerjakan seni sekaligus politik. Tidak, kecuali jika kau tak percaya bahwa perlawanan hanyalah pengulangan yang tak habis-habisnya. (Selesai)
Senin, 29 September 2008
Delapan Sketsa tentang Pluralisme (7)
SERAGAM UNTUK YANG BERAGAM
Jika dunia seni rupa kita beragam—di sini kita berusaha mempercayai pemerian Sanento Yuliman dalam pelbagai telaahnya—maka pandangan yang merangkumnya masih miskin, kalau bukan seragam. Jumlah penulis seni rupa masih terlalu sedikit, dan yang sedikit itu tak bersaing satu sama lain, misalnya dalam penggunaan teori dan penilaian. Kecuali Jim Supangkat yang menulis Indonesian Modern Art and Beyond (1997), belum ada yang menulis buku, kecuali menghasilkan ulasan pendek di media massa; bahkan mereka yang lulusan ITB serupa dengan Jim dalam pandangan sejarah dan “ideologi”; semua adalah “pemikir” yang akan merasa gementar kalau tak memperhatikan fashion. Ada juga monografi tentang sejumlah pelukis, yang disponsori si pelukis sendiri (ingat, tak sedikit pelukis yang lebih kaya ketimbang lembaga seni rupa), sehingga kita bertanya-tanya tentang mutunya selaku telaah.
Saya juga percaya bahwa pendidikan tinggi seni rupa tak berubah secara mendasar. Mungkin ada variasi, misalnya para pengajar adalah mereka yang meyakini pluralisme; maka mereka ini tak memaksakan mazhab tertentu dalam pengajaran, sehingga, misalnya, di ITB bisa lahir “realisme baru” dan di ISI Yogyakarta “abstrak baru.” Pendidikan itu belum mampu benar-benar menghasilkan penelaah seni, kurator seni, sejarawan seni; jika pun ada, itu baru anomali, atau semacam hasil sampingan belaka. Lalu, seperti dikatakan Sanento, akademi seni rupa belum mampu mengintegrasikan seni rupa bawah ke dalam dirinya, sehingga kerajinan (kriya) tetaplah sektor “tradisional” yang terpisah dari sektor modern.
Kritik terhadap modernisme dan universalisme menghasilkan perluasan seni rupa atas, bukan seni rupa bawah. Kita belum melihat adanya kritik kriya dan desain; pengamat seni rupa kita tetap hanya tertarik pada tahap lanjut seni rupa modern—yakni apa yang telanjur disebut sebagai seni rupa kontemporer. Perluasan itu mempunyai dua muka. Yakni, pertama, adopsi kerajinan, barang sehari-hari, bahkan bukan-seni, sebagai bagian, seringkali bagian terpenting karya pribadi; kedua, internasionalisasi, yakni hadirnya kaum seniman kita dalam pameran-pameran di kancah internasional. Dengan enak, sekarang, kaum seniman kita mengambil karya kaum pengrajin, (bahkan menyuruh-buat barang itu), sebagai anasir, bahkan anasir terpenting dari karya mereka. Konon, inilah anti-formalisme, namun jelaslah tak sebersit pun nama kaum pengrajin itu disebut. Dan di panggung internasional, di mana para kurator juga menggemakan paduan suara tentang bangkitnya the subaltern, the other, the marginal, yang hadir adalah karya seni, bukan kerajinan; kaum seniman, dan bukan kaum pengrajin.
Jika dunia seni rupa kita beragam—di sini kita berusaha mempercayai pemerian Sanento Yuliman dalam pelbagai telaahnya—maka pandangan yang merangkumnya masih miskin, kalau bukan seragam. Jumlah penulis seni rupa masih terlalu sedikit, dan yang sedikit itu tak bersaing satu sama lain, misalnya dalam penggunaan teori dan penilaian. Kecuali Jim Supangkat yang menulis Indonesian Modern Art and Beyond (1997), belum ada yang menulis buku, kecuali menghasilkan ulasan pendek di media massa; bahkan mereka yang lulusan ITB serupa dengan Jim dalam pandangan sejarah dan “ideologi”; semua adalah “pemikir” yang akan merasa gementar kalau tak memperhatikan fashion. Ada juga monografi tentang sejumlah pelukis, yang disponsori si pelukis sendiri (ingat, tak sedikit pelukis yang lebih kaya ketimbang lembaga seni rupa), sehingga kita bertanya-tanya tentang mutunya selaku telaah.
Saya juga percaya bahwa pendidikan tinggi seni rupa tak berubah secara mendasar. Mungkin ada variasi, misalnya para pengajar adalah mereka yang meyakini pluralisme; maka mereka ini tak memaksakan mazhab tertentu dalam pengajaran, sehingga, misalnya, di ITB bisa lahir “realisme baru” dan di ISI Yogyakarta “abstrak baru.” Pendidikan itu belum mampu benar-benar menghasilkan penelaah seni, kurator seni, sejarawan seni; jika pun ada, itu baru anomali, atau semacam hasil sampingan belaka. Lalu, seperti dikatakan Sanento, akademi seni rupa belum mampu mengintegrasikan seni rupa bawah ke dalam dirinya, sehingga kerajinan (kriya) tetaplah sektor “tradisional” yang terpisah dari sektor modern.
Kritik terhadap modernisme dan universalisme menghasilkan perluasan seni rupa atas, bukan seni rupa bawah. Kita belum melihat adanya kritik kriya dan desain; pengamat seni rupa kita tetap hanya tertarik pada tahap lanjut seni rupa modern—yakni apa yang telanjur disebut sebagai seni rupa kontemporer. Perluasan itu mempunyai dua muka. Yakni, pertama, adopsi kerajinan, barang sehari-hari, bahkan bukan-seni, sebagai bagian, seringkali bagian terpenting karya pribadi; kedua, internasionalisasi, yakni hadirnya kaum seniman kita dalam pameran-pameran di kancah internasional. Dengan enak, sekarang, kaum seniman kita mengambil karya kaum pengrajin, (bahkan menyuruh-buat barang itu), sebagai anasir, bahkan anasir terpenting dari karya mereka. Konon, inilah anti-formalisme, namun jelaslah tak sebersit pun nama kaum pengrajin itu disebut. Dan di panggung internasional, di mana para kurator juga menggemakan paduan suara tentang bangkitnya the subaltern, the other, the marginal, yang hadir adalah karya seni, bukan kerajinan; kaum seniman, dan bukan kaum pengrajin.
Kamis, 25 September 2008
Delapan Sketsa tentang Pluralisme (6)
KUR YANG PADU
Dalam sebuah obrolan, Bambang Bujono menyatakan, kritik seni rupa sekarang dibikin seakan si penulis tak pergi ke pameran, tak melihat karya. Bagi saya, itu sindiran untuk kaum “kritikus” yang terbalik-watak dengan Sanento: kritikus yang memihak “pikiran,” sehingga karya itu sendiri tak penting, kecuali sebagai apa yang diperalat “pikiran.” Hilang sudah kemampuan untuk berdialog dengan, apalagi mencandera, karya. Tak penting lagi bentuk, kecuali sebagai pembungkus “gagasan”. Saya menyebut hal ini sebagai hilangnya seni dalam kritik seni. Atau lebih “sederhana” lagi, tapi lebih mendasar: hilangnya kemampuan menulis kritik.
Pernyataan di atas boleh jadi berlebihan. Namun, serangan terhadap modernisme, telah membuat seniman dan kritikus takut untuk menjadikan kesenian sebagai sekadar hasil kepengrajinan. Jika kau membahas karya seni tanpa mengaitkannya dengan asal-usul, konteks, kekuasaan, paradigma, kau akan dicurigai sebagai modernis, universal, apolitis. Jika kau masuk ke elemen-elemen rupa, kau terkutuk jadi formalis, mungkin cap paling pahit dalam kehidupan “seni kontemporer” sekarang ini. Jika kau membuat kritik seni yang melawan formalisme, kau akan diasingkan sebagai pemisah seni dari kehidupan.
Dan kau tak bisa menilai. Sebab, berdasarkan asas pluralisme, seni hanya terikat kepada lingkup sejarah dan geografinya. Maka tak ada karya seni yang buruk, sebab ia selalu mengandung muatan politik: menilainya sebagai buruk, berarti menghalangi emansipasi. Atau jika kau bersikeras mengaji seni sebagai sesuatu bernilai dalam dirinya sendiri, kau akan tergolong sebagai penganut rezim bebas-nilai, dan ini adalah kedok kaum borjuis, kapitalis, universalis. Kalau kau seniman, bilanglah, seperti Joseph Beuys, bahwa setiap orang adalah seniman, meski hanya namamu, bukan nama mereka, yang akan masuk ke indeks, katalog pameran, dan buku sejarah seni. Seranglah semua lembaga yang melestarikan hirarki seni rupa modern, katakan bahwa mereka mengingkari gender, kulit berwarna, minoritas, sehingga mereka bisa membawakan multilkulturalisme. Hantamlah sejarah seni dunia sebagai perjalanan the great masters, yang mengabaikan ciptaan orang biasa, meski kau mungkin hanya bisa mencipta sedang-sedang belaka, mungkin buruk juga, meski kau bermimpi jadi puncak negerimu, puncak negeri berkembang, puncak Dunia Ketiga, puncak Belahan Selatan, dan seterusnya.
Katakan bahwa kebaruan, kejeniusan, keaslian hanyalah tirani masa lalu, supaya permalingan dan epigonisme bisa dianggap sebagai parodi, pastiche, ironi, kolase postmodernis. Kecamlah kapitalisme, maski “makhluk” inilah yang bisa menciptakan pusat-pusat internasional baru yang mengundangmu, memajang karyamu, mendengarkan suaramu. Katakan bahwa pluralisme sudah hidup, meski di negerimu lembaga-lembaga seni rupa tetap mandeg, dan jumlah kritikus setipis hitungan jari, seperti dua dasa warsa yang lalu. Katakan pluralisme dengan lantang, meski pendapatmu sama-sebangun dengan kaum pluralis yang lain, seperti kur yang padu. Maklum, kita hanya punya suara monolitik tentang pluralisme.
Dalam sebuah obrolan, Bambang Bujono menyatakan, kritik seni rupa sekarang dibikin seakan si penulis tak pergi ke pameran, tak melihat karya. Bagi saya, itu sindiran untuk kaum “kritikus” yang terbalik-watak dengan Sanento: kritikus yang memihak “pikiran,” sehingga karya itu sendiri tak penting, kecuali sebagai apa yang diperalat “pikiran.” Hilang sudah kemampuan untuk berdialog dengan, apalagi mencandera, karya. Tak penting lagi bentuk, kecuali sebagai pembungkus “gagasan”. Saya menyebut hal ini sebagai hilangnya seni dalam kritik seni. Atau lebih “sederhana” lagi, tapi lebih mendasar: hilangnya kemampuan menulis kritik.
Pernyataan di atas boleh jadi berlebihan. Namun, serangan terhadap modernisme, telah membuat seniman dan kritikus takut untuk menjadikan kesenian sebagai sekadar hasil kepengrajinan. Jika kau membahas karya seni tanpa mengaitkannya dengan asal-usul, konteks, kekuasaan, paradigma, kau akan dicurigai sebagai modernis, universal, apolitis. Jika kau masuk ke elemen-elemen rupa, kau terkutuk jadi formalis, mungkin cap paling pahit dalam kehidupan “seni kontemporer” sekarang ini. Jika kau membuat kritik seni yang melawan formalisme, kau akan diasingkan sebagai pemisah seni dari kehidupan.
Dan kau tak bisa menilai. Sebab, berdasarkan asas pluralisme, seni hanya terikat kepada lingkup sejarah dan geografinya. Maka tak ada karya seni yang buruk, sebab ia selalu mengandung muatan politik: menilainya sebagai buruk, berarti menghalangi emansipasi. Atau jika kau bersikeras mengaji seni sebagai sesuatu bernilai dalam dirinya sendiri, kau akan tergolong sebagai penganut rezim bebas-nilai, dan ini adalah kedok kaum borjuis, kapitalis, universalis. Kalau kau seniman, bilanglah, seperti Joseph Beuys, bahwa setiap orang adalah seniman, meski hanya namamu, bukan nama mereka, yang akan masuk ke indeks, katalog pameran, dan buku sejarah seni. Seranglah semua lembaga yang melestarikan hirarki seni rupa modern, katakan bahwa mereka mengingkari gender, kulit berwarna, minoritas, sehingga mereka bisa membawakan multilkulturalisme. Hantamlah sejarah seni dunia sebagai perjalanan the great masters, yang mengabaikan ciptaan orang biasa, meski kau mungkin hanya bisa mencipta sedang-sedang belaka, mungkin buruk juga, meski kau bermimpi jadi puncak negerimu, puncak negeri berkembang, puncak Dunia Ketiga, puncak Belahan Selatan, dan seterusnya.
Katakan bahwa kebaruan, kejeniusan, keaslian hanyalah tirani masa lalu, supaya permalingan dan epigonisme bisa dianggap sebagai parodi, pastiche, ironi, kolase postmodernis. Kecamlah kapitalisme, maski “makhluk” inilah yang bisa menciptakan pusat-pusat internasional baru yang mengundangmu, memajang karyamu, mendengarkan suaramu. Katakan bahwa pluralisme sudah hidup, meski di negerimu lembaga-lembaga seni rupa tetap mandeg, dan jumlah kritikus setipis hitungan jari, seperti dua dasa warsa yang lalu. Katakan pluralisme dengan lantang, meski pendapatmu sama-sebangun dengan kaum pluralis yang lain, seperti kur yang padu. Maklum, kita hanya punya suara monolitik tentang pluralisme.
Jumat, 19 September 2008
Delapan Sketsa tentang Pluralisme (5)
TAKZIM TERHADAP KARYA
Sanento Yuliman dalam setiap ulasannya memberi kita kekongkretan seni rupa. Seakan-akan ia tak menyatakan pikirannya kepada kita, namun membiarkan “barang” atau “makhluk” seni rupa itu bicara sendiri kepada kita. Sanento berlaku takzim kepada karya justru dengan tak menghambur-hamburkan pikirannya: ia tak meleburkan atau mengaburkan karya dengan apa-apa di luarnya. Karya atau kumpulan karya punya hidupnya sendiri. Barangkali dari Sanento saya belajar—tanpa saya sadari—untuk mencerap karya sebagai sesuatu yang unik, berharga dalam dirinya sendiri. Sanento tak lari kepada konteks, sejarah, gagasan (isi), sebelum ia menyingkap bentuk. Sebagai contoh, ulasannya tentang pameran lukisan Semsar Siahaan dan Nashar:
“Orang dapat melihat kelemahan Semsar dalam tarikan garis, dalam pencitraan obyek-obyek dalam ruang, bahkan dalam menggambar rinci, misalnya tangan. Gabungan antara kecenderungan kepada perian (deskripsi) obyek sehari-hari dan situasi dramatik di satu pihak, dan kecenderungan kepada gagasan simbolik di lain pihak, sering mengaburkan makna. Bayi dibebat kawat berduri, misalnya, adalah lambang kesewenangan dan derita. Tetapi diletakkannya dalam suatu situasi, misalnya dipangku oleh seorang lelaki (ayahnya?) yang memberinya transfusi. Sukar kita menekan kemelut pikiran mengapa bebat kawat tak dibuka lebih dulu? Siapa yang membebatnya? Dan lain-lain. Tapi gagasan simboliknya mencair.” (“Pusaran Semsar,” Dua Seni Rupa, 2001.)
“Lukisan Nashar memperlihatkan bahwa seniman ini memperlakukan akrilik hanya dengan satu cara. Bahan ini, tanpa campuran air, dipoleskan ke kanvas, Beberapa lukisan menunjukkan bahwa ia memulai kerja dengan mewarnai dulu kanvasnya. Kanvas ini lalu ditimpa, dengan garis atau bidang warna. Bahan dipoleskan dengan kuas. Sapuan relatif kecil dan pendek, dengan ketebalan cat yang nyaris sama: tidak terdapat sapuan tipis atau transparan. Sapuan ditarik tanpa kegemasan atau kecepatan yang mantap: Nashar tidak tertarik untuk memperlihatkan tenaga tangannya pada rekaman cat di kanvas. […] Ia rupanya tidak tertarik terhadap kemungkinan macam-macam perlakuan terhadap akrilik dan macam-macam efek yang dapat ditampilkannya. Ia tidak menjajaki dan menjelajahi sifat-sifat dan kemampuan-kemampuna akrilik. […] Nashar bukannya tanpa teknik. Ia hanya miskin teknik.” (“Dunia Fantasi Nashar,” Dua Seni Rupa, 2001.)
Bagi saya, Sanento seorang pragmatis: ia tidak mencari-cari pondasi atau “metafisika” dari karya. Sebaliknya: karya itu berarti dari unsur-unsurnya sendiri. Tentu, bukan berarti ia tak berteori: namun, teori mesti tumbuh dari pengalaman, pergaulan, pengkajian. Ia juga tak tertarik kepada fashion, bahkan kepada jargon, bukan karena tak menguasainya, tapi karena itu akan “menjajah” si karya, menghalanginya dari proses komunikasi. Dengan demikian, ia memperlakukan karya sebagai pantulan kepengrajinan, craftsmanship, yang punya nilai dalam dirinya sendiri, bukan “korban” dari konteks, sejarah, atau gagasan.
Seorang pragmatis bisa sekaligus pluralis? Ya, lantaran Sanento menjalankan kritik seni, tapi juga sosiologi seni—yang sering berimpit dengan sejarah seni. Dan ia tahu bagaimana membedakan dua bidang kajian itu. Kritik seni mencari kepaduan dan paradoks karya atau kumpulan karya, sosiologi seni mengajukan kritik budaya demi memperbaiki lembaga kesenian—pendidikan, penyebaran, perdagangan, penyimpanan seni misalnya—katakanlah untuk menjalankan demokratisasi, yaitu mengembalikan seni rupa sebagai milik umum. Kritik terhadap seni rupa atas tak berarti pemihakan buta ke seni rupa bawah, sedangkan kritik terhadap pandangan hirarkis bukanlah berarti tak pentingnya karya atau kumpulan karya keseorangan. Pengetahuannya yang luas tentang pelbagai khazanah membuat ia tak terjatuh ke dalam “hermeneutika kecurigaan”, yakni "metoda" yang banyak diamalkan oleh kaum pluralis setelah ia.
Sanento Yuliman dalam setiap ulasannya memberi kita kekongkretan seni rupa. Seakan-akan ia tak menyatakan pikirannya kepada kita, namun membiarkan “barang” atau “makhluk” seni rupa itu bicara sendiri kepada kita. Sanento berlaku takzim kepada karya justru dengan tak menghambur-hamburkan pikirannya: ia tak meleburkan atau mengaburkan karya dengan apa-apa di luarnya. Karya atau kumpulan karya punya hidupnya sendiri. Barangkali dari Sanento saya belajar—tanpa saya sadari—untuk mencerap karya sebagai sesuatu yang unik, berharga dalam dirinya sendiri. Sanento tak lari kepada konteks, sejarah, gagasan (isi), sebelum ia menyingkap bentuk. Sebagai contoh, ulasannya tentang pameran lukisan Semsar Siahaan dan Nashar:
“Orang dapat melihat kelemahan Semsar dalam tarikan garis, dalam pencitraan obyek-obyek dalam ruang, bahkan dalam menggambar rinci, misalnya tangan. Gabungan antara kecenderungan kepada perian (deskripsi) obyek sehari-hari dan situasi dramatik di satu pihak, dan kecenderungan kepada gagasan simbolik di lain pihak, sering mengaburkan makna. Bayi dibebat kawat berduri, misalnya, adalah lambang kesewenangan dan derita. Tetapi diletakkannya dalam suatu situasi, misalnya dipangku oleh seorang lelaki (ayahnya?) yang memberinya transfusi. Sukar kita menekan kemelut pikiran mengapa bebat kawat tak dibuka lebih dulu? Siapa yang membebatnya? Dan lain-lain. Tapi gagasan simboliknya mencair.” (“Pusaran Semsar,” Dua Seni Rupa, 2001.)
“Lukisan Nashar memperlihatkan bahwa seniman ini memperlakukan akrilik hanya dengan satu cara. Bahan ini, tanpa campuran air, dipoleskan ke kanvas, Beberapa lukisan menunjukkan bahwa ia memulai kerja dengan mewarnai dulu kanvasnya. Kanvas ini lalu ditimpa, dengan garis atau bidang warna. Bahan dipoleskan dengan kuas. Sapuan relatif kecil dan pendek, dengan ketebalan cat yang nyaris sama: tidak terdapat sapuan tipis atau transparan. Sapuan ditarik tanpa kegemasan atau kecepatan yang mantap: Nashar tidak tertarik untuk memperlihatkan tenaga tangannya pada rekaman cat di kanvas. […] Ia rupanya tidak tertarik terhadap kemungkinan macam-macam perlakuan terhadap akrilik dan macam-macam efek yang dapat ditampilkannya. Ia tidak menjajaki dan menjelajahi sifat-sifat dan kemampuan-kemampuna akrilik. […] Nashar bukannya tanpa teknik. Ia hanya miskin teknik.” (“Dunia Fantasi Nashar,” Dua Seni Rupa, 2001.)
Bagi saya, Sanento seorang pragmatis: ia tidak mencari-cari pondasi atau “metafisika” dari karya. Sebaliknya: karya itu berarti dari unsur-unsurnya sendiri. Tentu, bukan berarti ia tak berteori: namun, teori mesti tumbuh dari pengalaman, pergaulan, pengkajian. Ia juga tak tertarik kepada fashion, bahkan kepada jargon, bukan karena tak menguasainya, tapi karena itu akan “menjajah” si karya, menghalanginya dari proses komunikasi. Dengan demikian, ia memperlakukan karya sebagai pantulan kepengrajinan, craftsmanship, yang punya nilai dalam dirinya sendiri, bukan “korban” dari konteks, sejarah, atau gagasan.
Seorang pragmatis bisa sekaligus pluralis? Ya, lantaran Sanento menjalankan kritik seni, tapi juga sosiologi seni—yang sering berimpit dengan sejarah seni. Dan ia tahu bagaimana membedakan dua bidang kajian itu. Kritik seni mencari kepaduan dan paradoks karya atau kumpulan karya, sosiologi seni mengajukan kritik budaya demi memperbaiki lembaga kesenian—pendidikan, penyebaran, perdagangan, penyimpanan seni misalnya—katakanlah untuk menjalankan demokratisasi, yaitu mengembalikan seni rupa sebagai milik umum. Kritik terhadap seni rupa atas tak berarti pemihakan buta ke seni rupa bawah, sedangkan kritik terhadap pandangan hirarkis bukanlah berarti tak pentingnya karya atau kumpulan karya keseorangan. Pengetahuannya yang luas tentang pelbagai khazanah membuat ia tak terjatuh ke dalam “hermeneutika kecurigaan”, yakni "metoda" yang banyak diamalkan oleh kaum pluralis setelah ia.
Jumat, 12 September 2008
Delapan Sketsa tentang Pluralisme (4)
BERLIN—JAKARTA—NEW YORK
Di Martin-Gropius-Bau, Berlin, pada musim semi 1993, saya kunjungi pameran besar “American Art in the 20th Century”. Tentulah saya tak mengharapkan seni rupa Amerika terwakili seluruhnya, tetapi saya ingin menyaksikan apa yang inti dan yang puncak dari modernisme Amerika. Yakni, kurang lebih sebuah pelaksanaan dari apa yang dikatakan kritikus Clement Greenberg tentang pencarian dan penggalian seni ke dalam esensinya sendiri, yang klimaksnya adalah “punahnya dengan sempurna isi ke dalam bentuk sehingga karya seni tak dapat diringkaskan baik seluruh maupun sebagian ke dalam apapun yang bukan karya itu sendiri.” Demikianlah, klimaks itu tercapai melalui Ekspresionisme Abstrak: saya bisa memahaminya (secara intelektual) dan belum mencerapnya (secara inderawi), kecuali mungkin Rothko dan Pollock. Dan setelah itu terjadilah serangkaian antiklimaks: Pop Art, seni konseptual, seni instalasi, seni video, dan kemudian Cindy Sherman dan Jeff Koons. Arthur C. Danto bicara tentang akhir seni: “Seni sudah menjelajah sejauh ia yang mampu dalam mencari identitas falsafinya: kinilah tugas filsafat agar menyatakan identitas itu dalam rumusan yang tepat.”
Di Indonesia, pada awal 1990-an, sejumlah orang, termasuk saya, termakan oleh arus serangan terhadap Barat yang konon serba tunggal, universal, homogen, dan dominan. Maka di Berlin itu saya bayangkan, bahwa jaringan museum di Amerika Serikat bahu membahu dengan kaum kritikus dan akademi dalam menebarkan jenis seni rupa yang mencerminkan klimaks-antiklimaks pencarian-pertarungan formalisme-antiformalisme. Saya bayangkan museum “puncak” seperti MoMA dan Whitney menjajakan puncak evolusi seni modern yang demikian.
Tentu saja saya keliru. Di kemudian hari, saya saksikan sendiri bahwa dua museum di New York itu benar-benar berbeda dari apa yang pernah saya bayangkan. MoMA bukan hanya mewadahi banyak lukisan yang tak cocok dengan pandangan Greenbergian, tapi juga barang “bukan seni” seperti mobil, helikopter, kursi, ember, vacuum cleaner, poster, misalnya. MoMA bukan pembela aliran New York—Ekspresionisme Abstrak dan antitesisnya, Pop Art. Sementara, banyak koleksi Whitney yang sama sekali tak mencerminkan pencarian formalisme: misalnya regionalisme Thomas Hart Benton dan John Stueart Curry, juga “realisme Amerika” Ben Shahn, Andrew Wyeth, Paul Cadmus.
Museum bisa menyemarakkan paradoks dan keserbaragaman dalam dirinya—meski ia dituntun oleh kriteria yang ketat juga. Ia ternyata bukan benar-benar ujung tombak dari modernisme Amerika. Museum bukan ruang homogen; jadi, mereka yang membidiknya sebagai benteng penunggalan pandangan seni rupa pastilah keliru sasaran. Ia bukan sebuah pulau terpencil: lihat, ruang-ruangnya adalah pantulan terbalik dari ruang-ruang di luar, sehingga seni rupa tak terpisah dari rupa-rupa lain. Ia, dari sudut pragmatis, berfungsi setara dengan kantor pos, stasiun, sekolah, restoran, universitas, gedung pengadilan, pusat belanja, pelabuhan udara, dan seterusnya, sehingga tersebar hampir rata ke seluruh negeri.
Di sana, pluralisme, multikulturalisme, political correctness, postmodernisme dibicarakan, dijalankan dengan kemantapan lembaga yang bukan main. (Inikah kontradiksi internal dalam kapitalisme mutakhir? Cara sang sistem untuk memperbarui diri terus-menerus?) Di tanah air saya, pluralisme diuar-uarkan dengan semangat baru terbangun dari mimpi. Kaum puluralis kita hanya “idealis,” sebab mereka tak punya dasar kelembagaan di sini. Hanya satu orang yang menegakkan pluralisme dalam kaitan dengan perbaikan kelembagaan, khususnya pendidikan seni rupa. Dialah Sanento Yuliman.
Di Martin-Gropius-Bau, Berlin, pada musim semi 1993, saya kunjungi pameran besar “American Art in the 20th Century”. Tentulah saya tak mengharapkan seni rupa Amerika terwakili seluruhnya, tetapi saya ingin menyaksikan apa yang inti dan yang puncak dari modernisme Amerika. Yakni, kurang lebih sebuah pelaksanaan dari apa yang dikatakan kritikus Clement Greenberg tentang pencarian dan penggalian seni ke dalam esensinya sendiri, yang klimaksnya adalah “punahnya dengan sempurna isi ke dalam bentuk sehingga karya seni tak dapat diringkaskan baik seluruh maupun sebagian ke dalam apapun yang bukan karya itu sendiri.” Demikianlah, klimaks itu tercapai melalui Ekspresionisme Abstrak: saya bisa memahaminya (secara intelektual) dan belum mencerapnya (secara inderawi), kecuali mungkin Rothko dan Pollock. Dan setelah itu terjadilah serangkaian antiklimaks: Pop Art, seni konseptual, seni instalasi, seni video, dan kemudian Cindy Sherman dan Jeff Koons. Arthur C. Danto bicara tentang akhir seni: “Seni sudah menjelajah sejauh ia yang mampu dalam mencari identitas falsafinya: kinilah tugas filsafat agar menyatakan identitas itu dalam rumusan yang tepat.”
Di Indonesia, pada awal 1990-an, sejumlah orang, termasuk saya, termakan oleh arus serangan terhadap Barat yang konon serba tunggal, universal, homogen, dan dominan. Maka di Berlin itu saya bayangkan, bahwa jaringan museum di Amerika Serikat bahu membahu dengan kaum kritikus dan akademi dalam menebarkan jenis seni rupa yang mencerminkan klimaks-antiklimaks pencarian-pertarungan formalisme-antiformalisme. Saya bayangkan museum “puncak” seperti MoMA dan Whitney menjajakan puncak evolusi seni modern yang demikian.
Tentu saja saya keliru. Di kemudian hari, saya saksikan sendiri bahwa dua museum di New York itu benar-benar berbeda dari apa yang pernah saya bayangkan. MoMA bukan hanya mewadahi banyak lukisan yang tak cocok dengan pandangan Greenbergian, tapi juga barang “bukan seni” seperti mobil, helikopter, kursi, ember, vacuum cleaner, poster, misalnya. MoMA bukan pembela aliran New York—Ekspresionisme Abstrak dan antitesisnya, Pop Art. Sementara, banyak koleksi Whitney yang sama sekali tak mencerminkan pencarian formalisme: misalnya regionalisme Thomas Hart Benton dan John Stueart Curry, juga “realisme Amerika” Ben Shahn, Andrew Wyeth, Paul Cadmus.
Museum bisa menyemarakkan paradoks dan keserbaragaman dalam dirinya—meski ia dituntun oleh kriteria yang ketat juga. Ia ternyata bukan benar-benar ujung tombak dari modernisme Amerika. Museum bukan ruang homogen; jadi, mereka yang membidiknya sebagai benteng penunggalan pandangan seni rupa pastilah keliru sasaran. Ia bukan sebuah pulau terpencil: lihat, ruang-ruangnya adalah pantulan terbalik dari ruang-ruang di luar, sehingga seni rupa tak terpisah dari rupa-rupa lain. Ia, dari sudut pragmatis, berfungsi setara dengan kantor pos, stasiun, sekolah, restoran, universitas, gedung pengadilan, pusat belanja, pelabuhan udara, dan seterusnya, sehingga tersebar hampir rata ke seluruh negeri.
Di sana, pluralisme, multikulturalisme, political correctness, postmodernisme dibicarakan, dijalankan dengan kemantapan lembaga yang bukan main. (Inikah kontradiksi internal dalam kapitalisme mutakhir? Cara sang sistem untuk memperbarui diri terus-menerus?) Di tanah air saya, pluralisme diuar-uarkan dengan semangat baru terbangun dari mimpi. Kaum puluralis kita hanya “idealis,” sebab mereka tak punya dasar kelembagaan di sini. Hanya satu orang yang menegakkan pluralisme dalam kaitan dengan perbaikan kelembagaan, khususnya pendidikan seni rupa. Dialah Sanento Yuliman.
Jumat, 05 September 2008
Delapan Sketsa tentang Pluralisme (3)
KE KANCAH INTERNASIONAL
Sejumlah galeri atau “rumah seni” tumbuh sejak akhir 1980-an sampai pertengahan 1990-an: di sana konon kesenian “alternatif” dipamerkan. Barangkali itu benar, jika bandingannya adalah boom seni rupa—yang lebih tepat disebut boom lukisan—yang menurut Sanento Yuliman juga membawa mendung-pengiring, yaitu pemiskinan, pendusunan, pemingitan, pemusatan, serta ketiadaan pola-dan-acuan. Namun, saya curiga, yang alternatif itu mengambil manfaat dari boom juga, yakni menyeret orang muda kaya baru untuk membeli “lukisan alternatif” yang pasti lebih murah harganya ketimbang “lukisan baku” yang dijajakan dalam lelang dan galeri “konvensional.”
Galeri “alternatif” itu pun tak banyak jumlahnya. Dan masih menancap di kota-kota besar Jawa, di mana kegiatan seni rupa modern sudah “mentradisi.” Kita belum mendengar kegiatan semacam ini tumbuh di luar Jawa. Gerak menjauh dari pusat, alternatif terhadap khazanah seni rupa yang membeku? Mungkin ya, setidaknya untuk sementara. Meski galeri-galeri tersebut, misalnya Lontar dan Cemeti (dan dulu C-Line) tak berbeda satu sama lain: perupa yang sama, bergantian pameran dari yang satu ke yang lain. Sementara itu, Taman Ismail Marzuki meluruh, bukan sebagai akibat serangan kaum pluralis, melainkan karena ia jadi korban dari salah-urus, salah-perencanaan, dan kecerobohan para pengurusnya dan pemerintah daerah sekaligus. Bukankah ini satu bukti lagi bahwa kita tak sanggup memelihara lembaga? (Banyak kaum pluralis yang masygul, saya kira, ketika Ruang Pamer Utama, Teater Arena, Teater Tertutup dan Teater Terbuka, dibongkar; konon di bekas lahan itu akan tumbuh gedung-gedung pertunjukan dan pameran supermodern.)
Galeri “alternatif” agaknya menjadi salah satu pintu, bagi senirupawan mutakhir kita, untuk hadir ke dunia internasional. Dahulu, kaum senirupawan kita sibuk dengan memperebutkan dan memperbarui pengakuan nasional—melalui biennale, triennale, pameran tunggal di Jakarta, pelbagai penghargaan senirupa, dan sebagainya. Kini, kaum perupa kita dengan enak menjadi bagian dari lalu lintas internasional. Ada yang mengira bahwa galeri “alternatif” melakukan diplomasi yang pintar dengan kaum kurator luar negeri. Nyatanya, tidak. Sejumlah seniman baru muncul—atau lebih baik dikatakan membesar, karena mereka sudah aktif berpameran jauh sebelumnya—lewat galeri tersebut, seiring dengan munculnya “pusat-pusat” internasional baru yang kuratornya mencari pergaulan dan infomasi “alternatif.” Dengan kata lain, pluralisme internasional—pengakuan akan keserbaragamanan seni rupa di setiap negeri—mendorong tumbuhnya ragam seni rupa baru dalam negeri. Ragam ini secara aneh sering dinamai “seni rupa kontemporer.”
Ukuran nasional tak penting lagi? Demikianlah memang, di lingkup negeri sendiri. Tisna Sanjaya, Agus Suwage, Heri Dono, Nyoman Erawan, Arahmaiani, misalnya, tak terlihat berkerut dahi dengan tempat mereka dalam kancah seni rupa nasional, berbeda dengan angkatan-angkatan sebelumnya. Sejawat mereka yang jadi dosen di akademi seni rupa juga tak mempertahankan mazhab tertentu, berbeda dengan guru-guru mereka. Dan kecuali kriteria “alternatif,” Cemeti atau Lontar menampilkan jenis apa saja, tak menegaskan ciri satu sama lain, jauh berbeda dengan Galeri 291 Alfred Stieglitz atau Leo Castelli pada masanya, misalnya, yang memelopori corak tertentu. Juga tak ada lagi penghargaan untuk karya-karya terbaik, seperti yang pernah dilakukan Dewan Kesenian Jakarta, sumber kontroversi di antara kaum seniman.
Paradoksnya: lingkup nasional justru penting pada pameran internasional. Lantaran pluralisme mengandung kepatutan politik (political correctness) sekaligus kemudahan mengelola atas dasar “perserikatan bangsa-bangsa,” para kurator internasional masih menjadikan negara-bangsa sebagai titik tolak. Seniman yang diundang mesti mewakili negeri-bangsanya, bukan satuan lain, meskipun semangat pluralis mereka mestinya bisa menghadirkan “perwakilan” dari satuan yang tak berdasarkan negara bangsa, misalnya puak, etnisitas, atau kelas sosial.
Jim Supangkat, kurator kita yang giat di berbagai forum internasional, mendedahkan bahwa modernisme tak pernah tunggal, ada modernisme lain yang tak terlihat selain modernisme Barat. Kawasan dunia sesungguhnya mempunyai multimodernisme, atau modernisme pluralistik, yakni modernisme berdasarkan bangsa, masyarakat, atau kelompok masyarakat. Bagi saya, argumen ini tak mengarah ke dalam, ke tubuh bangsa sendiri, (misalnya untuk memperjuangkan sejarah kriya agar setara atau bersintuhan dengan sejarah seni modern), melainkan ke luar, ke kancah internasional, sebagai sarana negosiasi. Dan yang ditawarkan tetap “seni rupa atas”—saya pinjam istilah Sanento Yuliman—seni modern Indonesia yang berevolusi menjadi seni kontemporer, sebagai bagian seni rupa internasional. Inilah yang saya simpulkan dari buku Jim Supangkat Indonesian Modern Art and Beyond (1997). (bersambung)
Sejumlah galeri atau “rumah seni” tumbuh sejak akhir 1980-an sampai pertengahan 1990-an: di sana konon kesenian “alternatif” dipamerkan. Barangkali itu benar, jika bandingannya adalah boom seni rupa—yang lebih tepat disebut boom lukisan—yang menurut Sanento Yuliman juga membawa mendung-pengiring, yaitu pemiskinan, pendusunan, pemingitan, pemusatan, serta ketiadaan pola-dan-acuan. Namun, saya curiga, yang alternatif itu mengambil manfaat dari boom juga, yakni menyeret orang muda kaya baru untuk membeli “lukisan alternatif” yang pasti lebih murah harganya ketimbang “lukisan baku” yang dijajakan dalam lelang dan galeri “konvensional.”
Galeri “alternatif” itu pun tak banyak jumlahnya. Dan masih menancap di kota-kota besar Jawa, di mana kegiatan seni rupa modern sudah “mentradisi.” Kita belum mendengar kegiatan semacam ini tumbuh di luar Jawa. Gerak menjauh dari pusat, alternatif terhadap khazanah seni rupa yang membeku? Mungkin ya, setidaknya untuk sementara. Meski galeri-galeri tersebut, misalnya Lontar dan Cemeti (dan dulu C-Line) tak berbeda satu sama lain: perupa yang sama, bergantian pameran dari yang satu ke yang lain. Sementara itu, Taman Ismail Marzuki meluruh, bukan sebagai akibat serangan kaum pluralis, melainkan karena ia jadi korban dari salah-urus, salah-perencanaan, dan kecerobohan para pengurusnya dan pemerintah daerah sekaligus. Bukankah ini satu bukti lagi bahwa kita tak sanggup memelihara lembaga? (Banyak kaum pluralis yang masygul, saya kira, ketika Ruang Pamer Utama, Teater Arena, Teater Tertutup dan Teater Terbuka, dibongkar; konon di bekas lahan itu akan tumbuh gedung-gedung pertunjukan dan pameran supermodern.)
Galeri “alternatif” agaknya menjadi salah satu pintu, bagi senirupawan mutakhir kita, untuk hadir ke dunia internasional. Dahulu, kaum senirupawan kita sibuk dengan memperebutkan dan memperbarui pengakuan nasional—melalui biennale, triennale, pameran tunggal di Jakarta, pelbagai penghargaan senirupa, dan sebagainya. Kini, kaum perupa kita dengan enak menjadi bagian dari lalu lintas internasional. Ada yang mengira bahwa galeri “alternatif” melakukan diplomasi yang pintar dengan kaum kurator luar negeri. Nyatanya, tidak. Sejumlah seniman baru muncul—atau lebih baik dikatakan membesar, karena mereka sudah aktif berpameran jauh sebelumnya—lewat galeri tersebut, seiring dengan munculnya “pusat-pusat” internasional baru yang kuratornya mencari pergaulan dan infomasi “alternatif.” Dengan kata lain, pluralisme internasional—pengakuan akan keserbaragamanan seni rupa di setiap negeri—mendorong tumbuhnya ragam seni rupa baru dalam negeri. Ragam ini secara aneh sering dinamai “seni rupa kontemporer.”
Ukuran nasional tak penting lagi? Demikianlah memang, di lingkup negeri sendiri. Tisna Sanjaya, Agus Suwage, Heri Dono, Nyoman Erawan, Arahmaiani, misalnya, tak terlihat berkerut dahi dengan tempat mereka dalam kancah seni rupa nasional, berbeda dengan angkatan-angkatan sebelumnya. Sejawat mereka yang jadi dosen di akademi seni rupa juga tak mempertahankan mazhab tertentu, berbeda dengan guru-guru mereka. Dan kecuali kriteria “alternatif,” Cemeti atau Lontar menampilkan jenis apa saja, tak menegaskan ciri satu sama lain, jauh berbeda dengan Galeri 291 Alfred Stieglitz atau Leo Castelli pada masanya, misalnya, yang memelopori corak tertentu. Juga tak ada lagi penghargaan untuk karya-karya terbaik, seperti yang pernah dilakukan Dewan Kesenian Jakarta, sumber kontroversi di antara kaum seniman.
Paradoksnya: lingkup nasional justru penting pada pameran internasional. Lantaran pluralisme mengandung kepatutan politik (political correctness) sekaligus kemudahan mengelola atas dasar “perserikatan bangsa-bangsa,” para kurator internasional masih menjadikan negara-bangsa sebagai titik tolak. Seniman yang diundang mesti mewakili negeri-bangsanya, bukan satuan lain, meskipun semangat pluralis mereka mestinya bisa menghadirkan “perwakilan” dari satuan yang tak berdasarkan negara bangsa, misalnya puak, etnisitas, atau kelas sosial.
Jim Supangkat, kurator kita yang giat di berbagai forum internasional, mendedahkan bahwa modernisme tak pernah tunggal, ada modernisme lain yang tak terlihat selain modernisme Barat. Kawasan dunia sesungguhnya mempunyai multimodernisme, atau modernisme pluralistik, yakni modernisme berdasarkan bangsa, masyarakat, atau kelompok masyarakat. Bagi saya, argumen ini tak mengarah ke dalam, ke tubuh bangsa sendiri, (misalnya untuk memperjuangkan sejarah kriya agar setara atau bersintuhan dengan sejarah seni modern), melainkan ke luar, ke kancah internasional, sebagai sarana negosiasi. Dan yang ditawarkan tetap “seni rupa atas”—saya pinjam istilah Sanento Yuliman—seni modern Indonesia yang berevolusi menjadi seni kontemporer, sebagai bagian seni rupa internasional. Inilah yang saya simpulkan dari buku Jim Supangkat Indonesian Modern Art and Beyond (1997). (bersambung)
Selasa, 02 September 2008
Delapan Sketsa tentang Pluralisme (2)
MEMPERCAYAI DOMINASI
Dengan “heroisme” yang agak memalukan, pada awal 1990-an saya melayangkan kritik terhadap pusat, dalam hal ini pusat yang melestarikan modernisme. Pusat itu boleh jadi lembaga (pusat kesenian bersama organisasi dan jaringannya), yang bagi saya dibentengi pandangan romantik tentang seniman-sebagai-pencipta-agung, pembaruan, dan kebebasan kreatif. Dalam tulisan itu pula saya uarkan, bahwa kita tengah mengalami proses decentering, “arus-arus yang sangat sehat bergerak dengan pasti di luar, yakni arus-arus yang tidak berurusan dengan pusat, apalagi pusat kesenian. Beberapa karya dan kerja kesenian yang muncul dan hidup akhir-akhir ini tidak lagi menganggap sang pusat kesenian sebagai sumber legitimasi. Arus-arus itu muncul tidak dari pusat dan tidak menuju pusat.” Dan sebagai kalimat penutup: “Barangkali periode tanpa pusat telah mulai.”
Sungguh pendapat yang kekanak-kanakan. Sebab pusat itu sendiri tak pernah dominan: ia tak pernah berada di puncak piramida kemasyarakatan. Ia hanya menjadi tempat bercokol bagi sehimpun seniman (yang juga menjadi pengurus dewan kesenian, redaktur koran dan majalah, juri sayembara, dan guru kesenian) yang kebetulan mempunyai kesamaan pandangan—dan bukan konspirasi—dengan sebagian pandangan yang hidup di akademi seni rupa dan fakultas sastra, katakanlah semacam formalisme. Padahal ia sendiri menjadi wadah dari sekian banyak “gerakan perlawanan terhadap elitisme,” misalnya Gerakan Seni Rupa Baru pada pertengahan 1970-an. Namun, sungguh mengherankan bahwa lembaga yang rapuh itu terus dikecam sebagai benteng elitisme dan universalisme oleh kaum pluralis sejak Puisi Mbeling sampai Sastra Kontekstual. Bersama kaum pluralis itu, saya menderita rabun mata: menganggap sang pusat sebagai sumber legitimasi dan kriteria seni, padahal ia cuma gejala pinggiran dalam politik-budaya Indonesia mutakhir.
Saya uarkan pendapat saya yang kelewat polos itu tiga tahunan setelah saya menyaksikan Pameran Pasaraya Dunia Fantasi di Taman Ismail Marzuki—yang boleh dibilang sebagai kelanjutan Gerakan Seni Rupa Baru—yang membuat saya berkesimpulan, betapa mubazir seni rupa(-wan) yang (mencoba) “menurunkan diri” ke budaya massa-populer, jauh setelah Dada, Marcel Duchamp, Pop Art dan Joseph Beuys, kecuali ia sekadar menjadi pengulangan yang kehabisan darah. Saya tak percaya bahwa pameran itu bisa lebih memukau ketimbang Pasar Raya dan Dunia Fantasi beneran yang diparodikannya. Ia hanya menjadi semacam “seni konseptual.”
Saya bukan penyoal “ontologi” kesenian seperti Jim Supangkat dan kawan-kawan; saya hanya mencoba merumuskan pusat yang berkedok “seni modern” padahal hanya mampu menjalankan “seni nasional.” Dengan kata lain, waktu itu saya merindukan “pusat-pusat” lain—kecil-kecil namun tersebar rata—yang bisa menerobos kriteria dan sejarah nasional. Namun pameran itu menyisakan bagi saya pendapat Sanento Yuliman yang tercetak dalam katalog pameran itu—dan pendapat ini selalu diulanginya sampai ia berpulang: yaitu bahwa “kita harus berani menyingkirkan sekurang-kurangnya tiga hambatan pandangan yang merintangi kesadaran sosiologis”: kesatu, “pandangan serba tunggal yang menganggap hanya ada satu tata acuan yang melahirkan satu seni rupa”; kedua, “pandangan yang menggambarkan sejarah seni rupa kita sebagai suatu garis lurus”; ketiga, “pandangan yang mengutamakan seni rupa berpangkal pada artes liberales.” (bersambung)
Dengan “heroisme” yang agak memalukan, pada awal 1990-an saya melayangkan kritik terhadap pusat, dalam hal ini pusat yang melestarikan modernisme. Pusat itu boleh jadi lembaga (pusat kesenian bersama organisasi dan jaringannya), yang bagi saya dibentengi pandangan romantik tentang seniman-sebagai-pencipta-agung, pembaruan, dan kebebasan kreatif. Dalam tulisan itu pula saya uarkan, bahwa kita tengah mengalami proses decentering, “arus-arus yang sangat sehat bergerak dengan pasti di luar, yakni arus-arus yang tidak berurusan dengan pusat, apalagi pusat kesenian. Beberapa karya dan kerja kesenian yang muncul dan hidup akhir-akhir ini tidak lagi menganggap sang pusat kesenian sebagai sumber legitimasi. Arus-arus itu muncul tidak dari pusat dan tidak menuju pusat.” Dan sebagai kalimat penutup: “Barangkali periode tanpa pusat telah mulai.”
Sungguh pendapat yang kekanak-kanakan. Sebab pusat itu sendiri tak pernah dominan: ia tak pernah berada di puncak piramida kemasyarakatan. Ia hanya menjadi tempat bercokol bagi sehimpun seniman (yang juga menjadi pengurus dewan kesenian, redaktur koran dan majalah, juri sayembara, dan guru kesenian) yang kebetulan mempunyai kesamaan pandangan—dan bukan konspirasi—dengan sebagian pandangan yang hidup di akademi seni rupa dan fakultas sastra, katakanlah semacam formalisme. Padahal ia sendiri menjadi wadah dari sekian banyak “gerakan perlawanan terhadap elitisme,” misalnya Gerakan Seni Rupa Baru pada pertengahan 1970-an. Namun, sungguh mengherankan bahwa lembaga yang rapuh itu terus dikecam sebagai benteng elitisme dan universalisme oleh kaum pluralis sejak Puisi Mbeling sampai Sastra Kontekstual. Bersama kaum pluralis itu, saya menderita rabun mata: menganggap sang pusat sebagai sumber legitimasi dan kriteria seni, padahal ia cuma gejala pinggiran dalam politik-budaya Indonesia mutakhir.
Saya uarkan pendapat saya yang kelewat polos itu tiga tahunan setelah saya menyaksikan Pameran Pasaraya Dunia Fantasi di Taman Ismail Marzuki—yang boleh dibilang sebagai kelanjutan Gerakan Seni Rupa Baru—yang membuat saya berkesimpulan, betapa mubazir seni rupa(-wan) yang (mencoba) “menurunkan diri” ke budaya massa-populer, jauh setelah Dada, Marcel Duchamp, Pop Art dan Joseph Beuys, kecuali ia sekadar menjadi pengulangan yang kehabisan darah. Saya tak percaya bahwa pameran itu bisa lebih memukau ketimbang Pasar Raya dan Dunia Fantasi beneran yang diparodikannya. Ia hanya menjadi semacam “seni konseptual.”
Saya bukan penyoal “ontologi” kesenian seperti Jim Supangkat dan kawan-kawan; saya hanya mencoba merumuskan pusat yang berkedok “seni modern” padahal hanya mampu menjalankan “seni nasional.” Dengan kata lain, waktu itu saya merindukan “pusat-pusat” lain—kecil-kecil namun tersebar rata—yang bisa menerobos kriteria dan sejarah nasional. Namun pameran itu menyisakan bagi saya pendapat Sanento Yuliman yang tercetak dalam katalog pameran itu—dan pendapat ini selalu diulanginya sampai ia berpulang: yaitu bahwa “kita harus berani menyingkirkan sekurang-kurangnya tiga hambatan pandangan yang merintangi kesadaran sosiologis”: kesatu, “pandangan serba tunggal yang menganggap hanya ada satu tata acuan yang melahirkan satu seni rupa”; kedua, “pandangan yang menggambarkan sejarah seni rupa kita sebagai suatu garis lurus”; ketiga, “pandangan yang mengutamakan seni rupa berpangkal pada artes liberales.” (bersambung)
Sabtu, 30 Agustus 2008
Delapan Sketsa tentang Pluralisme (1)
“PRAGMATISME,” SEBAGAI PERMULAAN
Bertolak dari pengalaman, saya dapat mengatakan bahwa setiap sensasi dalam mencerap karya seni, dalam hal ini seni rupa, adalah unik, mengandung nilai dalam dirinya sendiri, dan tak terbandingkan. Di depan sebuah Jackson Pollock: saya tak merasa perlu menolokkannya dengan sebuah Hendra Gunawan. Di depan sebuah Made Budi: saya bisa merasakan subversi, seperti halnya di depan sebuah Fernando de Szyslo, tanpa menyimpulkan bahwa yang satu lebih “maju” ketimbang yang lain.
Saya seorang pragmatis, setidaknya pada masa lampau saya. Seni rupa, selalu merupakan anasir—rupa di antara rupa-rupa lain—dalam lingkungan. Lukisan di ruang tamu adalah penyedap atau pelengkap, ia mengimbangi perabotan, jambangan, taplak meja, cat dinding, dan benda-benda lain: pada masa kanak dan remaja, seperti kebanyakan orang, selera-rupa saya terbentuk oleh lukisan pemandangan alam gaya Mooi Indie, atau lebih tepat repro atau tiruannya. Ketika saya jatuh kasmaran pada sastra—dan menganggap sastra sebagai seni tinggi—lukisan tetaplah “barang biasa,” meskipun ia lama-kelamaan berubah fungsi. Demikianlah, seni rupa, khususnya lukisan, adalah pendidik mata. Alam dan kota-kota, saya lihat sebagai pantulan lukisan pemandangan alam, bukan sebaliknya. Jika puisi lirik menyarikan dunia—membuat dunia ini “sekadar” suasana hati—lukisan membuat diri ini keluar membesar ke dunia.
Sisa kasmaran pada gaya Mooi Indie tak bisa hilang, bahkan ketika makin besar rasa penasaran saya pada blok-blok warna Barnett Newman, sejak saya melihatnya di Berlin pada pertengahan 1993.
Tapi bagaimana mungkin “mempunyai nilai dalam dirinya sendiri” selaras dengan pragmatisme? Mungkinkah saya puas dengan seni yang kecil dan terbatas—berbeda dengan Arahmaiani yang (ingin) “memperluas kanvas saya seluas-luasnya menjadi kehidupan itu sendiri, dan mengganti kuas dan cat dengan unsur-unsur yang ada dalam kehidupan”?
Pragmatisme: saya pada dasarnya “menuntut” seni rupa tak lain sebagai bagian dari rupa-rupa lain, yang ada “guna”-nya. Namun, ternyata, seni rupa memisahkan diri dari rupa. Bukan karena kritikus dan sejarawan seni rupa kita menjauhkan seni dari desain dan kriya. Tapi karena ruang publik menghilang. Taman umum, plaza kota, kaki lima, menyusut, sebelum akhirnya punah: semua menjadi ruang sisa dalam kapitalisme-primitif perkotaan. Mata publik tak terdidik oleh susunan rupa yang bisa memuaskan gairah bermain, rekreasi. (Bermain adalah mencipta kembali, bukan?) Sementara seni rupa publik dan museum—saya bicara tentang institusi(-onalisasi), bukan sekadar gedung dan barang—yang menjadikan seni rupa sebagai milik umum, tak kunjung tiba, mungkin tak akan tiba juga. (bersambung)
Bertolak dari pengalaman, saya dapat mengatakan bahwa setiap sensasi dalam mencerap karya seni, dalam hal ini seni rupa, adalah unik, mengandung nilai dalam dirinya sendiri, dan tak terbandingkan. Di depan sebuah Jackson Pollock: saya tak merasa perlu menolokkannya dengan sebuah Hendra Gunawan. Di depan sebuah Made Budi: saya bisa merasakan subversi, seperti halnya di depan sebuah Fernando de Szyslo, tanpa menyimpulkan bahwa yang satu lebih “maju” ketimbang yang lain.
Saya seorang pragmatis, setidaknya pada masa lampau saya. Seni rupa, selalu merupakan anasir—rupa di antara rupa-rupa lain—dalam lingkungan. Lukisan di ruang tamu adalah penyedap atau pelengkap, ia mengimbangi perabotan, jambangan, taplak meja, cat dinding, dan benda-benda lain: pada masa kanak dan remaja, seperti kebanyakan orang, selera-rupa saya terbentuk oleh lukisan pemandangan alam gaya Mooi Indie, atau lebih tepat repro atau tiruannya. Ketika saya jatuh kasmaran pada sastra—dan menganggap sastra sebagai seni tinggi—lukisan tetaplah “barang biasa,” meskipun ia lama-kelamaan berubah fungsi. Demikianlah, seni rupa, khususnya lukisan, adalah pendidik mata. Alam dan kota-kota, saya lihat sebagai pantulan lukisan pemandangan alam, bukan sebaliknya. Jika puisi lirik menyarikan dunia—membuat dunia ini “sekadar” suasana hati—lukisan membuat diri ini keluar membesar ke dunia.
Sisa kasmaran pada gaya Mooi Indie tak bisa hilang, bahkan ketika makin besar rasa penasaran saya pada blok-blok warna Barnett Newman, sejak saya melihatnya di Berlin pada pertengahan 1993.
Tapi bagaimana mungkin “mempunyai nilai dalam dirinya sendiri” selaras dengan pragmatisme? Mungkinkah saya puas dengan seni yang kecil dan terbatas—berbeda dengan Arahmaiani yang (ingin) “memperluas kanvas saya seluas-luasnya menjadi kehidupan itu sendiri, dan mengganti kuas dan cat dengan unsur-unsur yang ada dalam kehidupan”?
Pragmatisme: saya pada dasarnya “menuntut” seni rupa tak lain sebagai bagian dari rupa-rupa lain, yang ada “guna”-nya. Namun, ternyata, seni rupa memisahkan diri dari rupa. Bukan karena kritikus dan sejarawan seni rupa kita menjauhkan seni dari desain dan kriya. Tapi karena ruang publik menghilang. Taman umum, plaza kota, kaki lima, menyusut, sebelum akhirnya punah: semua menjadi ruang sisa dalam kapitalisme-primitif perkotaan. Mata publik tak terdidik oleh susunan rupa yang bisa memuaskan gairah bermain, rekreasi. (Bermain adalah mencipta kembali, bukan?) Sementara seni rupa publik dan museum—saya bicara tentang institusi(-onalisasi), bukan sekadar gedung dan barang—yang menjadikan seni rupa sebagai milik umum, tak kunjung tiba, mungkin tak akan tiba juga. (bersambung)
Minggu, 17 Agustus 2008
Hadiah Tujuh Belasan
Ia terbangun oleh suara nyaring tuit-tuit pada ponselnya. Sebuah pesan pendek (“sandek,” ini akronim yang digunakan oleh sejumlah kawan-wartawannya) masuk, dari seorang tetangganya: “Met pagi. Mo upacara?” Tentu maksudnya, “Selamat pagi. Mau ke upacara bendera?” Met dan mo. Kalau benar bahasa menunjukkan bangsa...
Ia tidak datang ke upacara itu. Ia tidak ingin. Ia memang tidak pernah lagi datang lagi ke upacara semacam itu. Terakhir kali ia ikut upacara bendera adalah 17 Agustus 1991, di lapangan parkir Gedung Pertamina di Gambir, ketika ia masih geolog (semua karyawan perusahaan minyak, juga perusahaan asing, harus ikut upacara supaya mereka ber-Pancasila). Sudah lama sekali. Waktu itu wajahnya masih sangat licin dan kampungan, seperti dilukis Rudolf Bonnet. Sekarang wajahnya kasar dan terpiuh, seperti potret diri Oskar Kokoschka.
Malam sebelumnya ia ber-“jogging” di sekitar kompleks rumahnya (sudah berbulan-bulan ini ia berolahraga pada malam hari). Melewati lapangan basket RT, ia melihat sejumlah anak muda petugas keamanan sedang berlatih untuk upacara esok harinya. Ia mendengar lagi: “Lencang kiri!”—“Lencang kanan!”—“Majut jalan!”—“Hormat grak!” Lucu sekali terdengar, dan ia tersandung “polisi tidur.” (Ia ingat, semasa SD ia beberapa kali jadi komandan upacara.)
Ia duduk-duduk di teras, di lantai dua, memandang sekeliling. Bendera-bendera merah-putih berkibar di antara pepohon hijau. Ia merasa bangga dengan kehijauan itu, dengan kebajikan warga dalam menghijaukan permukiman mereka. Pohon-pohon itu sangat layak dipandang. Trembesi, bungur, temurui, belimbing buluh, kamboja. Juga berus-botol, yang ditanamnya sendiri di tubir taman umum di depan rumahnya (pohon itu dibelinya di Jember 11 tahun lalu), meski kembang merahnya belum lagi meledak-mengorak.
Bendera merah putih yang terpasang di rumahnya mungkin sudah berumur 20 tahunan. Warnanya sudah mulai kusam. Ia sendiri yang mengeluarkannya dari dalam laci di lemari kuning di ruang tamu tiga hari sebelumnya. Ia hampir lupa, bahwa 17 Agustus segera tiba. Si penjaga rumahlah yang mengingatkannya, “Jangan lupa pasang bendera, Pak.”
Ini hari Minggu. Hari Kemerdekaan. Maka bangsa yang merdeka, yang sudah bekerja keras dan khusyuk untuk berupacara bendera, harus berlibur pada hari Senin besok. Berbahagialah bangsa yang merayakan Hari Kemerdekaan di hari Minggu! Berbahagialah bangsa besar yang mendapat liburan di hari Senin! Terberkahilah bangsa yang memiliki jumlah hari libur terbanyak di antara bangsa-bangsa lain di planet ini!
Ia tidak datang ke upacara itu. Ia tidak ingin. Ia memang tidak pernah lagi datang lagi ke upacara semacam itu. Terakhir kali ia ikut upacara bendera adalah 17 Agustus 1991, di lapangan parkir Gedung Pertamina di Gambir, ketika ia masih geolog (semua karyawan perusahaan minyak, juga perusahaan asing, harus ikut upacara supaya mereka ber-Pancasila). Sudah lama sekali. Waktu itu wajahnya masih sangat licin dan kampungan, seperti dilukis Rudolf Bonnet. Sekarang wajahnya kasar dan terpiuh, seperti potret diri Oskar Kokoschka.
Malam sebelumnya ia ber-“jogging” di sekitar kompleks rumahnya (sudah berbulan-bulan ini ia berolahraga pada malam hari). Melewati lapangan basket RT, ia melihat sejumlah anak muda petugas keamanan sedang berlatih untuk upacara esok harinya. Ia mendengar lagi: “Lencang kiri!”—“Lencang kanan!”—“Majut jalan!”—“Hormat grak!” Lucu sekali terdengar, dan ia tersandung “polisi tidur.” (Ia ingat, semasa SD ia beberapa kali jadi komandan upacara.)
Ia duduk-duduk di teras, di lantai dua, memandang sekeliling. Bendera-bendera merah-putih berkibar di antara pepohon hijau. Ia merasa bangga dengan kehijauan itu, dengan kebajikan warga dalam menghijaukan permukiman mereka. Pohon-pohon itu sangat layak dipandang. Trembesi, bungur, temurui, belimbing buluh, kamboja. Juga berus-botol, yang ditanamnya sendiri di tubir taman umum di depan rumahnya (pohon itu dibelinya di Jember 11 tahun lalu), meski kembang merahnya belum lagi meledak-mengorak.
Bendera merah putih yang terpasang di rumahnya mungkin sudah berumur 20 tahunan. Warnanya sudah mulai kusam. Ia sendiri yang mengeluarkannya dari dalam laci di lemari kuning di ruang tamu tiga hari sebelumnya. Ia hampir lupa, bahwa 17 Agustus segera tiba. Si penjaga rumahlah yang mengingatkannya, “Jangan lupa pasang bendera, Pak.”
Ini hari Minggu. Hari Kemerdekaan. Maka bangsa yang merdeka, yang sudah bekerja keras dan khusyuk untuk berupacara bendera, harus berlibur pada hari Senin besok. Berbahagialah bangsa yang merayakan Hari Kemerdekaan di hari Minggu! Berbahagialah bangsa besar yang mendapat liburan di hari Senin! Terberkahilah bangsa yang memiliki jumlah hari libur terbanyak di antara bangsa-bangsa lain di planet ini!
Sabtu, 16 Agustus 2008
Wajah
Salah satu kekuatan dari para pelukis "jiwa nampak" (Sudjojono, Affandi, Hendra Gunawan, misalnya) adalah kemahiran mereka melukis potret diri. Mahir: piawai, lancar, cekatan, "di luar kepala." Mereka melukis wajah mereka sendiri tanpa bantuan apapun. Mereka mengutip wajah sendiri dari ingatan, atau memetiknya dari udara. Kalaupun mereka memerlukan bantuan peralatan, itu pun mereka dapat dari cermin belaka. Wajah itu, yang sudah mengalir dalam jiwa, seakan lahir kembali di ujung jemari sendiri, dan mendarat ke kanvas. Dengan demikian, "jiwa nampak" bukan hanya kredo kesenian, tapi juga teknik dan aspirasi.
Setengah abad setelah generasi Sudjojono, para pelukis tidak merasa perlu--atau tidak mampu?--lagi melukis potret diri dengan kredo (dan teknik) "jiwa nampak". Tentulah masih banyak yang melukis potret diri, tapi semua hanya dengan "mengeblad" foto sendiri--dengan cara grid, dengan tembakan proyektor, atau dengan cetakan digital. Bagi para seniman ini, tentulah "jiwa nampak" hanya laku lirik-romantik yang sudah usang belaka. Kesenian mereka mungkin akan disebut seni konseptual, karena, konon, konsep lebih penting ketimbang kemahiran; atau seni "post-auratic", karena subyektivitas, jiwa, pribadi, hanya ilusi belaka.
Antara Sudjojono dan Agus Suwage, antara Affandi dan Dede Eri Supria sesungguhnya terbentang jalan ketiga. Karena kemahiran memang tidak harus dihubungkan dengan "jiwa nampak" atau aura seniman jenius. Jika zaman pascamodern memang sedang berlangsung, maka seorang pelukis bisa menciptakan banyak karakter, banyak jiwa, banyak wajah bagi dirinya sendiri. Dan saya masih berharap, ia bisa memetik wajahnya yang beraneka itu dari udara, dengan ketrampilan sekaligus wawasan yang memadai. Seniman tidak bisa menjadi pemikir, kecuali di dalam-dan-dengan karyanya sendiri.
Tidak banyak peluang untuk menempuh jalan ketiga. Juga bagi kaum penulis. Lebih sedikit lagi waktu tersedia untuk menyatakan "gejolak jiwa" yang layak dilihat atau didengar oleh khalayak, betapapun kecilnya khalayak itu. Namun penulis halaman blog ini percaya, bahwa ia punya wajah yang berubah-ubah--sepuluh, atau seribu wajah (seperti Dasamuka yang malang itu)--yang sebagian bisa tampil di sini. Wajah yang hendak ditampiknya, tapi yang selalu dilukisnya dengan berbagai gaya yang pernah ada dalam sejarah seni rupa.
Ketika melukis--menulis--ia selalu mendengar bisikan, "Caveat emptor. Caveat emptor." Ia sungguh ragu apakah ia penjual atau pembeli.
Jumat, 15 Agustus 2008
Wajah yang Kita Warisi
Wajah-wajah itu kita kenal. Seakan mereka teman kita, tetangga kita, saudara kita, bahkan mungkin orang tua kita. Orang-orang yang terbiasa berkumpul dengan kita. Kita adalah kerumun orang yang sesekali saja berpisahan. Rasa akrab dalam rumah menyambung ke jalanan, ke lapangan, ke tempat mana pun juga. Kita berbagi senyum dan kesedihan dengan mereka. Dunia bagi kita adalah sebuah rumah besar. Seseorang tak pernah jadi seseorang: ia adalah orang ramai. Kita, yang memandang, perlahan-lahan menjadi mereka, yang dipandang. Tak terlalu sengaja kita menyimak mereka, sebab mereka tak menatap ke kamera, ke arah mata kita.
Tidakkah Rasdian A. Vadin, dengan rekaman hitam-putihnya, sedang memainkan rasa akrab itu? Memainkan: membuat kita merasa memilikinya lagi ketika seharusnya kita kehilangan, memaksa kita memikirkannya kembali sementara kita mesti melupakannya? Apa lagi yang tersisa kecuali rasa akrab—terkadang hampir semu juga—ketika kita pada hari-hari ini terpaksa menerima “rakyat” hanya sebagai barang yang hilang makna, kecuali sebagai alat bagi muslihat politik? Rekaman Vadin tak memberi kita “rakyat”, melainkan wajah-wajah yang mengalir lancar dalam keseharian, dalam kerja—meski kerja juga berarti permainan, atau pertunjukan.
Saya garis-bawahi kata “permainan” sebab “rakyat” yang tampil dalam pembicaraan umum, terutama dalam media massa, adalah wujud yang serius: wajah marah atau penuh belas, tangan terkepal atau terkulai, tubuh terlindas atau meradang-melawan. “Rakyat” yang tak kurang seriusnya ketimbang “elite”, sehingga kita bertanya tidakkah keseriusan ini juga tanda dari ketakmampuan melakukan rekreasi—masa penghiburan sekaligus penciptaan kembali? Sedangkan wajah dan tubuh yang terambil oleh Vadin adalah wujud yang cukup dalam dirinya sendiri. Wujud yang mestinya tak meminta dan menagih apa-apa dari luar: cukuplah kami berdiam di lingkung kampung, tak mengapa kausebut kami kampungan.
Seorang bidan menyimak perut seorang ibu yang mengandung. Kerumun penonton memandang acuh tak acuh dua penari. Dua orang anak bermain dengan si ibu dan si nenek. Seorang mempelai duduk ngungun di depan si penghulu. Dua badut sedang beristirahat. Potret-potret ini mengisah seakan tanpa kehadiran si fotografer. Semua menyisakan rasa akrab itu, justru karena mereka tak menatap ke arah kita. Kamera seperti sembunyi atau malu-malu untuk sekedar menegaskan bahwa apa yang kita miliki bukan puisi dan bukan pula demagogi, melainkan sekadar prosa kehidupan sehari-hari. Kita tak berjarak dengan kehidupan kampung: bahkan kampung itu berada dalam diri kita. Si fotografer hanya membangkitkan kembali wajah-wajah yang sudah lama tersimpan di laci kenangan kita.
Tapi tunggu sejenak. Menyimak lebih lanjut karya Vadin adalah menyiapkan diri untuk sekian kejutan halus. Si fotografer bukan pencuri gambar tanpa pretensi: ia ternyata tak membiarkan yang kampung(-an) itu hadir apa adanya. Komposisi—atau penyusunan imaji—adalah ciri yang hampir gampang kita kenali dalam karyanya. Ia seperti menunggu momen terbaik di mana sosok dan bayangan yang diburunya mencapai kombinasi terbaik. Atau momen itu tak ditunggunya, melainkan diciptakannya. Komposisi itu berpusat, bersandar, atau bertekanan pada barang (seni) rupa: misalnya, pintu bergambar panakawan, poster film murahan setengah porno, lukisan kapal layar, dinding yang digambari bendera dan wajah berpeci, iklan rokok, patung replika dewi Hindu. Sesekali terasa barang rupa ini dihadirkan atau dicomot dari luar, dari dunia entah. Sebagai penyelaras—atau pengganggu?
Paradoks itu bisa kita rasakan: benda rupa itu adalah penyelaras, bahkan penyangga komposisi, namun sekaligus pengganggu dunia yang dihadirkan Vadin. Ia seperti mengerjakan desain grafis: potretnya seperti kulit buku atau kulit majalah, yang harus rapi, setimbang, tapi seronok, “manyala” dalam kesederhanaan hitam-putihnya, agar khalayak tertarik untuk membaca isi kehidupan itu sendiri. Namun, benda rupa itu juga menisbikan, (atau mungkin membatalkan), lingkungan potret Vadin sebagai dunia yang cukup diri. Gambar Bagong di pintu itu, misalnya, agaknya tumpuan perhatian kita: ia seperti mengawasi si keluarga, atau melebih-lebihan keriangan yang muncul di rumah berdinding bambu itu. Juga, kenapa si penari itu harus menggendong boneka, seakan rias dan kostumnya tak cukup menandakan ia orang panggung? Bagi Vadin, yang sehari-hari mesti menjelma yang teatrikal.
Katakanlah Vadin tahu bahwa tak mungkin ia mendapat kepolosan dan kesederhanaan sebab setiap kampung mesti menerima banjir tanda dari luar—aneka benda rupa yang ditangkap sang kamera. Tapi sosok-sosok itu bukan korban dari sang tanda. Mereka menikmatinya, bahkan memperalatnya. Tanda gambar partai, poster film, gambar dinding, iklan mobil mewah—semua itu lebih baik dianggap sebagai kiriman dari dunia entah, mungkin dunia fantasi, ketimbang wakil dari negara, partai politik, atau kapitalisme. Kontradiksi antara yang kecil (kampung) dan yang besar (bangsa, dunia), yang rakyat dan yang berkuasa, dilunakkan atau dipiuhkan dalam main-main dan keakraban. Dunia dalam rekaman Vadin adalah dunia yang kehilangan telos—cita-cita sosial—maka itulah dunia yang tanpa risiko kalah atau menang. Tapi, lihat, tak selamanya ia bertahan pada dunia yang demikian.
Menyajikan yang teatrikal itu juga cara untuk berkomentar. “Reformasi”—alangkah klise kata ini sekarang—terlalu mahal untuk diladeni dengan kepolosan. Tapi Vadin tak pergi ke tengah peristiwa: ia mengelak dari apa yang selama ini sudah dimamah-biak media massa. Ia tak merekam baris-berbaris, pidato, teriakan, dan histeria lainnya. Ia memberi kita residu dari gerak dan suara serba besar itu. Residu: apa-apa yang menyingkir atau terbuang dari arti, tujuan dan manfaat. Bila sebuah potret demonstrasi atau rapat akbar tak membuat kita bertanya apa dan untuk apa peristiwa yang terekam itu, karya Vadin memaksa kita berlaku sebaliknya. Dengan kata lain, ia menisbikan arti sebuah peristiwa politik. Ia menonjolkan segi permainan, dan juga kesunyian, setiap tindakan yang, katakanlah, heroik.
Seseorang bertelanjang dada duduk membelakangi kamera, di belakangnya tergeletak sejumlah bom molotov. Pelempar bomkah ia? Atau cuma eksibisionis, lantaran yang menonjol adalah gambar di punggungnya? Seseorang berkeliling lapangan menjunjung lukisan Durrahman-Megawati: mengapa ia berkeliling sendirian, seperti pedagang lukisan atau wali gila? Sehimpun orang berdesak-desakan di bak truk: massa partai apakah mereka? Mengapa mereka termangu, kontras dengan tetanda gambar partai politik yang “berteriak” itu? Seseorang membungkam patung kepala Suharto: atau justru ia membuka bungkamannya? Mengapa ia tak menghancurkan saja patung itu? Mengapa ia berpentas tanpa penonton?
Komentar politik Vadin adalah anti-komentar. Poster, patung, orang-orangan, baliho, spanduk, emblem, seragam, yang dalam ruang publik sarat dengan arti politik menjadi hanya sekadar benda, benda rupa, dalam rekaman Vadin. Adalah benda, dan bukan manusia, yang menjadi pusat peristiwa dalam tangkapan kita. Benda-benda itu seperti minta bicara sendiri, sebab segala khotbah dan gagasan besar percuma saja. Tidakkah kita menyadari, bahwa manusia yang berniat mengubah dunia itu—demonstran, politikus, fanatikus, pemimpin, pengikut—pada dasarnya hanyalah orang kampung, seperti kita juga, yang di antara benda-benda itu begitu lelah, seraya pura-pura tabah, (seraya bermain-main), sebagai kerumunan, rakyat, bangsa?
Tidakkah Rasdian A. Vadin, dengan rekaman hitam-putihnya, sedang memainkan rasa akrab itu? Memainkan: membuat kita merasa memilikinya lagi ketika seharusnya kita kehilangan, memaksa kita memikirkannya kembali sementara kita mesti melupakannya? Apa lagi yang tersisa kecuali rasa akrab—terkadang hampir semu juga—ketika kita pada hari-hari ini terpaksa menerima “rakyat” hanya sebagai barang yang hilang makna, kecuali sebagai alat bagi muslihat politik? Rekaman Vadin tak memberi kita “rakyat”, melainkan wajah-wajah yang mengalir lancar dalam keseharian, dalam kerja—meski kerja juga berarti permainan, atau pertunjukan.
Saya garis-bawahi kata “permainan” sebab “rakyat” yang tampil dalam pembicaraan umum, terutama dalam media massa, adalah wujud yang serius: wajah marah atau penuh belas, tangan terkepal atau terkulai, tubuh terlindas atau meradang-melawan. “Rakyat” yang tak kurang seriusnya ketimbang “elite”, sehingga kita bertanya tidakkah keseriusan ini juga tanda dari ketakmampuan melakukan rekreasi—masa penghiburan sekaligus penciptaan kembali? Sedangkan wajah dan tubuh yang terambil oleh Vadin adalah wujud yang cukup dalam dirinya sendiri. Wujud yang mestinya tak meminta dan menagih apa-apa dari luar: cukuplah kami berdiam di lingkung kampung, tak mengapa kausebut kami kampungan.
Seorang bidan menyimak perut seorang ibu yang mengandung. Kerumun penonton memandang acuh tak acuh dua penari. Dua orang anak bermain dengan si ibu dan si nenek. Seorang mempelai duduk ngungun di depan si penghulu. Dua badut sedang beristirahat. Potret-potret ini mengisah seakan tanpa kehadiran si fotografer. Semua menyisakan rasa akrab itu, justru karena mereka tak menatap ke arah kita. Kamera seperti sembunyi atau malu-malu untuk sekedar menegaskan bahwa apa yang kita miliki bukan puisi dan bukan pula demagogi, melainkan sekadar prosa kehidupan sehari-hari. Kita tak berjarak dengan kehidupan kampung: bahkan kampung itu berada dalam diri kita. Si fotografer hanya membangkitkan kembali wajah-wajah yang sudah lama tersimpan di laci kenangan kita.
Tapi tunggu sejenak. Menyimak lebih lanjut karya Vadin adalah menyiapkan diri untuk sekian kejutan halus. Si fotografer bukan pencuri gambar tanpa pretensi: ia ternyata tak membiarkan yang kampung(-an) itu hadir apa adanya. Komposisi—atau penyusunan imaji—adalah ciri yang hampir gampang kita kenali dalam karyanya. Ia seperti menunggu momen terbaik di mana sosok dan bayangan yang diburunya mencapai kombinasi terbaik. Atau momen itu tak ditunggunya, melainkan diciptakannya. Komposisi itu berpusat, bersandar, atau bertekanan pada barang (seni) rupa: misalnya, pintu bergambar panakawan, poster film murahan setengah porno, lukisan kapal layar, dinding yang digambari bendera dan wajah berpeci, iklan rokok, patung replika dewi Hindu. Sesekali terasa barang rupa ini dihadirkan atau dicomot dari luar, dari dunia entah. Sebagai penyelaras—atau pengganggu?
Paradoks itu bisa kita rasakan: benda rupa itu adalah penyelaras, bahkan penyangga komposisi, namun sekaligus pengganggu dunia yang dihadirkan Vadin. Ia seperti mengerjakan desain grafis: potretnya seperti kulit buku atau kulit majalah, yang harus rapi, setimbang, tapi seronok, “manyala” dalam kesederhanaan hitam-putihnya, agar khalayak tertarik untuk membaca isi kehidupan itu sendiri. Namun, benda rupa itu juga menisbikan, (atau mungkin membatalkan), lingkungan potret Vadin sebagai dunia yang cukup diri. Gambar Bagong di pintu itu, misalnya, agaknya tumpuan perhatian kita: ia seperti mengawasi si keluarga, atau melebih-lebihan keriangan yang muncul di rumah berdinding bambu itu. Juga, kenapa si penari itu harus menggendong boneka, seakan rias dan kostumnya tak cukup menandakan ia orang panggung? Bagi Vadin, yang sehari-hari mesti menjelma yang teatrikal.
Katakanlah Vadin tahu bahwa tak mungkin ia mendapat kepolosan dan kesederhanaan sebab setiap kampung mesti menerima banjir tanda dari luar—aneka benda rupa yang ditangkap sang kamera. Tapi sosok-sosok itu bukan korban dari sang tanda. Mereka menikmatinya, bahkan memperalatnya. Tanda gambar partai, poster film, gambar dinding, iklan mobil mewah—semua itu lebih baik dianggap sebagai kiriman dari dunia entah, mungkin dunia fantasi, ketimbang wakil dari negara, partai politik, atau kapitalisme. Kontradiksi antara yang kecil (kampung) dan yang besar (bangsa, dunia), yang rakyat dan yang berkuasa, dilunakkan atau dipiuhkan dalam main-main dan keakraban. Dunia dalam rekaman Vadin adalah dunia yang kehilangan telos—cita-cita sosial—maka itulah dunia yang tanpa risiko kalah atau menang. Tapi, lihat, tak selamanya ia bertahan pada dunia yang demikian.
Menyajikan yang teatrikal itu juga cara untuk berkomentar. “Reformasi”—alangkah klise kata ini sekarang—terlalu mahal untuk diladeni dengan kepolosan. Tapi Vadin tak pergi ke tengah peristiwa: ia mengelak dari apa yang selama ini sudah dimamah-biak media massa. Ia tak merekam baris-berbaris, pidato, teriakan, dan histeria lainnya. Ia memberi kita residu dari gerak dan suara serba besar itu. Residu: apa-apa yang menyingkir atau terbuang dari arti, tujuan dan manfaat. Bila sebuah potret demonstrasi atau rapat akbar tak membuat kita bertanya apa dan untuk apa peristiwa yang terekam itu, karya Vadin memaksa kita berlaku sebaliknya. Dengan kata lain, ia menisbikan arti sebuah peristiwa politik. Ia menonjolkan segi permainan, dan juga kesunyian, setiap tindakan yang, katakanlah, heroik.
Seseorang bertelanjang dada duduk membelakangi kamera, di belakangnya tergeletak sejumlah bom molotov. Pelempar bomkah ia? Atau cuma eksibisionis, lantaran yang menonjol adalah gambar di punggungnya? Seseorang berkeliling lapangan menjunjung lukisan Durrahman-Megawati: mengapa ia berkeliling sendirian, seperti pedagang lukisan atau wali gila? Sehimpun orang berdesak-desakan di bak truk: massa partai apakah mereka? Mengapa mereka termangu, kontras dengan tetanda gambar partai politik yang “berteriak” itu? Seseorang membungkam patung kepala Suharto: atau justru ia membuka bungkamannya? Mengapa ia tak menghancurkan saja patung itu? Mengapa ia berpentas tanpa penonton?
Komentar politik Vadin adalah anti-komentar. Poster, patung, orang-orangan, baliho, spanduk, emblem, seragam, yang dalam ruang publik sarat dengan arti politik menjadi hanya sekadar benda, benda rupa, dalam rekaman Vadin. Adalah benda, dan bukan manusia, yang menjadi pusat peristiwa dalam tangkapan kita. Benda-benda itu seperti minta bicara sendiri, sebab segala khotbah dan gagasan besar percuma saja. Tidakkah kita menyadari, bahwa manusia yang berniat mengubah dunia itu—demonstran, politikus, fanatikus, pemimpin, pengikut—pada dasarnya hanyalah orang kampung, seperti kita juga, yang di antara benda-benda itu begitu lelah, seraya pura-pura tabah, (seraya bermain-main), sebagai kerumunan, rakyat, bangsa?
Langganan:
Postingan (Atom)